Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Kajian Strategis Intelijen, Universitas Indonesia
Konflik bersenjata, aksi terorisme dan perang tampaknya sangat melekat dengan situasi dan kondisi di Afghanistan, bahkan dalam perkembangan terakhirnya kondisi di Afghanistan semakin parah dan semakin tidak kondusif untuk menyokong upaya-upaya dunia menciptakan perdamaian di kawasan ini pada khususnya dan kawasan Timur Tengah pada umumnya.
Kondisi parah di Afghanistan diperkirakan akan terus berlanjut, karena kebencian terhadap AS, NATO dan sekutunya sudah bagaikan “puncak gunung es” karena keberadaan organisasi pemberontak/terorisme di Afghanistan secara step by step juga mulai mendapatkan simpati dan dukungan dari masyarakat Afghanistan.
Dukungan terhadap Taliban meningkat cukup signifikan seiring dengan munculnya persepsi yang tumbuh di kalangan masyarakat Afghanistan adalah mereka mempercayai bahwa ketidakstabilan politik dan keamanan di Afghanistan juga disebabkan oleh AS dan NATO.
Menyikapi perkembangan sikon seperti ini, maka Panglima Perang Afghanistan yang juga mantan Perdana Menteri Afghanistan, Gulbudin Hekmatyar dalam wawancaranya dengan harian terbitan Inggris, Telegraph bersumpah akan membunuh sebanyak-banyaknya tentara NATO sebelum penarikan mundur dari Afghanistan pada akhir 2014. Menurut Hekmatyar yang juga pemimpin kelompok bersenjata terbesar kedua di Afghanistan, Hezb-i Islami ini, serangan baru akan memberi peringatan kepada “negara lain yang ingin menginvasi Afghanistan”.
Mengukur Niat Taliban
Niat Taliban yang akan menyerang pasukan ISAF NATO menjelang penarikan total pada 2014 seperti dikemukakan Gulbudin Hekmatyar pada 2 Januari 2013, jelas merupakan ancaman bagi AS dan sekutunya yang perlu diminimalisir, karena niat adalah bagian dari ancaman itu sendiri.
Menurut P.H. Liotta dan Richmond M. Lloyd dalam artikelnya berjudul “From Here to There: The Strategy and Force Planning Framework Naval War College Review”, Spring 2005, Vol. 58 menyatakan, ancaman muncul karena adanya niat, kemampuan melaksanakannya dan keadaan yang mendukung pelaksanaan ancaman tersebut.
Untuk mengetahui niat atau intentions tersebut, menurut Hank Prunckun dan Jan Goldman (2010), bahwa niat diukur dari desire (keinginan) dan expectation (harapan). Dari berbagai fakta terakhir terkait kondisi di Afghanistan yang dikumpulkan penulis menunjukkan bahwa desire Hekmatyar untuk menyerang ISAF sangat besar mengingat Taliban yang memerintah Afghanistan sejak 1996 mengobarkan pemberontakan sejak digulingkan dari kekuasaan di negara tersebut oleh invasi internasional pimpinan Amerika Serikat pada 2001, karena menolak menyerahkan pemimpin Al Qaeda, Osama bin Laden yang dituduh bertanggungjawab atas serangan di wilayah AS yang menewaskan sekitar 3.000 orang pada 11 September 2001. Faktor lainnya adalah Hekmatyar yang masuk dalam daftar teroris dunia versi Amerika Serikat, juga menimbulkan “dendam pribadi”.
Sementara itu, “resources” yang dimiliki Taliban untuk menyerang ISAF antara lain, kepercayaan NATO terhadap Afghanistan terganggu karena banyaknya anggota militer dan polisi Afghanistan yang menyerang pasukan NATO. Sepanjang 2012, sedikitnya 60 tentara NATO tewas akibat serangan “orang dalam” ini. Disamping itu, resources lainnya adalah gerilyawan Taliban memiliki bom pinggir jalan dan serangan bunuh diri untuk melawan pemerintah Afghanistan dan pasukan asing. Menurut pihak militer, bom rakitan yang dikenal sebagai IED (peledak improvisasi) mengakibatkan 70-80% korban di pihak pasukan asing di Afghanistan. Hal ini terbukti, sampai Agustus 2012, jumlah tentara Amerika yang tewas dalam perang di Afghanistan telah melampaui 2.000 orang. Lebih dari separuh korban tewas terjadi dalam 27 bulan terakhir. Statistik sejak tahun 2007 menunjukkan lebih dari 6.500 anggota pasukan keamanan Afghanistan tewas. PBB melaporkan lebih dari 13 ribu warga sipil Afghanistan juga tewas akibat konflik sejak tahun 2007 itu. Peningkatan jumlah korban akibat kekerasan oleh Taliban di Afganistan membuat sejumlah negara berencana mengurangi atau menarik pasukannya, yang tergabung dalam ISAF berjumlah sekitar 130.000 personel. Sedangkan harapan yang ingin dicapai Gulbudin Hekmatyar adalah memulihkan posisinya kembali sebagai Perdana Menteri Afghanistan pasca kepulangan ISAF.
Terkait Perebutan Sumber Daya Alam Afghanistan
Sebenarnya apapun langkah yang dilakukan AS dan sekutunya di daerah-daerah konflik/perang ataupun pemerintah yang diklaim sebagai “pemerintah gagal” oleh mereka adalah dalam rangka membuka pintu akses untuk menguasai sumber daya alam negara tersebut, termasuk sekarang ini yang terjadi di Afghanistan.
Menurut Conn Hallinan, seorang kolumnis sebuah media yang bekerja untuk Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat, kelakuan arogan dari pasukan asing di Afghanistan, yang kurang mau memahami budaya atau adat istiadat orang Afghanistan adalah salah satu alasan utama dari meningkatnya serangan terhadap pasukan asing yang terjadi di Afghanistan.
Menurutnya, serangan-serangan meningkat pada tentara Amerika adalah kombinasi dari jenis runtuhnya pemerintah Karzai dari dalam secara pelan-pelan. Ini adalah pemerintah yang sangat tidak populer, karena telah membangun tentara yang tidak sangat populer sehingga ada kesempatan besar bagi gerilyawan untuk menyusup.
Adanya motif “what lies beneath the surface” dibalik konflik Afghanistan semakin terasa ketika Amerika Serikat masih menduduki Afghanistan, meskipun invasi dimulai dengan dalih menangkap Osama bin Laden yang kini sudah lama meninggal tidak segera diakhiri. Hal ini menunjukkan bahwa invasi ke Afghanistan tidak akan pernah dimaksudkan hanya untuk ‘mengejar bin laden atau al-Qaeda, namun invasi terjadi karena Afghanistan menjadi negara “sangat penting” sebagai pintu masuk “invasi” ke daerah lain di benua Asia, karena Afghanistan berbatasan dengan Cina, Pakistan dan Iran, dan Amerika Serikat ingin menyimpan kekuatan militer di salah satu perbatasan Iran.
Disamping itu, melimpahnya sumber daya alam di Afghanistan terutama gas dan minyak yang bergerak dari wilayah Kaspia ke selatan Pakistan dan India menjadi target utama atau daya tarik utama pasukan asing masuk ke Afghanistan dalam rangka “investasi” masa depan. Kompetisi untuk menguasai sumber daya energi selalu menjadi nomor satu bagi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya, sehingga dalam hal ini baik secara politik, geografis maupun kolonialis (pendudukan/penjajahan), AS dan sekutunya datang ke Afghanistan untuk menguasai sumber daya alam tersebut.
*) Penulis Tinggal di Jl Giri Kencana (Komplek Wirakencana No 12) Cilangkap, Jakarta Timur. No Hp : 08129618941. Email : toniervianto@gmail.com