Perubahan Interpretasi Pasal 9 UUD Jepang, Pintu Masuk Bangkitnya Kembali Militerisme

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

17 Maret lalu, kantor berita Jepang Kyodo melansir berita yang bermakna ganda.

Pemerintah Jepang menunda rencana pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe untuk melakukan perubahan interpretasi terhadap pasa 9 Undang-Undang Dasar bidang pertahanan. Sehingga  pemerintah Jepang mempunyai landasan hukum untuk pembuatan undang-undang baru bidang pertahanan yang memungkinkan negara Sakura tersebut menghidupkan kembali Angkatan Bersenjatanya.

Jika perubahan interpretasi terhadap pasal 9 UUD Jepang tersebut bisa diwujudkan, meskipun hasil pembahasannnya melalui parlemen(Diet) ditunda hingga tahun depan, maka kebangkitan militerisme Jepang sebagaimana sudah diprediksi oleh Global Future Institute (GFI) pada 2010 lalu, nampaknya semakin nyata.

Sebagaimana dilansir oleh kantor berita Kyodo 17 Maret lalu, pada awalnya  pemerintahan Shinzo Abe dari Liberal Demokratic Party (LDP),  berencana untuk mengeluarkan keputusan melalui rapat kabinet pada 22 Juni mendatang terkait perubahan interpretasi pasal 9 UUD Jepang. Namun dalam pertemuan pada 6 Maret lalu, Shinzo Abe beserta para petinggi LDP, termasuk Sekretaris Jenderal LDP Shigeru Ishiba, bersepakat bahwa pembahasan dan perdebatan seputar perobahan interpretasi pasal 9 UUD Jepang tidak boleh diputuskan secara tergesa-gesa.

Sejak Perang Dunia II berakhir, Jepang sebagai negara kalah perang terhadap Amerika Serikat dan negara-negara sekutu, kemudian dilarang untuk memiliki Angkatan Bersenjata. Menurut Pasal 9 Undang-Undang Dasar Jepang, meski Jepang boleh memiliki Pasukan Bela Diri (Collective Self Defense), namun pasal ini tidak membolehkan pasukan bela diri digunakan untuk tujuan agresi militer. Hanya sebatas untuk tujuan mempertahankan kedaulatan dan integritas territorial Jepang.

Nampaknya, interpretasi terhadap makna bela diri dan pertahanan inilah yang coba diberi makna baru oleh kalangan pendukung kebangkitan kembali kekuatan militer Jepang, atau bahkan militerisme Jepang.

Indikasi Bangkitnya Kembali Aspirasi Militerisme di Jepang

Indikasi menguatnya aspirasi kalangan garis keras di Jepang untuk menghidupkan kembali militerisme Jepang, bisa ditelisik sejak 2010.  Menjelang peringatan kapitulasi Jepang pada Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik pada 2 September 1945, pemerintahan dan berbagai elemen strategis di Jepang nampaknya mulai melakukan berbagai manuver yang bertujuan merehabiitasi kembali reputasi buruknya sebagai pemerintahan fasis pada era Perang Dunia Kedua. Khususnya terhadap bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik yang mengalami secara langsung kekejaman pemerintahan Kolonial Jepang seperti di Indonesia, Malaysia, Singapore, Birma, Korea Selatan dan Cina.

Menurut penelusuran tim riset GFI, pada 15 Agustus 2010 lalu, Perdana Menteri Jepang secara eksplisit menyatakan penyesalannya terhadap “orang-orang” yang menderita akibat sepak-terjang pemerintahan fasis militerisme Jepang pada Perang Dunia Kedua.

Frase “orang-orang” yang digunakan Perdana Menteri Jepang secara jelas mengindikasikan keenggananan Jepang untuk mengakui dan meminta maaf secara terang-terangan terhadap berbagai negara di Asia Pasifik yang secara langsung mengalami penderitaan sepak terjang fasisme pemerintahan Kolonial Jepang. Seperti penerapan sistem kerja paksa (Romusha), dan kebijakan memaksa para wanita di negara-negara jajahan Jepang untuk menjadi Pekerja Seks atau yang kelak populer dengan sebutan Comfort Women (Jugun Ianfu).

Bukan itu saja. Dalam pertemuan para tokoh sayap kanan Eropa yang difasilitasi oleh Issui-kai alias “Masyarakat Rabu” yang juga berhauan fasisme ultra kanan tersebut, pemimpin gerakan tersebut, Mitsuhiro Kimura, terang-terangan meragukan pembunuhan oleh militer Jepang terhadap warga sipil China maupun dalam pemerkosaan Nanking 1937 (yang dikenal dengan peristiwa The Rape of Nanking) yang diperkirakan mencapai ratusan ribu korban jiwa, dan juga menyangkal diterapkannya kebijakan perbudakan seksual atas “wanita sebagai budak nafsu” bagi tentara Jepang.

Indikasi lain yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah penyelenggaraan kontes penulisan esay tentang PD II dengan tema ‘True Modern Historical Perspective’ pada 2008 lalu, yang disponsori oleh seorang pebisnis sayap kanan Jepang, Toshio Montoya.

Motivasi Jepang untuk menghapus dosa-dosa sejarah dan kejahatan perang pada PD II terlihat jelas melalui penyelenggaraan kontes penulisan sejarah ini, karena dari 235 peserta kontes, 94 diantaranya merupakan personil Angkatan Udara Bela Diri Jepang (ASDF).

Wajar saja jika hal ini memicu kecurigaan bahwa para personil ASDF tersebut mendapat perintah dan arahan dari para komandannya untuk mengirimkan naskah tulisan yang temanya segaris dengan misi kontes untuk membersihkan dosa-dosa sejarah Jepang pada PD II.

Kontes penulisan yang kemudian dimenangi oleh Kepala Staf Angkatan Udara Bela Diri Jepang, Toshio Tamogami ini memperkuat kecurigaan tersebut. Judul esay yang ditulis oleh Toshio Tamogami; ‘Benarkah Jepang Merupakan Bangsa Agresor?’, sudah jelas menggugat dan membantah peran Jepang sebagai aggressor di Asia Pasifik.

Benarkah Jepang sedang berupaya membangkitkan kembali militerismenya seperti di era Perang Dunia Kedua? Nampaknya ada upaya pemerintah dan beberapa elemen sayap kanan Jepang untuk kembali berjaya secara militer seperti di masa Perang Dunia Kedua.

Beberapa media massa terbitan 28 Juli 2010 lalu, mewartakan bahwa panel para ahli telah merekomendasikan kepada Perdana Menteri Jepang Naoto Kan agar Jepang mengkaji ulang kebijakan pasifisnya. Dan mendesak agar Jepang mengerahkan lebih banyak pasukannya ke wilayah pesisir yang kini sering dilalui angkatan laut Cina. Selain itu. Panel para ahli Pertahanan Jepang itu juga mendesak pemerintah Jepang agar melonggarkan kebijakan tentang transfer senjata nuklir di wilayah negaranya.

Ini tentu saja rekomendasi yang cukup serius karena dengan jelas mengindikasikan bahwa upaya membangkitkan kembali militerisme Jepang sudah pada taraf proses pembuatan dan perumusan kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh dan mendasar. Jadi bukan sekadar wacana atau keinginan segelintir politisi atau mantan perwira militer berhaluan ultra kanan Jepang. Namun indikasi kebangkitan kembali militer Jepang sudah harus dilihat dalam kerangka kebijakan revisi kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh.

Apakah rencana perubahan interpretasi pasal 9 UUD Jepang bidang pertahanan ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi panel para ahli? Nampaknya memang seperti itu. Sebab panel para ahli ersebut bahkan sudah sampai pada kata sepakat bahwa panduan pertahanan Jepang di era Perang Dingin sudah kadaluwarsa alias ketinggalan zaman.

Menurut pandangan panel para ahli, untuk menghadapi semakin meningkatnya ancaman dari Semenanjung Korea dan Selat Taiwan, Jepang sudah saatnya besiap dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Rekomendasi ini bisa diartikan sebagai desakan untuk merubah postur pertahanan Jepang yang tadinya defensif dan cenderung pasifis, menjadi postur pertahanan yang agresif dan bila perlu, kembali ekspansif seperti pada masa Perang Dunia Kedua.

Amerika Dukung Bangkitnya Kembai Militerisme Jepang

Adanya pergeseran pandangan yang cukup radikal yang bisa dibaca sebagai tren menuju bangkitnya kembali kekuatan militer Jepang di Asia Pasifik, nampaknya mustahil tanpa adanya dukungan secara diam-diam dari Amerika Serikat, sekutu utama Jepang pasca Perang Dunia Kedua.

Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, Jepang memang praktis telah menjadi sekutu Amerika dan negara pasifis. Karena Undang-Undang Dasar Jepang melarang adanya angkatan bersenjata di negaranya, maka Jepang praktis mengandalkan Amerika Serikat untuk pertahanan dan penangkalan nuklirnya. Tak heran jika hinggi kini tercatat ada sekitar 47 ribu tentara Amerika Serikat ditempatkan di Jepang.

Dari sini saja, wajar jika kita bercuriga bahwa adanya tren kea rah penguatan kembali angkatan bersenjata Jepang juga atas dukungan diam diam dari Amerika. Dengan kata lain, adanya pola ancama baru di kawasan Asia Pasifik, khususnya dengan menguatnya kekuatan angkatan bersenjata Cina di kawasan Asia Pasifik akhir-akhir ini, maka Amerika saat ini justru menjadi pihak pendorong utama untuk mengaktifkan kembali kekuatan angkatan bersenjata Jepang secara maksimal, termasuk izin kepemilikan persenjataan nukir yang sepenuhnya berada dalam kendali angkatan bersenjata Jepang.

Selama ini, sejak berakhirnya Perang Dunia Kedua, Jepang menerapkan kebijakan pelarangan pembuatan dan kepemilikan persenjataan nuklir di wilayah negaranya. Namun rekomendasi panel para ahli, lagi lagi mendesak agar Jepang kembali diizinkan untuk transfer persenjataan nuklir melalui wilayahnya. Dan berkaitan dengan persekutuan  militer Amerika-Jepang sejak pasca Perang Dunua Kedua, sebenarnya hal semacam ini sudah berlangsung secara diam-diam.

Berdasarkan kesepakatan strategis Washington-Tokyo, disepakati bahwa kapal-kapal Amerika yang membawa senjata nuklir, dibolehkan masuk ke pelabuhan Jepang. Lagi-lagi ini mengindikasikan bahwa adanya rekomendasi panel para ahli untuk merevisi kebijakan pertahanan Jepang, sejatinya hanya untuk melegalisasikan persekutuan Amerika-Jepang  yang sudah berlangsung  selama ini.
Beberapa indikasi lain yang mengisyaratkan adanya dukungan Amerika terhadap gagasan revisi kebijakan pertahanan Jepang, bisa disimak melalui dalih yang disampaikan panel para ahli.

“Jepang harus bisa melakukan tindakan militer guna melindungi Amerika tanpa melanggar konstitusi. Dari sudut pandang memperkuat aliansi Jepang-AS, harus ada kehendak politik untuk memperbolehkan pasukan Jepang menyerang rudal-rudal yang diarahkan kepada Amerika Serikat,” demikian dikutip dari dokumen panel sebagaimana dikutip oleh harian terkemuka Jepang Yomiuri Shimbun.
Dari pernyataan tersebut jelaslah sudah, bahwa Amerika sejatinya memang berada di belakang manuver Jepang untuk membangkitkan kembali kekuatan militer Jepang pada skala yang optimal, agresif dan ekspansif.

Adanya ancaman militer yang semakin nyata dari Korea Utara dan khususnya bangkitnya kekuatan angkatan laut Cina, nampaknya mendorong Amerika untuk memotori adanya revisi kebijakan pertahanan Jepang yang semakin agresif dan ekspansif di masa depan.

Estimasi kami semakin terbukti dengan adanya rekomendasi panel para ahli agar pasukan Jepang tidak lagi ditempatkan di wilayah negara, melainkan lebih banyak dialihkan ke perairan selatan dekat rute angkatan laut Cina.

Tak pelak lagi, hal ini secara kuat membuktikan bahwa adanya gerakan merevisi kebijakan pertahanan Jepang sejak 2010 hingga sekarang ini, nampaknya sejalan dengan agenda strategis Amerika Serikat untuk membendung pengaruh yang semakin kuat dari Cina dan Korea Utara di kawasan Asia Pasifik.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com