Geliat politik di tanah air kemarin dan hari ini, masih menampakkan apa yang disebut dengan istilah “politik glamour”. Maksudnya, dinamika politik tampak gemerlap di permukaan tetapi tidak memiliki makna apa-apa bagi Kepentingan Nasional RI. Bangsa ini (melalui berbagai media terutama media mainstream, medsos, dan lain-lain) hanya disibukkan pada persoalan-persoalan hilir daripada membahas hulu (pokok) permasalahan bangsa. Inilah yang sedang terjadi dan kerap berulang, berulang serta berulang.
Pertanyaannya sekarang, apa sejatinya pokok permasalahan bangsa; dan mana pula yang disebut persoalan hilir bangsa? Mari kita diskusikan secara garis besar.
Permasalahan pokok bangsa yang kini tengah terjadi adalah: “PENGUASAAN EKONOMI DAN PENCAPLOKAN SUMBERDAYA ALAM (SDA) OLEH ASING”. Inilah yang tengah berlangsung secara masiv, terstruktur bahkan sistematis melalui “sistem negara” baik itu UUD (hasil amandemen 4 X), UU, PP, ataupun aturan-aturan lain dibawahnya.
“Sistem” yang tengah dijalankan pemerintah kini justru menggiring kekayaan negara ini lari keluar negeri, tetapi kenapa banyak anak bangsa ini tidak memahami bahkan mendukungnya? Sebenarnya tak sedikit elemen dan kalangan memahami kondisi bangsa ini namun ia diam, pura-pura tidak tahu. Apakah mereka turut menikmati?
Lalu, macam mana hilir persoalan bangsa yang membikin mayoritas bangsa ini lupa, terlupakan atau justru ‘melupakan’ hal-hal pokok?
Persoalan hilir (di atas permukaan) bangsa adalah demokrasi, hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan, atau di kalangan global review dan para pengkaji geopolitik dinamai “Paket DHL”. DHL merupakan akronim dari Demokrasi, HAM dan Lingkungan. Itulah isu-isu yang kerap ditebar asing agar segenap bangsa ini gaduh pada tataran di atas permukaan (hilir), sementara hidden agenda yang berupa penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA oleh asing kian tertancap kuat dan terus berlangsung tanpa ada gugatan dari rakyat (publik).
Bagi kaum kolonial (negara asing), membikin gaduh (publik) Indonesia sekarang tak cuma melalui Paket DHL belaka, tetapi kini juga menggunakan isu-isu korupsi, transparansi, profesionalisme, konflik komunal, ego sektoral, dan lain-lain.
Membaca pola permainan asing guna melestarikan skema kolonialisme (penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA) di Indonesia sebenarnya tak sulit-sulit amat. Lihat saja, setiap kali ada gugatan publik yang mengarah pada ‘skema kolonialisme’ niscaya akan digebyarkan isu-isu kacangan di tataran hilir. Misalnya, ketika bangsa ini mulai menggugat ketidakberdayaan para elit kekuasaan menaikkan nilai rupiah terhadap US Dollar (USD), manakala segenap bangsa ini mengkritisi ketidakmampuan pemerintah mengantisipasi asap, atau tatkala bangsa ini telah mampu membaca modus baru tentang bagaimana ‘menggadaikan aset-aset negara’ maka dengan segera akan digebyarkan atau digaduhkan oleh isu-isu hilir tadi. Pada gilirannya, isyu pokok terabaikan, isyu hilir malah mengemuka.
Dalam konteks tulisan ini, Polri kembali dijadikan tumbal untuk sarana deception, atau pengalihan-pengalihan perhatian publik atas ketidakberdayaan di atas tadi. Keberhasilan Polri mengungkap para pelaku pembunuhan dan penganiayaan terhadap Salim Kancil dan Tosan —aktivis lingkungan— di Lumajang dalam waktu empat hari tak kunjung mendapat apresiasi, namun berbagai Tim serta Komisi dari Jakarta baik dari internal Polri sendiri maupun eksternal justru ‘memeriksa kinerja’ aparat di Lumajang dengan kesimpulan sementara NEGARA TIDAK HADIR DI TENGAH MASYARAKAT, APARAT MELAKUKAN PEMBIARAN!
Secara politis, faktor situasional —masa transisi pejabat Kapolres— yang berdampak kekurang optimalan aparat dalam pengamanan dinamika sosial tak bisa dijadikan alasan daerah bahwa negara boleh “alpa” melindungi warganya. Idealnya memang negara hadir dalam 1 X 24 jam di tengah-tengah masyarakat.
Namun dari perspektif geopolitik, “Kasus Lumajang” hanyalah isyu yang sengaja digebyarkan secara gegap gempita agar bangsa ini terus gaduh dan gaduh di hilir persoalan, sedangkan permasalahan pokok bangsa yakni penguasaan ekonomi dan pencaplokan SDA oleh asing melalui pelemahan rupiah, penjualan aset-aset negara, dan lain-lain terus melaju tanpa gugatan.
Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)