Orang Keturunan Cina Banyak Yang Sukses? Tidak!

Bagikan artikel ini

Adji Subela, Wartawan Senior

Kita sering silau oleh capaian ekonomi segelintir WNI keturunan Cina. Nama mereka membikin merinding. Tapi bukan hanya di bidang ekonomi saja. Mereka juga menonjol di bidang lain seperti olahraga, iptek, dan lain-lain.

Di balik itu semua ada kerja keras tanpa lelah dan keuletan tinggi. Rudy Hartono sampai sering menangis karena “dipaksa” berlatih tiap hari oleh ayahnya. Nama lainnya masih banyak.

Tapi itu semua tidak menjadi wakil keturunan Cina di negeri ini. Cobalah datang dan blusukan ke pedalaman Kalimantan Barat. Kita akan menjumpai orang-orang yang sama-sama sengsara hidupnya dengan orang pribumi, sama-sama tertekan, tinggal di tempat yang sangat tidak layak di pinggiran atau di dalam hutan. Mereka keturunan Cina anak cucu dari kuli yang a.l. didatangkan oleh Sultan Sambas untuk mendulang emas di Monterado. Di Kab. Singkawang, dan Pontianak mereka hidup membaur, sama-sama menjalankan hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Mereka kerja bakti, ronda, dll sama seperti warga lainnya. Baik di perkotaan maupun di perdesaan, masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya segelintir yang berhasil dalam bidang ekonomi.

Yang mengenaskan, sebagian orang keturunan Cina dari pedalaman Kalbar itu begitu menderitanya hingga merelakan anaknya “dikawin kontrak” oleh pria-pria petualang asal Hongkong dan Taiwan. Ada yang berhasil mengangkat ekonomi keluarga di kampung, tapi tidak sedikit yang keliru memilih pasangan dan berakhir tragis sebagai PSK. Mudah-mudahan sekarang tidak ada lagi.

Tak usah jauh-jauh. Kalau kita ke Jakarta Kota, dan tidak cuma melihat mal atau ruko-ruko tapi blusukan ke kampung di baliknya, kita melihat pemandangan berbeda dari kesan kita oleh kebesaran nama Liem Sioe Liong, Ciputra, Mochtar Riady, dll. Para kuli angkut, pendorong gerobak, pengemis, padagang asongan sampai tukang copetnya pun, keturunan Cina. Mereka anak turun orang Cina yang didatangkan oleh VOC untuk membangun Batavia. Banyak orang Cina yang diculik lalu dijual sebagai budak di Batavia. Efek samping dari imigrasi paksa itu, penduduk keturunan Cina semakin banyak dan menimbulkan masalah baik bagi VOC maupun masyarakat lain termasuk Cina sendiri (Heuken, 1997).

Memang diakui orang Cina adalah “economic animal” yang gigih sehingga kemakmuran cepat diraih. Hal ini membawa iri pada penduduk Betawi lain terutama orang Eropa selain Belanda sehingga muncul pembantaian 1740 hanya karena masalah sepele (Ibid).

Mereka kemudian menyebar ke daerah pinggiran dan berasimilasi dengan penduduk asli. Di bidang seni-budaya kita lihat pengaruh Cina di kesenian Betawi seperti gambang kromong, cokek, dan sebagainya. Gambang kromong lalu diambil alih utuh oleh anggota Volksraad Semarang karena daerah itu tak punya ciri khas kesenian. Gambang kromong menjadi gambang Semarang sejak tahun 1930-an (Jongkie Thio, 2007).

Di daerah sekitar tempat tinggal saya di Depok, Jabar, lebih menarik lagi. Di pedalaman kampung di Sawangan, juga di Parung, Gunung Sindur, dan sekitarnya, kita jumpai orang-orang yang hidup selayaknya penduduk asli Sunda Bogor atau Betawi Depok, sebagai petani. Hidupnya pas-pasan, tenang, seperti orang pribumi. Yang membedakan, rumah mereka umumnya memiliki “tepekong” tempat abu leluhur. Waktu saya tanyakan kenapa tidak berdagang, mereka umumnya menjawab tidak bisa. Mereka hanya petani atau pekebun saja. Mereka tak mau disebut keturunan Cina, cukup “orang Bogor” begitu saja. Kehidupan mereka tenang-tenang saja lalu mulai berubah rusak setelah daerahnya dibangun kompleks perumahan yang kehidupannya eksklusif memisah dari penduduk tempatan.

Tahun 1987 saja berkenalan dengan seorang ibu pedagang di Pasar Pal Merah keturunan Cina. Dia ikut suaminya orang Cina Jakarta berdagang. Tapi ibu itu mengeluh tak betah tinggal di kota dan ingin balik ke kampungnya di Parung karena di lahir dan besar di Parung sebagai anak petani. Tahun berikutnya toko ditutup dan kabarnya dia sudah balik kampung.

Dua tahun lalu saya diminta menemani istri kawan yang antropolog mengadakan penelitian orang Cina di Pondok Cina di Depok. Nama Pondok Cina diambil dari tempat pemondokan pedagang Cina di kampung yang sekarang menjadi kompleks UI. Tuan tanah, penguasa Depok di jaman Belanda yang sudah “insyaf”, Cornelis Castelein, seorang Nasrani taat, memerdekakan budaknya, menyerahkan tanahnya kepada mereka, melarang orang Cina bertempat tinggal di kota Depok. Mereka hanya boleh berdagang pagi hari dan dilarang masuk ke perkampungan. Semua itu tertulis dalam testamen yang menekankan karena orang Cina membawa pengaruh buruk pada penduduk, suka main judi, membujuk orang untuk berutang, dll (Wanhar, 2003).

Apa yang kami lihat di Pondok Cina tidak nampak kecinaannya. Orang keturunan Cina di sana sejak dulu tak ada bedanya dengan penduduk asli Betawi. Mereka menyebut dirinya “orang Depok Pondok Cina”. Sangat membaur sulit membedakannya dengan penduduk asli. Banyak yang sudah kawin-mawin dengan suku lain. Mereka sebagian masih memeluk agama Konghucu, tapi melaksanakan amalan sesuai kehidupan mereka sekarang. Imlek oleh sebagian penduduk masih dilaksanakan tapi berbeda sekali. Terkadang mereka yang sudah beragama lain pun masih melakukan Imlek hanya sebagai tradisi dengan penafsiran mereka sendiri. Sebagian besar tidak tahu lagi arti atau falsafah yang dianut orang Tionghoa. Yang mereka pahami adalah budaya Betawi Depok. Pekerjaannya pun bermacam-macam, dari pedagang kecil, usaha bengkel kecil, pegawai negeri. Setiap Lebaran mereka ikut merayakan sebagai tradisi, malahan orangtua mereka pun dahulu ikut-ikutan bersedekah dengan kendurian, dsb. Bayangan Liem Sioe Liong, The Nan King, Ryadi, Ciputra, Anthony Salim pupus di sini.

Inilah gambaran sedikit lebih lebar dari imej cukong Cina yang sukses. Ternyata banyak pula orang keturunan Cina yang tidak suka dengan sepak terjang cukong-cukong itu dan ada yang mengatakannya banyak cukong yang menjadi “pengusaha hitam”, tukang kemplang pajak, tukang suap, maling BLBI dll. Tapi jauh dari hiruk-pikuk itu semua, masih banyak keturunan Cina yang hidup sengsara, tapi juga ada yang “nrimo” dengan kehidupannya itu. Banyak yang masih menerapkan harmoni Yin Yang dalam bola I Ching. Mereka kalah oleh mencorongnya publikasi para cukong.

Kita sering terjebak hanya mengamati keturunan Cina melulu, gara-gara gelegar sukses dan publikasi mereka. Bagaimana dengan keturunan Arab? India?

Padahal banyak dari mereka juga jadi cukong. Apa mereka dijamin bersih semua? Mungkin skalanya memang berbeda dan sensasi politiknya lebih sedikit, atau kesamaan agama. Tidak tahu.

Coba bagaimana sukses orang seperti Sinivasan, putra tukang pedati dari Sumut? Atau keluarga grup Ultra Jaya yang putra pemerah susu asal Sumut? Para pedagang India dari dulu menguasai perdagangan tekstil dan bioskop/film (dulu). Tapi tak banyak yang tahu banyak WNI keturunan India yang sengsara sama seperti penduduk pribumi. Ada Gurnam Singh, hidup dan meninggal dalam kesengsaraan setelah mengharumkan nama Indonesia di Asian Games dulu sebagai juara maraton?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com