Disampaikan dalam Forum Kajian Kebijakan Luar Negeri Pusat P2K-OI, BPPK, Kementerian Luar Negeri, yang bertema: “Diplomasi Energi Untuk Mendukung Ketahanan Energi Nasional, Surabaya, 1 Desember 2015.
Politik Minyak Sejagad, Mantra Politik Korporasi-Korporasi Minyak Global
Untuk memulai mengulas topik ini, seluruh “Pemangku Kepentingan” Kebijakan Luar Negeri RI kiranya harus merenungkan secara mendalam apa yang pernah dilontarkan oleh Georges Clemencau, seorang negarawan Perancis di era Perang Dunia I. Beliau menyatakan, “Setetes minyak berharga sama seperti setetes darah dari prajurit kita. Minyak sama-sama diperlukan seperti darah.”
Pada masa itu, ketika ungkapan itu dilontarkan oleh Clemencau dalam periode 1914-1917, masih belum menginjak masa keemasan minyak seperti di dekade 1970-an. Namun Clemencau sudah mengisyaratkan betapa minyak pada perkembangannya nanti akan memainkan peran penting dalam mewarnai percaturan politik internasional. Dan prediksi Clemencau memang benar adanya.
Bahkan minyak dan gas bumi saat ini sudah menjadi obyek kolonialisme gaya baru negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat yang tergabung dalam G-7. Hal ini semakin diperkuat oleh pakar Geo-Energi Dr Dirgo D Purbo, betapa dewasa ini di balik pertempuran-pertempuran besar, di belakang sengketa antar negara, di balik rebutan kekuasaan dan kudeta, di balik dukungan diam-diam kepada tentara pemberontak, serta di latar penyerbuan terang-terangan negara adidaya, ternyata MINYAK salah satu faktor penting dan penentu yang dapat mengubah wajah dunia.
Berarti, saat ini minyak bukan sekadar masuk dalam ranah pembahasan di sektor ekonomi dan bisnis, bahkan lingkupnya sudah meluas memasuki ranah politik dan pertahanan-keamanan. Sehingga setiap konflik yang terjadi di tingkatan lokal, nasional maupun global, harus dibaca sebagai refleksi dari pertarungan berbagai kepentingan korporasi-korporasi global yang berusaha merembeskan kepentingannya ke sektor-sektor strategis pemerintahan.
Beberapa waktu lalu saya dan kawan-kawan dari Global Future Institute sempat mengupas sebuah buku menarik bertajuk The Geopolitics of Superpower, karya Colin S. Gray. Dalam buku itu diurai mengenai “kapling-kapling dunia” berbasis geostrategi dalam politik global.
Bermula abad ke 19 muncul Sir Halford Mackinder dari Inggris yang mengklasifikasikan dunia menjadi empat kawasan. Kawasan pertama Heartland atau World Island: mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah (World Island); kawasan kedua disebut Marginal Lands: mencakup kawasan Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian besar daratan Cina; kawasan ketiga dinamai Desert adalah wilayah Afrika Utara, dan kawasan terakhir adalah Island or Outer Continents: meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.
Di awal tesisnya, Mackinder sudah mengatakan bahwa siapa negara menguasai Heartland (Timur Tengah dan Asia Tengah) yang memiliki kandungan sumberdaya alam dan aneka ragam mineral, maka bakal menuju arah “Global Imperium”. Masih di buku yang sama, teori Nicholas Spyman, ilmuwan geopolitik AS berbeda asumsi dengan Mackinder tetapi ada kesamaan soal penguasaan wilayah Heartland. Ia mengatakan: “Who rules the World Island commands the World”. Memang teori Spyman berbeda pada proses namun ujungnya tetap merujuk ke Timur Tengah dan Asia Tengah. Benang merahnya sama atau sebangun.(1).
Hal ini menyadarkan kita semua betapa pentingnya hubungan timbal-balik antara aspek geografis dengan sumberdaya alam pada suatu negara, apalagi bagi kita di Indonesia. Betapa yang namanya kekayaan alam baik kualitas maupun kuantitas perlu sekali diinventarisasikan dan dipetakan secara tepat dan cermat. Karena di dalam perencanaan dan penggunaan sumberdaya alam dan lokasinya mempunyai saling hubungan yang erat satu sama lain.
Di sinilah pentingya kita, seluruh komponen strategis bangsa, untuk mengetahui dan mengenali potensi kekayaaan alam yang ada di negeri kita sendiri dalam rangka pemanfaatannya kini di masa depan.
Selain itu, adanya kesadaran geopolitik dari semua komponen bangsa, juga akan memahami apa yang sedang terjadi dalam konstalasi global terkait soal minyak. Betapa dewasa ini ketergantungan dunia akan minyak karena permintaan tidak pernah turun. Ini menjadikan Heartland sebagai kawasan yang diperebutkan oleh kelompok negara konsumen seperti Amerika, Inggris, Rusia, Jerman, Italia, Prancis, Cina, Jepang dan negara industri (baru) lain atas akses jaminan suplai minyak. Sehingga pada perkembangannya selain menjadi ajang kerjasama antar negara-negara konsumen minyak, pada saat yang sesama merekapun berpotensi terjadinya konflik berebut sumberdaya alam minyak dan gas di negara-negara berkembang. Termasuk di Indonesia.
Cerita seputar betapa vitalnya minyak bagi negara-negara maju seperti Amerika Serikat terlihat ketika Henry Kissinger, ketika itu Menteri Luar Negeri AS, menerapkan Kebijakan Recycle Petrodollar. Gagasan dasarnya adalah, menjual peralatan militer dari pihak barat kepada negara-negara di Timur Tengah, sebagai pembayaran impor minyak (oil bills) mereka sekalgus juga untuk mendukung industri pertahanan negara-negara Timur Tengah yang kemudian dirajut melalui kerjasama pertahanan bersama antara negara-negara barat dan negara-negara Arab.
Dengan demikian, “cengkraman” kepada Timur Tengah oleh AS hingga kini, atau dominasi Uni Eropa (NATO) terhadap Afrika, baik melalui recycle petrodollar ataupun arm sales and security assistance dengan berbagai cara dan bentuk kemasan, semata-mata karena panggilan kepentingan nasional (minyak) yang teramat vital bagi kelangsungan kehidupan di Barat.(2).
Tampaknya kini, hampir semua dokumen strategis dan asumsi aktual, seperti Project for The New American Century & Its Implications 2002, “Peta Jalan”(roadmap) perang Pentagon sesuai paparan Jenderal Wesley Clark (2005), atau doktrin Alfred Mahan pakar kelautan, atau teori Tony Cartalucci, Mahdi Darius maupun Prof Michel Chussodovsky dari Central for Researc on Globalization, Montreal, Kanada — basis referensinya selalu merujuk pada tesis Mackinder, dimana muaranya penguasaan terhadap minyak, minyak dan minyak sebagai tujuan. Itulah yang kami sebut politik minyak sejagat.
Membaca Kemunculan Korporasi Minyak Sebagai VOC Gaya Baru
Kalau mau menelisik betapa saat ini korporasi-korporasi minyak global begitu menegara dan mampu merembeskan kepentingan-kepentingannya ke sistem kenegaraan sehingga berhasil membelokkan kebijakan-kebijakan negara dari pro kepentingan nasional ke kebijakan pro asing, maka embrionya adalah International Oil Company, yang diwariskan John D Rockefeller, sehingga jaringan mereka merupakan pemain-pemain utama di industri minyak internasional. Melalui IOC inilah persekutuan tradisional Amerika Serikat-Inggris terjalin secara solid hingga kini.
Bicara soal industri minyak Amerika, berarti bicara tentang Dinasti John D Rockefeller, yang membangun beberapa perusahaan minyak yang bergerak di sektor hulu dan hilir seperti Standard Oil, yang kemudian mengembang ke beberapa anak perusahaan seperti Standard Oil of New Jersey(Exxon), Standard Oil of New York(Mobil), Standard Oil of California(Chevron), dan Standard Oil of Indiana(Amoco). Inilah yang kelak kita kenal dengan sebutan The Seven Sisters. Korporasi milik Rockefeller inilah yang kemudian menguasai 90 persen industri minyak AS. Sehingga secara tidak langsung menjadi penguasa industri minyak internasional.
Di Eropa, dinasti Rotschild merupakan kekuatan yang mengimbangi kedigdayaan Rockefeller di AS. Adapun prestasi Rotschild tak bisa lepas dari peran Marcus Samuel. Adalah Samuel ini pula yang kemudian mendirikan Shell pada 1877. Pada 1907 Shell merger dengan Royal Dutch dan membentuk Royal Dutch Shell Group, namun kedua perusahaan itu tetap memiliki dua struktur yang independen. Barulah pada 2005 Royal Dutch Shell jadi satu entitas perusahaan.
Korporasi minyak AS dan Inggris inilah yang memotori penguasaan minyak di negara-negara Timur Tengah melalui jalur International Oil Company (IOC). Langkah ini kemudian diikuti oleh Perancis dengan memanfaatkan National Oil Company(NOC), Compagnie Francais de Pettroles (CFP).
Ada ungkapan Guildford (1973) yang menarik, bahwa bila berbicara masalah dunia perminyakan maka nuansa politiknya sebesar 90% sedang sisa 10% berbicara tentang minyak itu sendiri.
Itulah yang saya katakan tadi betapa sekarang minyak bukan sekadar soal ekonomi dan perdagangan, melainkan sudah menyentuh aspek politik-keamanan. Maka itu, terkait NOC, kiranya perlu kita sadari bersama bahwa NOC saat ini merupakan mesin ekonomi suatu negara, namun pada saat yang sama tak jarang dimanfaatkan oleh penyelenggara negara dan para politisi demi kepentingan non-ekonomis.
Kepentingan-kepentijngan non-ekonomi seringkali lebih besar daripada kepentingan untuk memberdayakan industri minyak itu sendiri. Ketika tren global saat ini semakin menguat menuju perembesan kepentingan-kepentingan korporasi asing terhadap sektor-sektor strategis kenegaraan baik di eksekutif maupun legislatif, pada saat yang sama para pelaku bisnis minyak di dalam negeri juga terlibat dalam perebutan kepentingan untuk menguasai monopoli keunggulan teknis, finansial, dan bahkan komersial di sektor minyak dan gas.
Bahkan dalam konteks menghadapi NOC-NOC negara-negara adikuasa tersebut di atas, korporasi-korporasi migas asing tersebut berhasil menegara, dan berhasil mengubah UU No 8/1971 tentang Migas yang amat protektif menjadi UU No 22/2001 yang sangar berhaluan neoliberal, ketika Pertamina sebagai NOC yang menguasai tata kelola Migas dari hulu ke hilir, dipecah menjadi BP Migas yang menangani sektor hulu dan BPH Migas menangani sektor hilir. Sehingga perkawinan antara kepentingan korporasi dan kleptokrasi berupa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan semakin menguat dan mengakar.
Namun demikian, Indonesia saat ini dihadapkan pada tiga tantangan yang cukup krusial. Pertama, terjadinya krisis energi dan migas dan persaingan antar kekuatan negara-negara konsumen minyak di dunia. Kedua, kita dituntut untuk mencari sumber-sumber energi dan minyak alternatif baik dalam maupun luar negeri. Sehingga tak terhindarkan bagi Indonesia untuk mendayagunakan Pertamina sebagai NOC untuk bekerjasama maupun bersaing dengan sesama NOC maupun IOC dari negara lain.
Ketiga, semakin terpusatnya kekuasaan perekonomian global dan nasional di tangan korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan, sehingga pada perkembangannya kewenangan pemerintah untuk menentukan prioritas nasional di bidang perekonomian, semakin diperlemah dan bahkan dilucuti.(3).
Sedemikian rupa kuatnya dorongan dan keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar lagi bagi kepentingan para investornya, maka korporasi global dan lembaga-lembaga keuangan telah mengubah kekuasaan ekonominya menjadi kekuasaan politik. Inilah yang tadi saya sebut, semakin menegaranya korporasi-korporasi asing di Indonesia.
Apalagi sejak era penjajahan Belanda dulu, sektor minyak Indonesia sudah berada dalam cengkraman IOC. Pemerintah kolonial Belanda melalui apa yang dinamakan Indische Mjnwet berhasil menarik IOC untuk melakukan eksplorasi dan produksi minyak di Indonesia. Keberhasilan ini terlihat dari jumlah IOC yang beroperasi di Hindia Belanda mencapai 18 perusahaan pada awal abad ke-20.(4).
Banyak IOC yang beroperasi di Hindia Belanda terlibat sejak awal industri minyak Indonesia dimulai oleh Reerink pada 1871 di Cibodas-12 tahun sejak pengeboran minyak bumi pertama di Pennsylvania. IOC yang bernama Royal Dutch (kelak bernama Royal Dutch Shell) pada mulanya pun terbentuk melalui temuan minyak di Langkat (Sumatera Utara) oleh Aelko Zijkler. Hasil keuntungan dari ladang minyak di Langkat mendorong pemerintah Belanda membentuk NOC yang bernama Royal Dutch.
Masalahnya adalah, berdasarkan jumlah IOC yang beroperasi di Indonesia (Hindia Belanda) dan substansi peraturan yang ada, pengembangan industri minyak bumi lebih mengutamakan kepentingan IOC. Pemerintah kolonial Belanda sekalipun yang waktu itu menjajah kita, hanya kebagian 30 persen keuntungan. Inilah yang kemudian terwariskan kepada Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Begitupun, menyusul keluarnya UU No 44/1960 pada era pemerintahan tentang minyak dan hasil tambang pada pemerintahan Presiden Sukarno, peran negara diperkuat dan kewenangan kementerian pertambangan menunjuka pihak swasta sebagai mitra BUMN. Semua kontrak karya harus disahkan oleh hukum dan otoritas tambang. Alhasil, terjadilah nasionalisasi tiga perusahaan besar asing milik Amerika Serikat oleh pemerintah RI yaitu: Caltex, Shell dan Stanvac(5).
Pada saat yang bersamaan pemerintah membentuk tiga NOC yaitu Permina, Pertamina dan Permigan, sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam sektor industri minyak dan gas di Indonesia. Namun pada 1968 dengan alasan efisiensi, Permina Permina digabung dengan perusahaan minyak Pertamin menjadi Pertamina, seperti yang kita kenal sampai sekarang. Pertamina sebagai entitas miga semakin kokoh peran dan tugasnya dengan keluarnya UU No 8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara atau yang dikenal dengan UU Pertamina, sebagai pengganti UU No 44/1960. UU Pertamina menegaskan peran Pertamina sebagai BUMN yang mengelola usaha migas di Indonesia dan wakil pemerintah untuk mengeluarkan perizinan atau Kontrak Karya tanpa melalui DPR, dan hanya Pertamina yang bisa mengeluarkan izin Kontrak Karya. Dengan kata lain, Pertamina menjalankan peran dwifungsi yaitu peran bisnis dan regulator. Sebagaimana terungkap melalui studi Tirta N Mursitama dan Maisa Yudono, melalui model ini terbukti ampuh dan membuat Pertamian menjadi BUMN super.
Namun menurut hemat saya, bahkan lebih dari itu. Terlepas adanya kebocoran dan korupsi yang cukup parah di BUMN ini, namun daulat migas kita selama era Suharto bisa tetap dipertahankan pada skala yang cukup maksimal. Bahkan sebagai negara pengekspor minyak, Indonesia disegani di dunia internasional terutama di forum internasional OPEC. Betapa tidak. Sejak memasuki era 1970-an, produksi minyak kita melimpah, apalagi dengan didukung kondisi internasional dengan melonjaknya harga minyak di pasaran internasional. Sehingga secara tidak langsung, Pertamina menjadi penggerak perusahaan-perusahaan negara lainnya, seperti bank-bank pemerintah yang juga memegang peranan dominan dalam dunia perbankan.
Selain itu, melalui skema UU No 8/1971, peran negara melalui Pertamina dalam tata kelola migas dari hulu ke hilir, amat terasa, terbukti dengan keberhasilan Pertamina berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan negara dalam mengelola serta mengawasi kegiatan kontraktor asing.
Daulat Energi dan Migas khususnya, amat terlihat melalui kerjasama yang setara baik dalam skema Kontrak Karya maupun Kontrak Bagi Hasil seperti:
- Operasi perminyakan di bawah kendali Pertamina.
- Sumber dana investasi, teknis dan resiko operasi ditanggung kontraktor.
- Biaya Operasi, termasuk peralatan dapat diganti.
- Peralatan yang digunakan menjadi milik Pertamina dan kontraktor harus mempekerjakan tenaga Indonesia serta mendidiknya.
- Bagi hasil antara Pertamina dan Kontraktor minyak berkisar 65-70 persen untuk Pertamina, dan 30-35 oersen untuk kontraktor asing, sesuai dengan perhitungan produksi minyak mentah.
Sayangnya, UU No 22/2001, justru melumpuhkan otoritas Pertamina dalam tata kelola migas dari hulu ke hilir sebagaimana UU No 8/1971. Peran Pertamina sebagai pemegang otoritas industri migas dialihkan kepada Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM). Sedangkan peran pemerintah melalui Kementerian EDM hanya sebagai pengawas untuk sektor hulu dan hilir. Adapun perubahan peran Pertamina itu tertuang melalui Peraturan Pemerintah No 31/2003 tentang perubahan status Pertamina menjadi Persero. Maka lumpuhlah benteng kedaulatan energi kita, dengan hilangnya fungsi regulator dan kontraktor secara bersamaan. Bahkan UU No 22/2001 justru memecah konsentrasi kekuatan Pertamina sebagai pemegang otoritas tata kelola migas dari hulu ke hilir, dengan memberikan kepada Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (BP Migas) di sektor hulu, yang kemudian sekarang jadi SKK Migas, dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BPH Migas) untuk sektor hilir.
Hanya saja, dengan kehadiran Menteri ESDM sebagai ex officio di SKK Migas atau yang dulunya BP Migas, pada perkembangannya kemudian, justru malah mengondisikan perkawinan antara Kepentingan Korporasi Asing maupun lokal dan kleptokrasi di kalangan para pejabat tinggi pada kementerian ESDM maupun pucuk pimpinan baik di sektor hulu dan hilir tata kelola migas.
Jika para diplomat dan juru runding garis depan pemerintahan Indonesia harus melakukan perundingan-perundingan internasional baik di forum bilateral maupun multilateral, hendaknya perlu kita sadari terlebih dahulu bahwa skema korporasi-korporasi global telah berhasil melumpuhkan daulat energi kita sejak era reformasi, dan berhasil mendikte seluruh arah kebijakan strategis perekonomian nasional yang bertumpu pada deregulasi pasar, perdagangan bebas, kebijakan privatisasi BUMN dalam rangka mengkonsolidasi kekuasaan korporasi mereka, dan sejalan dengan itu, menghancurkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang pro rakyat.(6)
Atas dasar itulah, maka korporasi-korporasi asing yang menggeser medan perangnya dari ranah pertahanan-militer ke lingkup IPOLEKSOSBUD (Panca Gatra), dengan tujuan melemahkan sistem kenegaraan kita. Yang ditandai dengan: Pembelokan arah kebijakan kenegaraan dari pro kepentingan nasional NKRI ke kepentingan swasta asing dan mata-rantainya di Indonesia melalui produk hukum dan perundang-undangan. Kedua, semakin menguatnya sistem yang koruptif di semua tingkatan.
Pada tataran ini, untuk menghadapi manuver dan tekanan korporasi-korporasi minyak global melalui format perundingan government to government, maka kiranya suatu keharusan untuk mengintegrasikan kebijakan strategis ekonomi sektor energi dan migas dengan kebijakan luar negeri RI dalam satu gerak kesatuan langkah dan usaha. Sayangnya, dalam sejak pemerintahan reformasi pada 1999 hingga kini, belum ada sebuah kebijakan yang terintegrasi antara kementerian perekonomian dan kementerian luar negeri. Sehingga sektor energi dan sektor politik-keamanan tidak bersenyawa satu sama lain.
Apalagi ketika saat ini kementerian ESDM berada di bawah Kementerian Koordinator Maritim sementara Skema Poros Maritim yang diproyeksikan sebagai Program Unggulan, terkesan sekadar merupakan sebuah program pembangunan infrastruktur maritime yang bermuara sekadar sebagai Poros Transportasi yang menghubungkan satu pelabuhan dengan pelabuhan yang lain.
Untuk itu, sampailah saya pada inti dari presentasi terkait topik ini. Menawarkan sebuah gagasan yang terintegrasi antara kebijakan perekonomian nasional dan Kebijakan Luar Negeri, dengan dijembatani oleh Geopolitik sebagai Ilmunya Ketahanan Nasional.
Gagasan Tentang Pemberdayaan Politik Luar Negeri RI
Akar Masalah
- Indonesia belum memiliki blue print atau cetak biru Kebijakan Luar Negeri yang secara imajinatif menjabarkan makna Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif sesuai dengan perkembangan konstalasi Global Saat ini, dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
- Ilmu dan wawasan geopolitik di republik tercinta ini terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga kita tidak lagi mampu mengenali seluk-beluk bangsa dan tanah airnya sendiri, baik dari segi kondisi fisik maupun mental dari wilayahnya sendiri berikut masyarakat yang bermukim di dalamnya. Alhasil kita tidak mampu mengenali keunggulan dan nilai strategis wilayah kedaulatan kita dari segi geopolitik(nilai yang terkandung di dalam wilayah kita baik dari segi kekayaan alam maupun sumberdaya manusianya), maupun dari segi geostrategic (nilai strategis wilayah kita dari segi letaknya) di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya.
- Akibat terjadinya pendangkalan dan diabaikannya ilmu dan wawasan geopolitik sebagai dasar penyusunan kebijakan luar negeri, para stakeholders (pemangku kepentingan) kebijakan luar negeri baik kementerian luar negeri maupun kementerian-kementerian lainnya, tidak mampu membaca konstalasi dan tren global saat ini dan dampaknya bagi kawasan Asia Pasfik, dan Asia Tenggara pada khususnya. Sehingga tidak mengenali pola ancaman maupun peluang yang bisa dimainkan oleh Indonesia seiring perkembangan konstalasi global saat ini
- Sebagai konksewensinya, Kementerian Luar Negeri sebagai integrator sekaligus unsur garis depan seluruh aspirasi para stakeholders(pemangku kepentingan) kebijakan strategis bidang luar negeri, tidak berhasil menjabarkan Diplomasi sebagai sarana perang non militer bangsa dan negaranya, dalam menghadapi komunitas dunia internasional. Baik di forum bilateral maupun multilateral. Karena tidak mengenali siapa musuh maupun sekutu sesungguhnya Indonesia berdasarkan kepentingan nasional RI yang aktual dan mendesak saat ini.
- Alhasil, Indonesia tidak mempunyai rujukan dan pedoman dalam menjalin kerjasama strategis dengan negara-negara sahabat, baik secara bilateral maupun multilateral atas dasar upaya mensinergikan potensi-potensi nasional dari negara-negara mitra dengan kepentingan nasional negara kita yang bertumpu pada pembangunan, perkembangan ekonomi nasional maupun kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dasar Hukum Konsepsi Politik Luar Negeri Bebas Aktif RI
Dasar hukum politik luar negeri RI jelas bertumpu pada Undang-Undang Dasar 1945, karena UUD merupakan pilar utama suatu negara. Alinea I dan IV dalam Pembukaan UUD telah jelas.
Misalnya alinea I:
“… Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan …”.
Kemudian alinea IV:
“… dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”..
Maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI memiliki landasan hukum sangat kuat karena diatur dalam UUD negara.
Sedang pengertian bebas aktif itu sendiri, bisa dilihat dari pernyataan beberapa tokoh dan pakar. Berikut ini kutipan beberapa pendapat sebagai gambaran mengenai bebas dan aktif guna melanjutkan makalah ini.
(1) B.A Urbani: Perkataan bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut: supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi menurut pengertian ini, dapat didefinisikan: “berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”;
(2) Mochtar Kusumaatmaja: Bebas. Dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif. Artinya di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif;
(3) A.W. Wijaya: Bebas. Berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.
Konferensi Asia-Afrika dan KTT Gerakan Non Blok: Model Peran Aktif Indonesia Ciptakan Perdamaian Dunia
Gagasan politik bebas aktif dicetuskan oleh Bung Hatta pada 1948 di tengah polarisasi dua kekuataan global yang ketat bersaing yakni Blok Barat dan Blok Timur. Dalam Perang Dingin (1947-1991), Barat dikuasai Amerika Serikat (AS) sedang Timur oleh Uni Soviet.
Gagasan Bung Hatta tentang bebas aktif bukanlah dimaksud agar Indonesia mau cari amanya saja atau cari selamat, bukan asal tidak di kiri atau tak ke kanan, atau netral tidak memihak siapapun, tetapi semata-mata lebih ditujukan pada menjabarkan kepemilikan jati diri atas prinsip, watak dan warna politik Indonesia itu tersendiri. Dengan kata lain, Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif barus diabdikan untuk melayani apa yang menjadi hajat sesunguhnya masyarakat Indonesia. Dalam konteks zaman kala itu, yaitu kemerdekaan Indonesia lepas dari belenggu Belanda.
Pada perkembangan dan penerapannya yang lebih progresif, bisa dilihat pada periode 1950-an. Dengan bertumpu pada pandangan bahwa “bebas aktif” memang dapat diterjemahkan sebagai “bebas” yang berarti tak terikat oleh kedua blok dalam Perang Dingin, maka oleh Presiden Sukarno kemudian dijadikan dasar bagi Indonesia untuk menggalang persatuan negara-negara Asia Afrika pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955. Yang didukung oleh negara-negara Asia Afrika secara gegap gempita, baik oleh negara-negara Asia-Afrika yang sudah merdeka, atau yang masih berjuang memerdekakan bangsanya.
Kenyataannya, Gerakan Konferensi AA berkembang menjadi sebuah kekuatan ketiga di tengah polarisasi antara Amerika dan kubu negara-negara eropa barat, versus Uni Soviet dan Cina.
Kisah sukses kebangkitan negara-negara Asia-Afrika tersebut, kemudian berkembang lebih meluas dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Beograd, pada 1961. Kalau pada Konferensi Asia Afrika lingkupnya adalah sebatas negara-negara di Kawasan Asia dan Afrika, pada forum KTT Non Blok, lingkupnya meluas menjadi perhimpunan Negara-Negara Berkembang atau Dunia Ketiga yang lintas kawasan.
Konferensi AA maupun Non Blok, merupakan bukti nyata keberhasilan implementasi Indonesia dalam menjabarkan makna “aktif” dalam politik luar negeri bebas aktif kita. Yaitu turut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.
Inilah titik awal dan pokok-pokok pikiran Bung Hatta mengumanndangkan politik luar negeri Indonesia. Di zamannya, langkah Bung Hatta itu terbilang menggelegar di tengah Perang Dingin antara dua kutub ideologi yakni kapitalis vs komunis.
Tersirat maksud, bahwa pilihan (sikap) politik luar negeri tersebut telah selaras dengan cita-cita dan tujuan negara (kepentingan nasional) dalam pembukaan UUD. Tak boleh dipungkiri, melalui watak politik bebas aktif sejatinya Indonesia menyimpan misi dalam rangka menghapus segala bentuk imperialisme baik berupa penjajahan fisik negara atas negara lain, atau ujud penjajahan lain dalam kemasan baru di muka bumi.
Lengsernya Bung Karno, Politik Bebas Aktif Alami Pergeseran Makna
Namun perjalanan politik bebas aktif pasca Bung Karno lengser, pemaknaannya bergeser menjadi tafsir dari rezim berkuasa. Inilah salah satu kelemahan politik luar negeri kita hingga kini. Padahal bebas aktif sebagai “sikap politik negara”, ia adalah skema utama dari negara guna menjalankan aktivitasnya dalam pergaulan dunia.
Akan tetapi pada tataran implementasi tidak memiliki tuntunan secara konstitusional, sehingga seringkali ditafsirkan sesuai hasrat kelompok kepentingan dan rezim saat itu. Pada gilirannya ia bebas dimaknai dalam koridor terminologi. Ya. Sebuah sikap negara tanpa dibarengi tuntunan secara konstitusional akan berpotensi timbul distorsi (bergeser makna), bahkan seringkali justru dianggap sebagai “strategi rezim”, atau “kebijakan elit penguasa” dan lainnya. Dan itu berulang terjadi dalam sistem pemerintahan pasca Bung Karno.
Pada Era Orde Baru misalnya, kendati secara tersurat tidak muncul secara tertulis tetapi implikasinya terlihat bahwa “aktif” dimaknai oleh rezim dengan gencar mendatangkan para investor asing dari berbagai negara, sedang di sisi lain sang rezim “bebas” pula melakukan revisi-revisi sistem dan UU yang justru lebih berpihak kepada asing daripada rakyat (pasal 33 UUD) dan kepentingan nasional RI.
Demikian juga era-era berikutnya. Memasuki Era Reformasi tampak semakin parah. Adanya fakta dan data kepemilikan saham oleh dan penjualan kepada asing atas aset-aset negara dan swasta nasional, serta penguasaan berbagai SDA di Indonesia justru dilegitimasi oleh sistem dan UU yang ada.
Sepertinya “bebas aktif” kini boleh diselewengkan cuma sekedar “aktif” mengirim TKI keluar negeri dan membiarkan para majikan negara lain “bebas” menyiksa warga Indonesia di luar negeri. Bahkan sarkasme yang lebih ekstrim lagi ialah bahwa sang rezim “bebas” korupsi serta “aktif” menggelar karpet merah untuk para predator bagi bangsa dan negaranya.
Makna Politik Bebas Aktif Menurut Global Future Institute
Telah jelas dimuka, bahwa politik bebas aktif merupakan skema utama dan sikap politik negara. Ia bukan strategi rezim atau kebijakan suatu elit penguasa. Dengan demikian politik bebas aktif tak boleh dimaknai sekehendak hati, semaunya sendiri. Mutlak harus ada rujukan dan tuntunannya.
Memaknai terminologi bebas aktif tidak boleh dipenggal suku katanya, harus diucapkan dalam “satu tarikan nafas”. Artinya terdapat kebebasan dalam aktifitas, namun juga ada keaktifan dalam kebebasan tersebut. Kebebasan bagaimana dan keaktifan seperti apa.
Hal ini dikandung maksud bahwa siapapun orang, kelompok maupun negara manapun tak bisa mempengaruhi tindakan Indonesia dalam berkiprah pada forum internasional. Prinsip, watak bahkan warna tindakan keluar mutlak harus merujuk kepada kepentingan nasional RI yang tersebar di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terkait juga dalam interaksi global.
Oleh karena itu di setiap kementerian harus merumuskan kembali apa dan bagaimana ujud kepentingan nasional RI bagi sektor yang dibawahinya. Selanjutnya setelah sektor-sektor tersebut berlabel “kepentingan nasional” maka bukan lagi domain kementerian yang bersangkutan saja, namun juga sebagai bahan dan materi yang akan diperjuangkan dalam politik luar negeri di ranah global.
Praktek politik bebas aktif bukanlah domain Kementrian Luar Negeri namun mutlak harus terintegrasi secara holistik dengan bidang pertahanan, intelijen (keamanan), ekonomi dan perdagangan, ESDM, dan lainnya dan merupakan refleksi atas KEPENTINGAN NASIONAL.
Politik bebas aktif bukanlah aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi didukung oleh berbagai instansi yang telah menitipkan “kepentingan nasional” pada sektor unggulannya bermuara kepada TUJUAN NASIONAL.
Kepentingan Nasional RI dan Desain Bijak Luar Negeri
Berbicara kepentingan nasional setiap negara niscaya berbeda-beda sesuai kondisi geografi, budaya, demografi, sejarah, sosial ekonomi serta politik dan lainnya. Kepentingan nasional sebuah negara memang akan tergantung wilayah serta karakter masing-masing. Indonesia membagi dalam tiga aras kepentingan nasional yaitu utama, penting dan pendukung (Robert Mangindaan, UUK: Asymmetric Threat Menyerang NKRI, Jurnal CSICI, No 36, 2012).
Kepentingan nasional yang ‘utama’ berkaitan dengan eksistensi NKRI sebagai negara berdaulat. Artinya memiliki wilayah yang jelas, penduduk permanen, tegaknya pemerintah yang legitimasi dan mampu melaksanakan kegiatan diplomasi.
Kemudian kepentingan nasional yang ‘penting’ ditujukan kepada upaya membangun dan mensejahterakan bangsa.
Sedangkan kepentingan nasional ‘pendukung’ meski di luar aras kedua kepentingan utama dan penting tersebut, namun terkait erat dengan keduanya mengingat hal itu merupakan aspek pendukung.
Bahwa kebijakan luar negeri negara harus merujuk kepada kepentingan nasionalnya. Tidak bisa tidak. Amerika Serikat (AS) misalnya, karena tingkat kebutuhan dan ketergantungan yang tinggi terhadap minyak maka dalam setiap kebijakan luar negerinya senantiasa berorientasi kepada minyak, minyak dan minyak. Maka siapapun Presiden AS doktrin politiknya ialah the power of oil. Demikian juga Cina, Uni Eropa, Jepang, Rusia dan lainnya.
Begitu pula dengan Indonesia. Daulat pertanian dan ketahanan pangan sudah saatnya dijadikan landasan kepentingan nasional, dan kita jadikan tema sentral seluruh pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI dalam menyusun skema dan strategi nasional pada forum KTT APEC maupun forum G-20.
Sebagaimana telah diurai di atas, bahwa kebijakan luar negeri bukan aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi sesungguhnya merupakan akomodasi berbagai kepentingan dari instansi, lembaga dan kementrian terkait. Sedang instansi serta kementrian terkait menyusun kepentingan nasional berdasar atas aras hierarkhi yakni utama, penting dan pendukung.
Demikian seharusnya desain kepentingan nasional di republik tercinta ini dibidani, terbit dan diperjuangkan dalam kebijakan luar negeri RI dalam skema politik luar negeri bebas aktif.
Geopolitik Sebagai Penyatu dan Perekat antar Kementerian Dalam Penyusunan Desain Politik Luar Negeri
Seperti sudah saya uraian di atas, ilmu dan wawasan geopolitik di republik tercinta ini terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga bangsa ini tak mampu mensyukuri, menikmati dan mengelola karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginal dalam kelimpahan rahmat-Nya.
Tatkala abai terhadap geopolitik, terjebak dalam gegap gempita diskusi dan perdebatan pada tataran permukaan namun melupakan hal-hal yang tersirat, apalagi membahas yang sesungguhnya terjadi di bawah permukaan. Berbagai elemen bangsa kemudian terjebak dalam diskusi wacana yang sadar atau tidak telah dirajut oleh asing dan kaum komprador di dalam negeri. Sehingga yang muncul kemudian adalah ego sektoral antar kementerian maupun antar lembaga kemasyarakatan.
Inilah dampak nyata dari dangkalnya Kesadaran dan Wawasan Geopolitik kita, sehingga kita Mudah Masuk Perangkap Skema Kepentingan Strategis Asing.
Dengan kegelisahan pokok seperti terpapar di atas, maka mengenali dan mengetahui konstalasi geopolitik Negara-negara adidaya, merupakan langkah pertama kita untuk mengenali dan mengetahui kondisi-kondisi fisik dan mental bangsa kita, geopolitik kita sendiri.
Sehubungan dengan urgensi penyusunan kebijakan luar negeri bebas-aktif RI yang bertumpu pada kesadaran dan wawasan geopolitik, sudah selayaknya para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri untuk menggarisbawahi keberhasilan Rusia untuk mengintegrasikan kepentingan ekonomi nasionalnya dalam kerangka geopolitik Rusia untuk menghadirkan dirinya di kawasan Asia Pasifik.
Yaitu dengan merujuk pada Skema Siberian Russian Far East, Indonesia harus menyerap inspirasi dari Rusia ketika menjadi Tuan Rumah KTT APEC 2012. Skema ini sejatinya harus kita serap sebagai Gagasan Strategis yang mampu menyelaraskan Kepentingan Nasional Indoenesia seiring dengan perkembangan trend Global maupun dinamika perkembangan geopolitik di berbagai kawasan dunia.
Sebagaimana halnya Rusia menerapkan kebijakan ekonomi Siberian Russian Far East seraya menjadikan kawasan Timur Jauh Rusia di Siberaia yang semula merupakan “halaman belakang” menjadi “halaman muka.” Karena itu tidak berlebihan jika atas dasar gagasan menyelaraskan geopolitik dan kebijakan luar negeri kita yang bebas dan aktif, Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sudah selayaknya menyerap inspirasi dari Siberian Russaian Far East.
Untuk itu, dalam penjabaran dan pelaksanaan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif maupun pelaksanaan Multi-Track Diplomacy atau Diplomasi Total, saya mendesak pada seluruh stakeholders kebijakan luar negeri, untuk menaruh perhatian khusus dan intensif terhadap upaya-upaya membangun Gerakan Penyadaran Global sekaligus Membangun Kesadaran Geopolitik, dengan memfasilitiasi studi-studi dan kajian-kajian terkait Geopolitik.
Mendesak perlunya secepatnya menyusun sebuah Kelompok Kerja yang terdiri dari tiga sektor: Strategi, Ekonomi dan Geopolitik, dalam rangka menggagas bagaimana menyusun Strategi Diplomasi Total/Multi-Track Diplomacy yang bersifat Ofensif.
================
(1) Untuk bahasan ini, saya berterimakasih kepada rekan sejawat saya M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute, sehingga menyadarkan saya betapa pentingnya geopolitik sebagai dasar untuk menyusun kebijakan strategis bidang perekonomian, khususnya bidang energi dan migas. Buku Colin S Gray, the Geopolitic of Superpower, University Press of Kentucky, 1988, amat mengilhami kami berdua. Silahkan baca juga artikel M Arief Pranoto, Membaca Ulang Kawasan Dari Perspektif Geopolitik, The Global Review Quarterly, edisi Maret 2015.
(2). Bandingkan artikel M Arief Pranoto, Melacak Politik Minyak dan Rumusan Kapling 3-M di Dunia, makalah untuk diskusi terbatas di Global Future Institute, 19 Oktober 2012. Simak juga Oil Politics, A Modern History of Petroleum, Paperback, 22 Desember 2009.
(3). Tirta N Mursitama dan Maisa Yudono, Strategi Tiga Naga, Ekonomi Politik Industri Minyak Cina di Indonesia, Jakarta: Kepik Ungu, 2010.
(4). Idem, hal 65 dan seterusnya.
(5). Stanvac, kiranya perlu sedikit catatan khusus. Stanvac merupakan IOC hasil merger dari Standard Vacuum Petroleum Maatschappij(SVPM) dengan Standard Oil of New Jersey. Merger dilakukan pada 1947.
(6)Untuk mendalami topik mengenai semakin menguatnya perembesan kepentingan Korporasi Asing ke sektor kenegaraan, silahkan simak David C Korten, The Post Corporate World, Life After Capitalism, terbitan Berrett-Koehler Publisher, Inc, 1999.
Penulis : Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute