Menyoal Perjanjian Batutulis Antara PDI-P dengan GERINDRA

Bagikan artikel ini

Ananda Rasti, peneliti muda Forum Dialog (Fordial), Jakarta

Media massa menulis berita tentang perjajian Batutulis antara PDI-P dengan Gerindra menjelang Pilpres tahun 2009, dimana dikabarkan tentang sikap Prabowo Subianto yang kecewa karena PDI-P ingkar janji. Membaca berita tersebut mungkin mereka yang selama ini mendukung Prabowo justru kecewa, mengapa Prabowo meributkan sebuah drama politik seperti itu. Mestinya justru Prabowo harus mengubur cerita drama tersebut sebagai tidak pernah ada, karena sulit bisa direnungkan, bagaimana Prabowo yang nampak begitu hebat dan selalu berada dalam garis atas dalam setiap survey, telah terlibat dalam drama politik seperti itu.

Prabowo Subianto kecewa dengan Megawati Soekarnoputri. Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra itu merasa dikhianati Ketua Umum PDI Perjuangan. Perjanjian “Batu Tulis”, yang seharusnya bisa memberi tambahan kekuatan bagi Prabowo pada Pemilu Presiden 2014 ini, pupus. PDI Perjuangan, partai yang akan mendukungnya pada pilpres tahun ini, urungkan niat. Partai banteng moncong putih itu punya jago sendiri. Namanya Joko Widodo, biasa disapa Jokowi. Kader asli PDI Perjuangan yang masih menjabat gubernur DKI Jakarta. Tokoh fenomenal yang namanya sedang melejit seantero nusantara. Bahkan mancanegara.

Bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Letjen (Purn) Prabowo Subianto, kecewa Megawati ingkari perjanjian itu. Apalagi, beberapa bulan sebelum nama Jokowi dideklarasikan sebagai capres, Prabowo sudah berusaha menemui Mega.

Tujuannya, untuk mengingatkan kembali perjanjian di atas materai itu. Tapi tokoh sentral di PDI Perjuangan itu tak memberi respons. Seperti menghindar. Sampai akhirnya, partai yang bermarkas di Lenteng Agung, Jakarta itu, mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan. “Saya tak mengerti, apa salah saya, karena saya selalu menghormati beliau (Megawati). Saya merasa tidak pernah berbuat salah apa-apa,” ujar Prabowo, Minggu 16 Maret 2014.

Pada 15 Mei 2009 di Batu Tulis, Bogor, lahirlah “Perjanjian Batu Tulis”. Ada tujuh poin di perjanjian itu. Ditandatangani oleh Megawati dan Prabowo Subianto. Disaksikan sejumlah elit kedua partai. Perwakilan Gerindra yang hadir saat itu antara lain, Prabowo, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Umum Fadli Zon, dan anggota Dewan Pembina Martin Hutabarat. Sementara dari PDIP ada Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani, Sekjen Pramono Anung, dan Sabam Sirait.

Gerindra bersedia mendukung Megawati Soekarnoputri sebagai calon presiden. Sebagai imbal baliknya, PDI Perjuangan harus mendukung Prabowo sebagai capres pada pemilu 2014. Ketentuan itu tertuang di poin ketujuh. Perjanjian itu, kata Prabowo, dibuat karena kesamaan visi yang ada antara Gerindra dan PDI Perjuangan menyangkut kecocokan dalam pandangan kebangsaan dan nasionalisme, sehingga muncul keinginan untuk berjuang bersama.

PDIP dan Gerindra Bukan Sahabat Sejati

Apa yang oleh Prabowo disebut sebagai perjanjian Batu Tulis  pada tahun 2009, hakikatnya adalah konsep koalisi PDI-P dengan Gerindra menghadapi Pilpres tahun 2009.

Konsep Koalisi tersebut ternyata hanya berlangsung sampai dengan Pilpres Tahun 2009 setelah itu tidak ada, karena sesperti dikatakan Pramono Anung dan Tubagus Hasanudin, Koalisi PDI-P dengan Gerindra dalam Pilpres 2009 kalah.

Setelah Pilpres tahun 2009 praktis PDI-P dan Gerindra bergerak sendiri-sendiri tidak pernah mewujudkan diri sebagai kekuatan partai oposisi yang bersatu. PDI-P dan Gerindra memamng melakukan oposisi terhadap KIB II, tetapi dengan caranya seniri-sendiri, oleh sebab itu kesan bahwa PDI-P adalah sahabat dari Gerindra tidak ada sama sekali.

Oleh sebab itu perjanjian Batu Tulis  hanyalah sebuah drama politik antara dua tokoh pimpinan parpol peserta Pilpres tahun 2009, yaitu antara Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto. Perjanjian tersebut bukan koalisi apalagi aliansi antara PDI-P dengan Gerindra. Oleh karena itu terlalu fantastis apabila Prabowo masih membayangkan bahwa PDI-P akan mendukungnya sebagai Capres dalam Pilpres  tahun 2014.

Prabowo harus juga realistis, tidak ada alasan apapun mengapa PDI-P harus mendukung Prabowo Subianto sebagai capres dalam Pilpres tahun  2014, karena dalam lima tahun terakhirpun PDI-P dan Gerindra telah berjalan sendiri-sendiri.

Oleh karena itu penyesalan Prabowo Subianto bahwa PDI-P bukanlah pendukung Prabowo Subianto dalam Pilpres tahun 2014 hanya membuka pesimisme Prabowo terhadap kekuatannya sendiri dalam menghadapi Pilpres  2014.

Dari segi apapun tidak ada alasan bagi Prabowo Subianto menyesali sikap PDI-P, karena perjanjian Batu Tulis sama sekali buka pernyataan bahwa PDI-P adalah sekutu Gerindra sepanjang masa. Mereka mungkin sama-sama golongan nasionalis, tetapi jelas mereka lahir dalam proses sejarah yang tidak sama.

Prabowo jangan terusan menyesali sikap PDI-P, dan menyatakan tanpa PDI-P pun Prabowo Subianto akan terus maju. Batalnya perjanjian Batu Tulis juga tidak perlu diikuti dengan sikap berpandangan negatif terhadap suatu hal bagi para pendukung Prabowo Subianto, karena menurut Justin Hepler dan Dolores Albaracin (psikolog dari AS) dalam Journal of Personality and Social Psychology mengatakan, jangan selalu berpandangan negatif terhadap sesuatu hal karena akan menjadikan Anda seorang pribadi yang membenci. Peneliti itu berharap membuat orang melawan pola pandang negatif dan menjadi lebih waspada pada perilaku.

Disamping itu, Prabowo Subianto harus memandang permasalahan ini sebagai “dramaturgi politik” yang penulisan prosa terakhirnya tidak melibatkan Prabowo Subianto, melainkan ditentukan oleh Megawati Soekarnoputri yang kemungkinan ditekan oleh “sekondan-sekondan” politiknya atau “pembisik-pembisiknya”. Prabowo Subianto dan “think thank”nya juga perlu semakin menyadari dan realistis bahwa “tidak ada musuh atau sahabat sejati dalam politik, yang ada hanyalah kepentingan”.

Namun yang perlu diantisipasi dan diwaspadai dari “memanasnya” hubungan PDI-P dan Gerindra pasca perjanjian Batu Tulis adalah terjadinya konflik power elit karena dapat menyabotase pemerintahan hasil Pemilu 2014. Konflik power elite menurut  Woodrow Wilson dalam Congressional Government mengatakan, ada dua akibat fatal yang ditimbulkannya yaitu : pertama, runtuhnya sistem demokrasi. Kedua, pemerintah gagal dalam mengatasi masalah-masalah darurat.

Menurut Direktur Eksekutif Pol-Tracking Institute, Hanta Yuda, tingginya elektabilitas Joko Widodo atau Jokowi sebagai calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sama sekali tidak menjamin bakal memenangkan Pilpres 9 Juli  2014, karena lawan-lawan politik Jokowi akan berupaya mendegradasi kekuatan elektabilitas Jokowi. Hanta menjelaskan ada sejumlah cara yang bisa dilakukan untuk menjegal laju Jokowi di antaranya memainkan isu-isu. “Bisa soal etika, soal komitmen, soal jabatan gubernur DKI, dan perjanjian Batu Tulis,” sebut Hanta.  Namun dalam kaca mata Hanta kalau isu yang dimainkan seputar perjanjian Batu Tulis dengan kubu Prabowo tidak begitu efektif.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com