Masdarsada
Tragedi pemberontakan yang dilakukan oleh partai komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September (G 30 S/PKI), adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September sampai awal 1 Oktober 1965. Pada peristiwa tersebut, enam perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang dituduhkan kepada anggota PKI. Namun justru oleh oleh eks anggota PKI, hal tersebut dianggap sebagai tragedi kemanusiaan pelanggaran HAM berat 1965/66 yang meliputi penghilangan orang secara paksa, penculikan, pembunuhan, penahanan, penyiksaan, perampokan, diskriminasi sosial, politik dan ekonomi, pembuangan, kerja paksa/perbudakan atas orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI dan pengikut Presiden Sukarno, yang dilakukan oleh aparat kekuasaan/aparat militer Orde Baru.
Pasca runtuhnya Orde Baru, eks anggota PKI diberbagai daerah mulai muncul ke permukaan dengan berbagai organisasi pendukungnya, seperi paguyuban korban orde baru (Pakorba), yayasan penelitian korban pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) dan lembaga perjuangan rehabilitasi korban rejim orde baru (LPR-KROB) sera beberapa lainnya. Pembentukan organisasi tersebut sebagai wadah tempat berkumpulnya kader eks PKI untuk perjuangan menuntut rehabilitsi nama baik anggota-angotanya serta ganti rugi dari pemerintah.
Salah satu keberhasilan dari perjuangan eks PKI adalah keluarnya rekomendasi dari Komnas HAM tentang perlunya Negara/Pemerintah RI melalui Jaksa Agung agar membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan atau mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan korban G30S/PKI. Sejauh ini Jaksa Agung justru mengembalikan berkas penyelidikan tragedi 1965-66 tersebut kepada Komnas HAM dengan alasan tidak memenuhi persyaratan untuk dilanjutkan ke pengadilan. Eks PKI menggap bahwa ketidakmauan dan ketIdakmampuan Jaksa Agung untuk menggelar pengadilan HAM ad hoc mendorong, mereka untuk membawa kasus ini melalui mekanisme pengadilan internasional.
Terjun ke Politik
Di alam demokrasi saat ini eks PKI mencoba memanfaatkan partai politik yang ada dengan memasukan para kadernya menyusup menjadi anggota partai politik dan kemudian didukung dalam setiap kali pelaksanaan pemilihan umum. Saat ini publik mengetahui bahwa sejumah kader PKI telah menjadi anggota dewan dari suatu partai politik yang kuat dan besar. Diperoleh info bahwa menjelang pelaksanaan pemilihan umum legislatif 9 April 2014 lalu, pengurus YPKP 65 telah menganjurkan kepada para pengurus YPKP di seluruh wilayah Indonesia untuk menyalurkan aspirasi politiknya dengan mendukung Caleg dari partai politik tertentu karena adanya simpati dari Caleg yang bersangkutan terhadap para eks Tapol 65 yang berjuang untuk mendapatkan haknya yaitu penyelesaian nasib eks Tapol 65 yang berasal dari PNS, TNI/Polri, terkait dengan Keppres No.28 tahun 1975.
Sementara itu, beberapa perwakilan pengurus Dewan Pimpinan Pusat LPR-KROB juga diketahui mengadakan pertemuan dengan perwakilan pengurus partai politik tersebut di Pasar Minggu, Jakarta Selatan dan menyatakan bahwa jajaran pengurus LPR-KEROB dipusat maupun di daerah akan menyalurkan aspirasi politiknya dalam Pemilu 2014 dengan memilih para Caleg dari partai politik tersebut, maupun calon presiden yang akan diajukan oleh partai politik tersebut.
Eks PKI tentu saja sangat mengharapkan agar perjuangan mereka untuk bisa eksis kembali dalam percaturan perpolitikan di tanah air bisa segera terwujud, karena di era keterbukaan dan kebebasan menyatakan pendapat saat ini, semua warga negara dapat menyuarakan pendapatnya. Pendukung komunis tampaknya menangkap peluang ini untuk kembali menghidupkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun sejauh ini upaya tersebut masih terganjal baik karena penolakan oleh sejumlah Ormas yang sangat anti komunis, masih berlakunya Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, dan juga pemerintah belum mau mengambil resiko memenuhi permintaan atau tuntutan dari eks PKI.
Meski didesak Ketua LPR-KROB, Semaun Utomo agar Presiden SBY segera memulihkan hak-hak eks PKI menyusul putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengeluarkan rekomendasi agar Keputusan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1975 tentang perlakuan terhadap mereka yang terlibat G.30.S Golongan C dicabut. Menurut Semaun, kami masih terus menunggu putusan Presiden untuk menindaklanjuti rekomendasi putusan Mahkamah Agung itu. Ternyata Presidn SBY belum mau menindaklanjutinya. Begitu juga dengan tuntutan pembentukan lembaga Pengadilan HAM ad hoc untuk memeriksa dan atau mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan korban G30S/PKI.
Kegiatan Eks PKI
Sebelumnya diketahui bahwa orang-orang eks PKI telah menggelar sejumlah pertemuan di daerah Jawa tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai bentuk konsolidasi untuk menghadapi Pemilu 2014. PKI menargetkan kader-kadernya dan didukung oleh pihak yang bersimpati kepada perjuangan mereka, agar bisa menduduki kursi di DPR RI maupun DPRD di daerah-daerah. Menurut Pimpinan Taruna Muslim, Alfian Tanjung tujuan akhirnya dari upaya eks PKI adalah agar kader-kader PKI yang menjadi anggota DPR mengamandemen Tap MPRS No. XXV/MPRS/1966 yang berisi pelarangan penyebaran ajaran Komunisme, Leninisme dan Marxisme.
Selanjutnya Alfian mengatakan bahwa PKI secara nama memang sudah bubar, tetapi ikatan masa lalu tetap ada. Tokoh-tokoh PKI masih terus menggelar kongres, Kongres PKI kesepuluh digelar di desa Ngablak, Magelang, Jawa Tengah dengan menggunakan cover pelatihan pembuatan pupuk organik. Di hadapan publik tertulis pelatihan pupuk organik, tetapi di dalamnya ada Kongres PKI kesepuluh. Kongres PKI kesepuluh menjadi kelanjutan dari Kongres PKI kesembilan yang digelar di Cianjur. Pada Kongres kesembilan digunakan cover pertemuan koperasi. Sementara, Kongres PKI kedelapan digelar di Sukabumi pada tahun 2000.
Bukti bahwa akivitas eks PKI tidak pernah berhenti adalah aksi pembubaran pertemuan korban huru-hara 1965 oleh massa Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) dalam pertemuan korban kekejaman politik Orde Baru tersebut, yang berlangsung di Jalan Potrosari Tengah, Kelurahan Srondol Kulon, Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah, pada petengahan Februari 2014.
Upaya Antisipasi
Dalam upaya mengantisipasi kembalinya paham komunisme di Indonesia, sangat diharapkan peran serta masyarakat, terutama melalui Ormas-Ormas yang selama ini diketahui sangat anti PKI untuk memperingatkan para kadernya agar secara terus menerus mewaspadai bagkitnya paham tersebut. Salah satunya adalah Barisan Ansor Serbaguna (Banser) yang secara terus menerus memotivasi kadernya dalam berbagai pendidikan dan pelatihan di berbagai tempat agar tidak gentar membela Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Nahdlatul Ulama terkait ancaman bangkitnya komunisme. Selain itu pemerintah juga diharapkan menghimbau para tokoh masyarakat, tokoh agama dan kaum intelektual untuk mewaspadai upaya pembentukan opini oleh tokoh-tokoh komunis yang menyesatkan.