MY FRIEND WAS A CIA AGENT

Bagikan artikel ini

Jojo Rahardjo

Tahun 2000 yg sudah lalu saya bekerja di sebuah proyek departemen agama RI. Proyek itu sebenarnya cukup monumental karena memperbaiki kualitas sekolah Islam tingkat SMA (madrasah aliyah) di seluruh Indonesia, baik fisik, manajemen, fasilitas, maupun kurikulumnya. Proyek ini dikerjakan juga oleh konsultan dari luar negeri, bahkan team leadernya adalah seorang Doctor bidang pendidikan dari Amerika dan bukan muslim. Entah bagaimana proyek ini pertama kali digagas, saya waktu itu kurang mendalaminya.

Kisah ini adalah mengenai sahabat saya yang sekaligus boss saya di proyek itu. Di satu Note saya di FB ini saya sudah pernah ceritakan perkenalan saya saat pertama kali bertemu boss saya ini, juga sedikit persahabatan saya dengannya. Sebagai sahabat ia seorang luar biasa karena bisa menjadi orang berbeda ketika menjadi boss saya di kantor. Waktu itu saya berumur 30-an dan boss saya itu berumur 60-an. Ia lahir di sebuah kota dekat New York dan kemudian besar dan memiliki rumah di New York.

Meski berumur 60-an, namun ia masih cukup bugar untuk keluyuran di Jumat malam hingga jam 3 pagi berkat olah raga teratur dan rajin makan sayuran dan buah-buahan. Nyaris setiap Jumat malam kami berkelana dari satu cafe ke cafe lain di Jakarta untuk menikmati live music, kadang bersama teman lain. Tentu saja di tempat itu kami juga melepaskan kepenatan dan rutinitas dengan meminum beberapa gelas bir. Beberapa kali di waktu yang berbeda setelah gelas ketiga, boss saya ini mulai bercerita tentang masa lalunya, kadang cukup melankolis untuk seorang dengan kapasitas intelektualnya. Ceritanya kadang mencengangkan jika tentang perang yang ia berada ditengah-tengahnya di negeri-negeri muslim di Afrika yg tengah dilanda konflik. Kisahnya pun juga seputar pengalaman kerjanya di berbagai negeri muslim. Semua kisah itu keluar jika setidaknya 3 gelas bir melalui kerongkongannya. Tentu kisah-kisahnya itu menimbulkan pertanyaan di kepala saya. Mengapa orang dengan gelar doctor di bidang pendidikan ini selalu berada di negeri-negeri muslim yang sedang berkonflik? CIA?

Namun yang mencengangkan adalah ketika satu kali terlepas sebuah kisah dari mulutnya tentang pengalamannya bekerja di Indonesia. Tentu saya tercengang, karena sebelumnya ia pernah menyatakan tidak pernah bekerja di Indonesia. Namun dari kisahnya setelah beberapa gelas bir melalui kerongkongannya itu ia bisa cukup detail menggambarkan di perusahaan apa ia bekerja dan siapa saja yg ia kenal waktu itu. Itu sebabnya ia mengenal dengan baik beberapa jalan protokol di Jakarta. Ternyata ia di tahun 70-an pernah bekerja untuk perusahaan Singer. Perusahaan Singer mesin jahit? Tanya saya kepadanya. “That’s what you’ve known about Singer“. Jawab si boss. “Singer is also a supplier for the armed force.” Lanjutnya lagi. “I was its marketing director back in seventies.” Ia pun menyebut beberapa nama jenderal dari Indonesian Army yang menjadi sahabatnya di tahun-tahun itu. Entah saya harus merasa lucu atau ngeri melihat boss saya ini yang di Indonesia sedang memimpin sebuah proyek perbaikian sekolah Islam di Indonesia, sementara dulu ia pernah menjadi marketer produk alat-alat perang kepada tentara Indonesia.

Tentu saya pernah bertanya padanya, saat 3 gelas lebih bir sudah masuk melalui kerongkongannya “are you a CIA agent?” Dengan menyeringai ia menjawab: “what kind of question is that?” kemudian ia melanjutkan omongan lain. Dan pertanyaan itu bukan hanya sekali saya ajukan tapi berkali-kali setiap beberapa gelas bir sudah melalui kerongkongannya dan jawabannya tetap sama. Rupanya ia sudah berlatih untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Dan tentu setelah itu ia langsung mengalihkan pembicaraan.

Saya melanjutkan persahabatan saya dengannya meski tahun 2002 saya tidak lagi bekerja di proyek itu. Saya terus bersahabat dan keluyuran saat Jumat malam di Jakarta dan beberapa kota lain hingga 2008. Suatu hari di tahun 2008 itu ia mendadak pulang ke Amerika, katanya untuk berobat. Beberapa bulan kemudian ia muncul lagi di Indonesia dengan badan sangat kurus. “What the hell is happening to you?” Tanya saya. “I’ve got prostate cancer, and I am on medication now“. Rupanya itu adalah pertemuan terakhir saya dengannya. Ia memang menemui beberapa orang di beberapa negara sebelum kematiannya yang tidak lama kemudian di Amerika. Jika ia seorang CIA agent, maka ia adalah seorang agent yang melankolis karena harus pamit dulu kepada teman-temannya sebelum ia menemui ajalnya.

Good luck on your new mission, buddy!

Sumber :Jojo Rahardjo 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com