Mitos Nyai Loro Kidul: Pola Kolonisasi Kaburkan Sejarah Nusantara! (Bag-2/Habis)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

“Jangankan hanya legenda atau mitos, bahkan sejarah pun selayaknya tak sekedar dibaca dan ditelan bulat-bulat, tetapi mutlak harus dikritisi, dianalisa, dan jika perlu dibuat sejarah baru yang masuk akal bila alur cerita sebelumnya ternyata bagian dari muslihat kaum kolonial”. Inilah premis atau titik awal yang menguat sebelum melanjutkan catatan sederhana ini.

Sekurang-kurangnya ada beberapa rujukan yang mendukung premis di atas. Pertama, statement Juri Lina, penulis Swedia dalam buku “Architects of Deception- the Concealed History of Freemasonry” (2004). Ia berasumsi, bahwa ada tiga cara untuk melemahkan dan menjajah suatu negeri. Antara lain: (1) kaburkan sejarahnya, (2) hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tidak bisa dibuktikan kebenarannya, (3) putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakan bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif.

Tak kurang, pointers diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta (17/1/2013), pimpinan Hendrajit, cenderung menebalkan asumsi Lina. GFI mensinyalir, terdapat pola yang berulang dalam setiap kolonisasi yakni “pengaburan atau pembengkokan sejarah leluhur di negara koloni (terjajah)”. Itu skema besarnya.

Adapun langkah pengaburan sejarah bangsa menurut GFI, melalui beberapa tahapan antara lain: pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menyaksikan bukti-bukti kejayaan nenek moyangnya, otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah; kedua, diputus hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya itu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain; ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah.

Dan tampaknya, substansi kedua asumsi (Juri Lina dan GFI) hampir identik, hanya GFI menambahkan poin materi: “dibuat sejarah baru versi penjajah” — hal ini yang kemungkinan tak terlintas di benak Lina, penulis Swedia. Entah kenapa, atau sebab negaranya Lina tidak pernah dijajah? Boleh jadi. Memang terdapat beberapa negara di dunia yang tak pernah dijajah oleh siapapun, antara lain Arab Saudi, Islandia, SWEDIA, Denmark, Norwegia, Nepal, Turki, dan Thailand.

Dengan demikian, menelusur kembali sejarah nusantara yang konon banyak dikaburkan ataupun dibengkokkan oleh kaum penjajah bersama “kaki tangan”-nya hingga kini, maka berbasis kedua asumsi tadi, penulis ingin menguak —walau sedikit saja— bagaimana cara para kolonial dahulu mengkaburkan sejarah bangsa ini.

Masih ingat tahapan dan era-era kejayaan nusantara? Sebaiknya dibaca terlebih dulu “Melacak Makna dan Kejayaan Nusantara” dan artikel “Kenapa Samudra Pasifik dulu Disebut Lautan Teduh” di (www.theglobal-review.com) agar ‘nyambung’ bila melanjutkan catatan ini.

Tak boleh dielak, kemunculan istilah NUSANTARA atau nuswantoro, sejatinya merujuk kepada penyatuan empat bangsa, yaitu bangsa Chin (Cina, Veitnam, Laos dan Kamboja), bangsa Thai (Burma atau Myanmar dan Thailand), bangsa Afrika (Madagaskar, Srilangka, India dan seterusnya hingga Mesir) dan Bani Jawa terdiri atas Sumatera, Papua sampai kepulauan Polinesia, Hawai dan Jawa itu sendiri. Inilah Era Medang Kamulyan dengan raja yang terkenal ialah Ratu Boko. Medang Kamulyan merupakan kelanjutan Era Wangsa Keling dibawah kekuasaan Sailendra dimana pusat pemerintahan konon berada di sekitar Yogyakarta sampai ke wilayah Dieng. Dieng itu sendiri itu artinya penguasa. Dari kata Dieng bergeser namanya menjadi Dah Nyang (Dayang) yang berarti Dah Hyang atau Penguasa. Selanjutnya inti yang ingin diurai pada paragraf ini, bahwa NUSA artinya pulau, sedangkan ANTARA maksudnya ialah jarak. Sehingga terminologi “nusantara” bermakna sebuah bangsa yang hidup di antara pulau-pulau yang tersebar dari kepulauan Polinesia sampai ujung timur hingga di wilayah Madagaskar atau Afrika.

Maka menjadi wajar ketika Samudra Pasifik tempo doeloe dikenal dengan istilah Lautan Teduh. Oleh karena bahasa nusantara (bahasa Indonesia kini) hakikinya adalah cikal bakal Bahasa Melayu. Ia dianggap lingua franca bagi perdagangan dan hubungan politik di nusantara sejak sekitar A.D 1500-an. Selain digunakan di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa Indonesia), Malaysia (dikenal sebagai bahasa Malaysia); bahasa nasional Singapura; dan juga menjadi bahasa kerja di Timor Leste. Bahasa Melayu dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri Lanka, Thailand selatan, Filipina selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja, hingga Papua Nugini. Bahasa ini juga dituturkan oleh penduduk Pulau Christmas dan Kepulauan Cocos, bagian Australia (http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Melayu). Bukankah TEDUH itu kata dalam bahasa Indonesia yang artinya aman, nyaman, atau tentram?

Jujur saja, istilah Lautan Teduh merupakan salah satu circumstance evidence (bukti keadaan) yang masih tertinggal dalam mengendus kejayaan nusantara dulu, kendati di era sekarang telah diubah namanya menjadi Samudra Pasifik di berbagai literatur. Dengan kata lain, bahwa Samudra Pasifik itu dahulunya disebut Lautan Teduh oleh banyak negara. Pertanyaannya: siapa memberi nama Lautan Teduh? Logika jawabannya sederhana: Tak lain dan tak bukan adalah armada laut sebuah bangsa atau negara yang yang saat itu menguasai lautan seluas sepertiga bumi, atau superpowernya pada era tersebut.

Disinilah titik mula julukan Nyai Loro Kidul itu muncul. Sebutan tersebut mengacu kepada penguasa (Dah Hyang) pantai selatan, atau semacam Angkatan Laut kini. Di Indonesia semodel Armada Barat atau Armada Timur, dll. Atau seperti US-Pasific Command (USPACOM), USAFRICOM-nya Paman Sam, dan lainnya. Akan tetapi, kala itu di pantai selatan dipimpin oleh NYAI. Nyai itu sendiri sebutan bagi komandan perempuan yang ahli dalam segala pertempuran. Dengan demikian, Nyai atau NYI itu istilah “Tenaga Ahli” militer bagi perempuan, kalau laki-laki namanya RAKYAN. Misalnya Rakyan Panangkaran, itu sebuah tempat latihan kemiliteran yang lokasinya dahulu berada di sekitar Yogyakarta (baca: Salah Kaprah Nusantara, www.theglobal-review.com).

Awal muasal cerita Nyai Loro Kidul ini masuk Era Wangsa Keling. Sebutan tadi mengacu atau atas jasa dari “dua orang” (Loro/dua) “wanita” (Nyai) tenaga ahli militer bidang kelautan yang sanggup mengendalikan armada-armada nusantara tempo doeloe. Dimana semua tamu-tamu asing diarahkan ke pantai selatan, sekarang disebut Samudra Hindia. Sedangkan istilah “mistik” itu muncul di permukaan karena mengacu atas keahlian dua tenaga ahli wanita tadi mengecoh lawan-lawannya, istilahnya kini trik-trik intelijen. Oleh karena dalam intelijen bahari memang ada sebutan “datang tiba-tiba dan menghilang seketika”. Tak lain maknanya adalah, jika datang membawa perniagaan, kebudayaan dan seterusnya, tetapi kerapkali juga mengocak urusan negara-negara lawan yang hendak mencobanya.

Maka jelaslah bahwa berkembangnya legenda mistik di sepanjang pantai selatan sesungguhnya merupakan “PEMBODOHAN PERADABAN” bagi anak bangsa secara sistematis hingga kini ketika cerita Nyai Loro Kidul dilarikan dalam bentuk khayalan dan cerita mistik —dalam bahasa Belanda disebut klenik— sesuatu yang tidak mungkin.

Sebagaimana asumsi Juri Lina dan GFI tentang pola pengaburan sejarah dalam setiap kolonisasi, agaknya kepercayaan klenik tersebut sengaja dihembuskan kuat-kuat kepada anak cucu bangsa Indonesia agar nenek moyangnya terstigma sebagai bangsa primitif, tidak beradab, penyembah berhala, dan lain-lain padahal semenjak zaman dahulu, bangsa kita adalah bangsa yang kuat, maju dan merupakan penguasa bahari.

Akhirnya berbasis pada substansi premis di atas, sekali lagi, jangankan cuma legenda dan mitos, bahkan sejarah pun layak dikritisi, atau dianalisa, kalau perlu dirobek pada halaman pertama apabila kronologisnya tak masuk akal, terlebih lagi jika alur cerita merupakan bagian dari tipu muslihat kaum penjajah dulu.

JALESVEVA JAYA MAHE, di laut kita jaya!

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com