Dalam even bertaraf internasional seperti Konferensi Tingkat Tinggi G-20 yang baru saja berlangsung di Buenos Aires, Argentina, pada 30 November-1 Desember lalu, momen menarik bukan pada forum itu sendiri. Melainkan manuver para peserta KTT G-20 yang notabene para kepala negara adikuasa di luar acara persidangan dari forum itu sendiri.
Sayangnya, media-media arus utama hanya meliput hasil pertemuan G-20 maupun pertemuan informal para kepala negara peserta G-20 sebatas garis besarnya saja. Namun Vladimir Terekhov menulis artikel menarik dalam di situs web
https://journal-neo.org/2018/12/13/talks-on-the-sidelines-of-the-g-20-summit/
Misalnya saja kontak informal yang digelar secara terpisah antara Presiden AS Donald J Trump dan Presiden CIna Xi Jinping di sela-sela berlangsungnya forum G-20 barang tentu lebih menarik. Mengingat dalam dalam beberapa bulan terakhir kedua adikuasa itu bersitegang dalam bidang perdagangan dan ekonomi global yang bermuara pada pernyataan perang dagang dari kubu AS terhadap Cina.
Ketegangan AS-Cina di bidang ekonomi global dan perdagangan telah berakibat menurunnya total volume impor AS dari Cina. Bahkan AS mengancam mulai tahun depan akan menaikan tariff bea masuk barang-barang impor dari Cina senilai 250 miliar dolar AS.
Namun, pada perkembangannya, perang dagang AS-Cina ini bukan saja merugikan Cina, melainkan AS juga pada akhirnya. Sehingga muncul desakan dari internal Gedung Putih untuk meredakan ketegangan kedua negara melalui meja perundingan.
Rupanya pertemuan tidak resmi Trump-Jinping di Buenos Aires ada hasilnya juga. Buktinya Washington bersedia menunda penetapan kenaikan tarif barang-barang Cina dalam tiga bulan ke depan.
Namun AS juga mengajukan syarat kepada Cina, agar Beijing pun menurunkan tafif bea masuk barang-barang impor dari AS. Termasuk barang impor AS seperti mobil dan kedelai. Juga, Cina didesak AS agar menghentikan pencurian hak cipta intelektual yang menurut tuduhan AS seringkali dilakukan oleh Cina.
Namun demikian banyak kalangan merasa pesimis dengan prospek berakhirnya perang dagang AS-Cina dalam tiga bulan ke depan. Sebab saling serang dan kecam antara AS dan Cina bukan sekadar soal ekonomi dan perdagangan. Menteri Luar Negeeri AS Mike Pompeo sempat melontarkan kecaman keras di forum Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bukan kepada Cina, melainkan juga ke Rusia dan Iran.
Maka itu, pertemuan di luar forum G-20 itu sendiri seperti antara perdana menteri Jepang dan India maupun dengan Presiden Rusia Putin, juga merupakan momen yang tak kalah penting dan menarik meski berlangsung di luar forum resmi.
Sebaliknya, pertemuan informal antara Trump dengan Perdana Menteri Narendra Modi dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, juga tak kalah menarik. Mengingat ini merupakan negara-negara yang masuk dalam orbit persekutuan Blok Barat. Meski pertemuan ketiganya tidak dipublikasikan kepada publik, justru semakin memperkuat analisis beberapa pakar kajian luar negeri bahwa ketiga negara sedang mematangkan pelaksanaan dari skema kerjasama INDOPASIFIK yang misinya dalam jangka pendek adalah untuk membendung pengaruh kekuatan maritime Cina di Asia Pasifik.
Juga yang tak boleh diabaikan, ketiga negara tersebut bersama Australia sudah secara terang-terangan membentuk persekutuan Empat Negara (Quad). Artinya baik AS, Australia, Jepang dan India sama-sama khwatir dengan semakin menguatnya pengaruh Cina sebagai negara adikuasa urutan kedua di dunia.
Masalahnya adalah, pada saat yang sama keempat negara yang merupakan blok Barat itu juga menyadari bahwa Cina merupakan mitra dagang mereka juga. Jadi mereka harus hati-hati betul mengelola konflik berskala global tersebut.
Maka tak heran di sela-sela pertemuan tingkat tinggi G-20 itu juga Jepang-India dan Cina menggelar pertemuan segitiga. Untuk mencari kesepakatan saling menguntungkan dalam bidang perdagangan.
Bahkan satu lagi yang harus jadi catatan di sela-sela forum G-20, India dan Cina juga gelar pertemuan bilateral yang mana kedua negara menyatakan puas dengan hasil pertemuan Narendra Modi dan Jinping.
Selengkapnya baca : Talks on the Sidelines of the G-20 Summit
Menurut saya apa yang ditulis Vladimir Terekhnov ini menarik dan jeli dalam melihat konstelasi global belakangan ini. Melalui pertenuan informal kepala pemerintahan India, Jepang dan Cina, sesungguhnya ini merupakan fenomena baru yang bisa jadi merupakan terobosan diplomatik untuk mencegah skenario perang terbuka antara AS versus Cina. Sehingga pertemuan segitiga Jepang, India dan Cina, sejatinya merupakan strategi perimbangan kekuatan untuk menetralisasi menajamnya persaingan AS versus Cina yang bermuara pada terbentuknya persekutuan empat negara AS, Australia, Jepang dan India.
Bukankah manuver informal Jepang-India-Cina di sela sela Forum G-20 di Buenos Aires itu membuktikan gerakan Non Blok yang dirintias di Beograd pada 1961 belum mati dan tamat? Lantas bagaimana peran Indonesia? Apa sudah lupa bahwa Indonesia merupakan salah satu pelopor gerakan non blok 1961?
Diolah kembali oleh Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)