Langkah ini ditujukan agar mereka dapat bertahan di tengah rendahnya pendapatan minyak dan mempersiapkan diri untuk masa depan.
Seperti yang diketahui, pada Jumat (23/1) lalu, harga minyak dunia mencatatkan kenaikan sebesar 7% ke atas level US$ 31. Salah satu pendorongnya adalah badai musim dingin yang menyapu Amerika dan Eropa. Kendati begitu, produsen minyak masih mengalami kerugian besar akibat anjloknya harga minyak dari posisi US$ 114 per barel pada Juni 2014 ke level saat ini.
Itu sebabnya, pertanyaan mengenai diversifikasi ekonomi yang sebelumnya berbasis minyak mulai muncul di Timur Tengah. Ada tekanan agar ekonomi Timur Tengah mengurangi ketergantungan mereka terhadap minyak.
Suhail Bin Mohammed Al Mazrouei, Menteri Energi Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan, negaranya berencana mengubah ketergantungan perekonomian mereka dari minyak.
“Di UEA, kami melakukan diversifikasi sumber daya energi. Kita juga melakukan diversifikasi sumber pendapatan. Kami membangun ekonomi, dan dari tahun ke tahun, kami melihat kontribusi dari ekonomi non minyak terus tumbuh,” jelasnya.
Dia juga menjelaskan, pemerintah UEA akan menggelar pertemuan untuk mendiskusikan mengenai perkembangan ekonomi. Sehingga, dampak dari fluktuasi harga minyak tidak akan mempengaruhi anggaran belanja UEA dan negara bagiannya.
“Kami juga banyak melakukan investasi di luar UEA. Dan saya rasa, secara kolektif, kami dapat mengatasi transisi di mana pendapatan dari industri minyak merupakan sebuah kemewahan atau keuntungan tambahan yang akan diinvestasikan kembali, buka sebagai kontributor utama dalam anggaran kami,” paparnya.
Kesalahan Arab Saudi?
Sejumlah pihak menilai, Arab Saudi, pimpinan OPEC, memiliki peranan besar dalam anjloknya harga minyak dunia. Sebab, Arab Saudi menentang dilakukannya pemangkasan produksi minyak di tengah membludaknya suplai emas hitam. Langkah ini diambil Arab Saudi sebagai strategi untuk menekan bisnis minyak perusahaan non-OPEC yang memiliki biaya produksi lebih mahal.
Meski demikian, kebijakan ini juga memukul bisnis produsen minyak anggota OPEC. Enam negara produsen minyak yang terdiri atas Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Oman, Qatar, dan UEA, berencana memberlakukan pajak penjualan untuk kali pertama di tengah penurunan harga minyak.
Kebijakan ini diambil setelah mereka mengalami defisit pada anggaran belanja akibat melorotnya pendapatan minyak. Tidak hanya itu, negara-negara seperti UEA juga mencabut pemberlakuan subsidi minyak.
Al Mazrouei memiliki pendapat berbeda. Menurutnya, OPEC tidak dapat disalahkan atas melimpahnya cadangan minyak dunia. “OPEC hanya memproduksi sepertiga dari seluruh produksi dunia. Dua pertiganya berasal dari negara-negara lain dunia. Negara-negara lain menambah kapasitas minyak sebanyak 2,7 juta barel. Pada dasarnya, mereka yang membanjiri pasar,” paparnya.
Di luar kondisi itu, Al Mazrouei optimistis pasar minyak akan seimbang dengan sendirinya. “Waktunya pun tidak akan lama lagi,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, saat ini ada dua kelompok yang ada di pasar minyak. Ada yang optimistis dan ada yang pesimistis. “Saya termasuk yang kelompok pertama. Saya menduga, tahun ini merupakan tahun koreksi. Pasar minyak akan terkoreksi pada paruh kedua, karena saya tidak melihat adanya penambahan minyak lagi selain Iran. Menurut mereka, produksi minyak mereka tidak akan menggerus tingkat permintaan. Sehingga saya sangat optimistis,” katanya.
Strategi negara Timteng lainnya
Di tengah rendahnya harga minyak yang memukul negara ekonomi utama Timur Tengah, sejumlah negara melihat era baru harga minyak murah sebagai satu kesempatan.
Gulf Cooperation Council (GCC) minister Anas Khalid Al Saleh yang juga menteri perminyakan Kuwait bilang, reformasi ekonomi dibutuhkan dengan atau tanpa penurunan harga minyak.
“Kita tidak harus mengaitkan reformasi dengan harga minyak. Setiap orang setuju bahwa saat ini tidak ada pilihan dan mengambil langkah-langkah strategis untuk mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi. Ini bukan sesuatu yang bisa kita tunggu lagi, bukan karena harga minyak murah, tapi untuk banyak alasan,” jelas Al Saleh.
Hal serupa juga diungkapkan oleh chief executive Bahrain’s Economic Development Board Khalid Al Rumaihi. Dia berpendapat, tantangan yang dihadapi Timur Tengah saat ini dapat dijadikan kesempatan untuk transformasi.
“Kawasan Timur Tengah menghadapi sejumlah tantangan. Harga minyak sudah melorot 70% dan ada tekanan pada anggaran fiskal di seluruh negara Timur Tengah. Hambatan lainnya meliputi pengangguran usia muda dan tantangan keamanan,” ujar Al Rumaihi.
Menurut Al Rumaihi, Bahrain dan negara-negara tetangga dapat mengatasi melempemnya ekonomi dengan melakukan diversifikasi dan berinvestasi lebih banyak pada sektor infrastruktur. “Kita membutuhkan inovasi pada perekonomian kita, dan kita harus melihat bagaimana kita memperbolehkan inovasi pada perekonomian,” jelas Al Rumaihi.
Secara optimistis Al Rumaihi menambahkan, “Saya rasa ini merupakan kesempatan baik untuk reformasi ekonomi.”
Facebook Comments