Negeri Bijak Indonesia Jaya

Bagikan artikel ini

Ghuzilla Humeid, Network Associate Global Future Institute (GFI)

Guruku pernah bercerita tentang pengelompokan negara-negara di dunia. Ada negara Teknologi. Ada negara Keyakinan. Ada pula yang disebut negara Bijak atau negeri Filsafat katanya.

Inilah sekilas pituturnya pada suatu ketika.

Negara Teknologi adalah negeri Logika. Mayoritas atau sebagian besar warga bangsanya suka membuat “tuhan-tuhan baru” selain Dia Yang Maha Esa. Berbagai ragam cara dibuatnya.

Ada warga yang mempertuhankan uang. Terdapat sebagian rakyatnya mempertuhankan ilmu dan kekuasaan dengan mengandalkan kecanggihan teknologi perang. Ada yang menjadikan akal dan okol sebagai tuhan dan sering digunakan mengadu domba atau membuat porak-poranda negeri lain demi sedikit kepentingan. Ada juga yang mempertuhankan seni dan berbagai ekspresi sehingga dalam keseharian cenderung “menggendong”, bukannya memangku atau mengendalikan nafsu.

Di negeri ini apa pun boleh dikerjakan atas nama demokrasi, hak azasi, dan kebebasan. Kecuali satu yang tak boleh dilanggar: Negara adalah negara. Agama tetaplah agama. Jangan disatukan. Biarkan berjalan di masing-masing rel.

Sisi lain negeri teknologi bahwa persoalan susila adalah privasi. Letaknya di hak asasi atau sering dikemas jargon kebebasan dalam berekspresi. Pornoaksi serta pornografi dianggapnya seni sehingga free sex adalah budaya yang merasuk sampai ke sumsum bayi. Hukum berjalan seolah ketat tetapi longgar dalam tataran hakiki. Berpihak pada penguasa serta orang berduit saja. Kebebasan, hak asasi, dan demokrasi merupakan senjata paling sakti, modern, lagi canggih di negeri ini.

Adalah negeri Keyakinan yang dalam banyak hal sangat bertolak belakang dengan negeri teknologi. Negeri ini adalah negeri rasa serta semata-mata rasa, rasa dan seribu kali rasa. Warga bangsanya suka mengkaji peristiwa tanpa dicerna secara jeli melalui kecermatan akal logika.

Kebanyakan mereka berjalan pada “tataran kulit” dan teramat suka menggunakan simbol-simbol agama. Lembaga agama sering digunakan sebagai alat pembenar diri dan kelompoknya. Kendati rujukannya cuma manifestasi nafsu belaka. Hukum berjalan ketat lagi keras bahkan terkesan berlebihan.

Keadilan berada di genggam tangan penguasa. Sering kali kebenaran nisbi berubah menjadi dogma yang ditelan tanpa keseimbangan logika dengan alasan itu berasal dari tuhannya. Tak boleh diganggu gugat. Tetapi, bukankah agama itu logika?

Negeri ini kebanyakan makmur lagi kaya raya karena faktor alam dan lingkungan. Berbagai kemudahan dalam dinamika global dipetik karena latar masa lalunya. Sesuatu yang luar biasa dianggap selalu dari Tuhannya sehingga mereka malas bahkan lupa kewajiban manusia menggunakan logika.

Negeri aneka bangsa tetapi cenderung satu budaya. Terkadang tanpa etika dan tata krama justru menjebak pada keserakahan dunia. Penyakit iri, dengki, dan sakit hati mudah menjalar di masyarakatnya. Maka perang antar sesama ialah biasa. Bahkan dianggap budaya.

Ia bukanlah negara Teknologi bukan pula negara Keyakinan. Ia tidak di tengah tidak juga di kiri, atau di kanan, di pinggiran dan sebagainya. Negeri bijak terbit (bukan lahir) dan berdiri atas nama persatuan, perdamaian, dan kemakmuran. Di sana cukup maju teknologi tetapi tak semata logika. Ada gemuruh soal ikhwal keyakinan. Namun, bukan sekedar dogma. Oleh karena terdapat ukuran dan kriterianya.

Negeri punya kehormatan dan toleransi terhadap keragaman budaya. Ia cinta damai. Tetapi, lebih cinta kemerdekaan. Di sana ada kebebasan tetapi kebebasan bertanggung jawab. Bukan kebebasan tanpa rujukan.

Bijak sesungguhnya ada lagi nyata, sesudah, bahkan sebelum kedua negeri Logika dan Keyakinan berada.
Tersamar kasat mata. Fenomena kemunculannya, tatkala “tuhan” teknologi dan keyakinan tak lagi mampu memangku dunia, sebab bertikai tak habis-habis demi isme, tasawuf, dan ideologi ciptaan logika yang dikiranya membawa kebaikan menurut versi cara pandangnya. Padahal justru membelenggu “hakiki rasa” kemudian menjerumuskan rakyatnya.

Negeri Bijak disebut pula Negeri Filsafat.
Tempat sang Mukarabb bercengkrama dengan cantrik-cantrik yang tersamar dalam berbagai status, kelompok, golongan, atau pun massa.
Negeri subur nan kaya raya seharusnya. Tetapi, miskin kenyataannya.

Negeri beraneka, unik, lagi sarat makna. Bahkan ada yang mengolok-oloknya sebagai negeri seribu satu bencana.

Negeri Filsafat itu sesungguhnya Negeri Para Dewa.
Mayoritas warga dan suku bangsanya digerakkan RASA terkadang berlebihan meninggalkan LOGIKA.
Banyak juga yang sok logika lalu meninggalkan rasa.

Tatkala Budaya bersumber dari rasa direkayasa menjadi stigma di suatu era rakyatnya pun berbondong menjauhi.

Alangkah piciknya! Rasa yang merupakan hadiah dari-Nya ditinggalkan cuma oleh karena provokasi belaka.

Negeri banyak musim. Tetapi, ada musim yang tidak kunjung usai yakni lelayu (kematian):

Ada warga yang mati karena lapar, tetapi
Ada warga tewas sebab kekenyangan
Ada rakyat mati terkena wabah musiman
Tidak sedikit yang bunuh diri karena putus cinta
Banyak kematian karena ‘molimo’ dan kecelakaan
Dijalanan, di lautan bahkan di belantara angkasa
Ada yang meninggal karena kehilangan kekuasaan
Beberapa mati selingkuh dan stres bingung sendiri
Banyak kematian massal sebab ulahnya
Tidak sedikit yang terbunuh karena azab-Nya

Rakyatnya sangat yakin lagi percaya bahwa suatu ketika tiba masa jaya bangsa dipimpin oleh Ratu Dewata Sakti Sejagad. Sosok pilihan gaib yang dilegendakan banyak orang dengan sandi tua, yaitu Satrio Paningit.

Negeri yang tengah porak poranda dilanda bermacam bencana baik dari atas, bawah, depan, belakang, kiri, dan kanan serta esok entah dari mana. Beredar rumor tanpa kriteria logika mengkambinghitamkan Tuhan tanpa melihat program dan proses mengapa terjadi. Ini cobaan Tuhan! Itu cobaan Allah! Dia sudah murka! Dan sebagainya itulah ujung kalimat mengkambinghitamkan-Nya.

Muncul berbagai klenik serta perdukunan menawarkan ramalan bencana atau masa depan atas kebingungan masyarakatnya. Banyak kejanggalan dianggap biasa pada dinamika masyarakatnya.

Aib dan aurat yang wajib ditutup rapat justru dipertontonkan. Layaknya barang dagangan demi popularitas serta gemilang dunia. Munculnya kyai dan ustad-ustad baru bermodal satu-dua ayat dalam arti syariat ceramah ke mana-mana.Menjual potongan-potongan ayat dengan harga murah untuk sedikit harta, tahta, dan wanita.

Konon katanya. Setelah semua bencana dengan segala dampak berlalu dengan sendirinya atau karena usaha. Setelah tiap-tiap diri warga bangsa sadar dan insyaf atas kekhilafan masa lalunya; setelah karakter rukun, ramah, taqwa, tak sombong, semangat kekeluargaan, dan gotong royong menjadi etos bangsa terutama kaum birokratnya. Maka Negeri Filsafat bergerak perlahan menggapai mercusuar dunia.

Itulah impian kejayaan masa depan. Itulah mitos nyata Nusantara III. Negeri kesatuan, kedamaian, dan kemakmuran. Inilah negeri tercinta Indonesia Raya di mana sang nyiur dan merah putih tak pernah lelah melambai-lambai.

Entah iya entah tidak. Entah benar entah salah. Entah nyata atau cuma legenda. Perhatikan dan cermati tanda-tanda alam bagi orang yang berpikir. Selanjutnya ketika malam merangkak menjemput fajar nan merah di suatu masa sesungguhnya itu makna kalimat “Dengan menyebut Nama Tuhan yang Maha Pengasih dan lagi Maha Penyayang”.

Kapan engkau tiba, wahai Nusantara III?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com