Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Jika dari hasil pantauan sementara, tragedi Sukhoi tidak membawa dampak buruk bagi mutu teknologi dan tingkat kepercayaan calon pembeli pesawat simbol kebangkitan industri Rusia tersebut, benarkah ini disebabkan human error atau jangan jangan human error yang di error-kan? Kita Tunggu hasil investigasi gabungan Indonesia-Rusia terhadap apa yang terjadi di balik kecelakaan di Gunung Salak, Bogor.
Setelah selama dua minggu seluruh pemberitaan media massa terfokus pada tragedi Sukhoi Superjet 100 dalam penerbangan uji coba, maka sekarang kita bisa menilai kejadian tersebut secara lebih jernih dan obyektif. Memang kita masih menunggu hasil investigasi tim gabungan Indonesia dan Rusia terkait kecelakaan yang tak terduga dan cukup mengenaskan tersebut. Namun di luar soal itu, benarkah dengan kejadian tersebut kredibilitas Sukhoi Superjet 100 menimbulkan dampak buruk bagi prospek perkembangan pesawat kebanggaan nasional Rusia tersebut?
Dari berbagai informasi yang berhasil dihimpun oleh Tim Riset Global Future Institute, beberapa kalangan ahli dari Rusia sendiri justru tetap optimis. Bukan itu saja. Bahkan menurut berita tertanggal 17 Mei 2012 yang dilansir oleh beberapa media di Moskow, mewartakan bahwa Perusahaan Penerbangan Aeroflot telah menandatangani persetujuan pemesanan 8 pesawat Sukhoi Superjet jenis 100 MSN 95014.
Dalam dokumen yang ditandangani oleh baik oleh JSC Sukhoi Civil Aircraft Company and JSC Aeroflot-Russian Airlines, pesawat yang menjadi simbol kebangkitan industry strategis Rusia tersebut telah diserahkan kepada pihak Aeroflot, berikut kelengkapan penerbangan yang mana telah dinyatakan secara resmi bahwa karakteristik teknis dari pesawat superjet tersebut secara teknis sudah cukup memadai, dan laik terbang sebagai pesawat komersial baik untuk penerbangan di dalam negeri maupun luar negeri sesuai dengan jadwal penerbangan yang ditetapkan oleh Aeroflot.
Juga, sesuai dengan kesepakatan JSC Sukhoi Civil Aircraft dan JSC Aeroflot Russian Airlines, penerbangan perdana dari Komsomolsk-on Amur menuju Moskow, direncanakan akan dilakukan pada 23 Mei mendatang.
Perkembangan ini, secara faktual memperkuat optimism beberapa ahli yang mengatakan bahwa secara teknis dan kualitas teknologi Sukhoi Superjet 100 nampaknya memang tak perlu diragukan lagi.
Senada itu, Nofia Fitri Azriel, seorang pengamat ekonomi politik internasional dari Universitas Nasional di awal kejadian tragedi di Gunung Salak tersebut, dengan meyakinkan menyebut Russia is on the advanced country on the Technology. Dengan kata lain, tidak masuk akal jika kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 disebabkan karena rendahnya kualitas dan mutu teknologi dari pesawat superjet ini.
“Pesawat itu berhasil diujicobakan di Pakistan dan di Myanmar, kenapa gagal di Indonesia?,” ujar alumnus Fakultas Hubungan Internasional Universitas Nasional tersebut dalam tanggapannya kepada The Global Review 11 Mei lalu.
Meski bersifat hipotetis, namun pandangan Nofia Fitri Azriel tersebut kiranya cukup logis sebagai dasar untuk memperkuat pandangan yang cenderung tidak meragukan kualitas dan mutu teknologi. Sekaligus menggugurkan anggapan bahwa kecelakaan yang cukup mengenaskan tersebut disebabkan faktor mesin pesawat. Pertanyaannya kemudian, adakah penjelasan yang lebih akurat untuk mendukung keyakinan seperti dikumandangkan oleh Nofia?
Menarik komentar dari Oleg Panteleev, Pemimpin Redaksi sebuah media penerbangan Rusia Aviaport. “Kecelakaan yang terjadi akibat dari cuaca buruk dan di sebuah daerah yang cukup rawan dan berbahaya, tidak bisa dijadikan ukuran bahwa pesawat tersebut cukup berbahaya dan tidak layak terbang. Dan semua orang tahu itu. Dan semua orang pun tahu bahwa sebuah pesawat yang sudah disertifikasi, berarti design dan produksi pesawat sudah cukup memenuhi syarat.”
Pada kenyataannya, Lanjut Oleg Panteleev, Sukhoi Superjet 100 memang sudah disertifikasi baik oleh Poppy Aviation Register dan EASA. Dan sertifikasi ini sudah diakui oleh seluruh dunia. Karena itu masuk akal jika Panteleev cukup optimis bahwa tragedi Sukhoi Superjet 100 tidak akan mengurangi minat dan kepercayaan para calon pembeli terhadap pesawat ini.
Meskipun demikian, untuk sementara waktu Panteleev memang mengakui bahwa para calon pembeli masih akan menunggu terlebih dahulu hasil investigasi tim Rusia dan Indonesia terkait penyebab jatuhnya pesawat tersebut. Sehingga wajar saja jika pihak Sukhoi tidak terlalu berharap adanya pemesanan maupun kontrak pembelian terhadap Sukhoi jenis Superjet 100 tersebut.
Penteleev agaknya bukan satu-satunya yang optimis terhadap tetap digdayanya Sukhoi yang memang identik dengan kebangkitan Industri Rusia tersebut. Alexey Sinitsky, Pemimpin Redaksi Air Transport Review nampaknya senada dengan Penteleev. “Jatuhnya Sukhoi Superjet 100 tidak akan berdampak buruk terhadap industri penerbangan Rusia. Memang sekarang ini bukan situasi yang cukup menggembirakan buat kita, tapi saya tidak melihat alas an bahwa kecelakaan ini akan mempengaruhi perkembangan dan kemajuan pemasaran pesawat jenis ini,” begitu menurut Sinitsky.
Lagipula, dari pantauan tim riset the Global Future Institute terhadap berbagai pandangan para pakar penerbangan, memang pada umumnya sepakat bahwa dalam kasus kecelakaan pada momen penerbangan uji coba atau penerbangan perdana, terlalu mengada-ada jika disimpulkan hal itu disebabkan karena karakteristik teknologi atau jenis pesawat komersial tertentu.
Andrianto, Direktur Pendidikan dan Pelatihan Global Future Institute, bahkan punya tanggapan yang tak kalah meyakinkan. Menurut alumnus Fakultas Hubungan Internasional Universitas Nasional ini, Pesawat Sukhoi Superjet 100 telah dilengkapi sistem keamanan penerbangan yang super canggih yang dilengkapi dengan MOCA (Minimum Obstacle Clearance Altitude) yaitu sistem pemberitahuan tentang ketinggian minimum pesawat pada radius lokasi tertentu. Berikutnya pesawat ini yang dilengkapi dengan Tactical Airborne Warning System (TAWS) dimana system secara otomatis akan memberikan peringatan dini apabila didepannya ada rintangan berupa gunung/bukit dan rintangan lainnya, serta Ground Proximately Warning System (GPW).
Kedua alat ini biasanya dipasang pada pesawat tempur generasi terbaru, dimana gerakan pesawat yang dikendalikan komputer (yang akan mengambilalih pengendalian secara otomatis apabila pilot tertidur/pingsan) akan bergerak mengikuti kontur bumi sehingga akan meminimalkan tabrakan dgn gunung atau tebing.
Selain dilengkapi dengan “Black Box” yg merupakan alat standar di pesawat, Sukhoi SSJ 100 ini jang dilengkapi dengan Emergency Locator Transmitter (ELT) yang berfungsi sebagai alat peringatan awal yang dikirim via satelit sesaat setelah terjadinya kecelakaan sebelum “Blackbox” memancarkan sinyalnya. Dengan demikian, Andrianto bahkan selangkah lebih maju disbanding tanggapan dari para pakar penerbangan Rusia sekalipun, bahwa selain laik terbang dan dengan kualitas mutu yang tinggi, bahkan dilengkapi dengan berbagai mekanisme pengaman.
Kita memang boleh setuju atau tidak setuju. Namun fakta memang menunjukkan bahwa saat ini Sukhoi sudah mendapat pesanan setidaknya sekitar 170 unit dari Aeroflot, Armavia dan Yakutia Airlines. Bahkan Januari lalu, Sukhoi telah menandatangani kontrak dengan Mexico. Dan dengan Indonesia, tentu saja salah satunya dengan Kartika Airlines.
Dari beberapa fakta tersebut, bisa disimpulkan bahwa diluar fakta adanya kecelakaan tragis di Gunung Salak, Bogor tersebut, berarti kepercayaan para calon pembeli dan peminat pesawat Sukhoi jenis Superjet ini relatif cukup tinggi. Tak terkecuali dari mitra-mitra strategis Rusia di Indonesia.
Dari sekelumit cerita ini, nampaknya kunci penyelesaian krisis ini adalah hasil investigasi tim gabungan Indonesia dan Rusia. Dan menurut hemat penulis, Komunikasi antara pilot dan Petugas Menara Pengawas Bandara Sukarno-Hatta nampaknya harus menjadi kunci untuk membuka apa yang sebenarnya terjadi sehingga memicu terjadinya tragedy Sukhoi tersebut.
Kalau memang pada akhirnya hasil investigasi akan bermuara pada kesimpulan bahwa penyebab kecelakaan adalah human error dan cuaca buruk, maka mau tidak mau akan mengarah pada pengusutan selanjutnya yaitu, atas dasar apa ketika kemudian pihak ATC sepertinya mengizinkan untuk menurunkan ketinggian pesawat dari 10 ribu ke kisaran 6 ribu.
Benarkah ini semata human error yang dipicu oleh buruknya cuaca, atau memang human error yang di error-kan?