Negara perlu Hadirkan Narasi Kontra Propaganda COVID-19

Bagikan artikel ini

Terlepas dari “penggiringan” opini media arus utama, persebaran virus corona menghadirkan dalih bagi lembaga keuangan global dan para politisi korup untuk menjebak masyarakat dunia ke dalam lingkaran spiral pengangguran massal, kebangkrutan, kemiskinan dan keputusasaan.

Narasi lockdown di banyak negara yang kerap muncul dalam pelbagai pemberitaan media tak lain adalah pemberangusan samar atas kebebasan sipil dan “Hak untuk Hidup”. Seluruh ekonomi nasional di banyak negara dalam bahaya. Bahkan, di beberapa negara, darurat militer telah berlakukan.

Di negara kita, lockdown masih “setengah hati” sehingga pelbagai kebijakan yang diambil pemerintah belum sepenuhnya menyasar kepentingan seluruh lapisan masyarakat, terutama kelompok ekonomi menengah ke bawah. Di satu sisi, langkah antisipatif pemerintah sangat perlu. Namun di sisi lain, implikasi atau dampak dari kebijakan tersebut malah berpotensi melemahkan sektor-sektor penting lainnya.

Dalam pagelaran “drama” COVID-19 yang mengglobal, modal kecil dan menengah akan lenyap dan perlahan mati dengan sendirinya, sementara modal besar yang akan dan terus berlaku. Dengan demikian, konsentrasi besar kekayaan perusahaan, terutama perusahaan media dan farmasi yang kini sedang beroperasi.

Adalah “Tatanan Dunia Baru” yang jahat dalam skenarionya seperti diungkapkan oleh Henry Kissinger (Opini WSJ, 3 April 2020) bahwa “Pandemi virus corona akan selamanya mengubah tatanan dunia”. Coba telusuri kembali pernyataan bersejarah Kissinger tahun 1974: “Depopulasi harus menjadi prioritas tertinggi kebijakan luar negeri AS menuju (terciptanya) Dunia Ketiga.” (Memorandum Dewan Keamanan Nasional 1974)

Memang pandemi virus corona ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dunia. Pandemi ini, diakui atau tidak, telah menjungkirbalikkan, mendestabilisasi dan menghancurkan kehidupan warga bangsa di seluruh dunia. Itu adalah “perang melawan kemanusiaan”.

Tatkala kita menelusuri lorong gelap virus corona, di situ ada secercah cahaya terang yang memampukan untuk dijadikan pandu dalam menggiring opini publik melalui apa yang kita kenal dengan darurat kesehatan global WHO. Namun, tahukan Anda, bahwa yang benar-benar dipertaruhkan dalam krisis ini tidak lain adalah mekanisme “perang ekonomi” yang ditopang oleh kepanikan, ketakutan dan intimidasi, dengan konsekuensi yang menghancurkan. Bukankah itu juga sudah kita dirasakan sebagai warga bangsa? Coba renungkan!

Dampak ekonomi dan sosial jauh menyakitkan menyusul adanya fakta hilangnya pekerjaan dan PHK besar-besaran di pelbagai negara. Di India, misalnya, pemberlakuan lockdown selama 21 hari telah memicu gelombang kelaparan dan keputusasaan yang memengaruhi jutaan pekerja migran tunawisma di seluruh negeri. Tidak ada lockdown bagi para tunawisma, apakah karena mereka “terlalu miskin untuk membeli makanan”.

Belum lagi, krisis pandemi ini mengakibatkan pemiskinan, terutama di Amerika Latin dan Afrika sub-Sahara. Untuk sektor besar populasi perkotaan, pendapatan rumah tangga benar-benar telah dihapuskan. Di Italia, destabilisasi industri pariwisata telah mengakibatkan kebangkrutan dan meningkatnya pengangguran.

Di banyak negara, warga negara menjadi objek kekerasan polisi. Lima orang yang terlibat dalam protes menentang kuncian itu dibunuh oleh polisi di Kenya dan Afrika Selatan.

Keadaan darurat kesehatan global WHO diumumkan pada 30 Januari, ketika ada 150 kasus yang dikonfirmasi di luar China. Sejak awal itu didasarkan pada apa yang kita kenal dengan The Big Lie, Kebohongan Besar. Cara kerjanya itu cukup simple, hanya menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan.

Teori ini digunakan juga oleh Jerman, Goebbels dan para Nazi, dalam memanfaatkan Anti-Semitisme yang kemudian berubah menjadi pembunuhan masal rakyat yang tidak bersalah. Goebbels membuat kebohongan bahwa Yahudi sudah memulai perang pembantaian terhadap Jerman dan memiliki bala tentara kuat yang menguasai Inggris, Rusia, dan Amerika, kemudian masyarakat dunia, terutama Jerman, merasa takut dan merasa memiliki kepentingan untuk bertahan, sehingga pada masa itu banyak sekali rakyat Yahudi yang tidak bersalah dibunuh serta dibantai, lalu lahirlah perang dunia kedua. Propaganda ini dapat berhasil karena kebohongan tersebut dilakukan secara berulang-ulang

Selain itu, momentum darurat WHO itu juga bertepatan dengan Perang Dagang AS-Cina yang sedang berlangsung dan berkontribusi menciptakan ketidakstabilan keuangan di pasar saham dunia. Itulah kenyataannya. Pertayaan selanjutnya adalah, apakah penguncian global (global lockdown) yang menyebabkan kehancuran ekonomi di seluruh dunia erat kaitannya dengan agenda militer global AS?

Mari kita cermati bersama, pandemi virus korona memperbesar kekejaman kebijakan luar negeri AS, sekalipun toh memang Negeri Paman Sam sendiri yang menjadi korbannya. Terbukti hingga saat ini, AS adalah negara dengan korban terbesar akibat COVID-19 di seluruh dunia. Namun, yang perlu menjadi catatan adalah AS mengindikasikan adanya keruntuhan ekonomi melalui kegagalan neoliberalisme dan tidak bekerjanya kekaisaran-ekonomi untuk melayani orang-orang di dunia, termasuk AS sendiri.

Terbukti juga, AS kehilangan dominasi globalnya karena menunjukkan ketidakmampuannya sendiri dalam menanggapi pandemi dan keganasannya di tengah-tengah krisis ini. Negara-negara lain menunjukkan kepemimpinan dan solidaritas mereka.

Sekali lagi, untuk membalikkan ombak, negara harus siap menghadapi kebohongan, sehingga mau tidak mau diperlukan inisiatif menghadirkan narasi kontra propaganda. Dalam istilah lain narasi kontra narasi. Ketika kebohongan berubah menjadi kebenaran, maka tidak perlu ada langkah mundur sejengkal pun.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com