Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Ditengah-tengah menajamnya persaingan global AS versus Cina di kawasan Asia Tenggara, kunjugan Obama ke Jakarta 9 November kiranya sarat dengan agenda tersembunyi yang bukan sekadar kunjungan persahabatan biasa. Betapa tidak. Dalam memperkuat kehadiran pasukan militer AS di kawasan Asia Tenggara, beberapa negara sudah berhasil masuk dalam persekutuan SEATO gaya baru ala perang dingin awal 1950-an, yaitu Australia, Selandia Baru, Jepang, dan Korea Selatan.
Seri kunjungan Obama ke beberapa negara Asia seperti India dan Indonesia, kiranya tidak lepas dari strategi besar AS untuk menggalang persekutuan solid dengan beberapa negara di kawasan Asia. Seperti kita ketahui bersama, India saat ini merupakan sasaran strategis Amerika utama selain Pakistan untuk digalang dalam persekutuan militer dan politik di kawasan Asia Tengah. Dalam menyikapi adanya persekutuan Cina-Rusia di kawasan Asia Tengah menghadapi dominasi AS, kedua negara adidaya tersebut membentuk Shanghai Cooperation Organization (SCO). Namun India, hingga saat ini masih bersikap netral dalam menyikapi keberadaan SCO. Hal ini nampaknya memberi sinyal cukup kuat betapa India dengan sikap netralnya ini sejatinya sedang memperkuat posisi tawarnya terhadap Amerika. Dan inilah, sisi lain di balik kunjungan Obama ke India selama 4 hari.
Kunjungan Obama ke India selama 4 hari nampaknya sangat mencolok dibandingkan kunjungan Obama ke Indonesia yang menurut rencana hanya berlangsung satu hari. Ada apa ini sebenarnya? Bagi Obama dan para perancang strategis keamanan nasional Gedung Putih nampaknya lebih mengutamakan India karena dari segi peluang untuk dimasukkan dalam persekutuan strategis Amerika nampaknya lebih menjanjikan dibandingkan dengan Indonesia.
Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di Vietnam, meskipun terkesan memberi applause dan sambutan meriah kepada Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, namun sejatinya KTT ASEAN tersebut juga memberi sambutan yang tak kalah meriah kepada Pemerintah Rusia. Dan jangan lupa, Vietnam saat ini merupakan pos garis depan bertemunya berbagai kepentingan strategis Cina dan Rusia di kawasan Asia Tenggara. Dan Amerika, justru kurang kuat gelombang dukungannnya di negara tersebut. Maklum, dalam era perang dingin pun, Vietnam pada perkembangannya justru menjadi ajang pertarungan global antara Cina dan Uni Soviet dibandingkan antara Amerika versus Rusia dan Cina.
Ketika Vietnam akhirnya berhasil menggusur kekuatan sayap kanan Jenderal Nguyen van Thieu yang didukung Amerika, praktis Rusia merupakan orbit bagi pemerintahan Vietnam Utara pimpinan Ho Chi Mienh dan Jenderal Vo Nguyen Giap. Apalagi ketika Kamboja pimpinan rejim komunis Polpot yang kejam dan lalim berhasil digusur oleh Vietnam yang didudkung dari belakang oleh Rusia, maka praktis Kamboja pun secara tidak langsung masuk dalam orbit Rusia. Namun sekarang, dengan semakin eratnya hubungan Rusia-Cina, maka Vietnam dan Kamboja praktis merupakan basis yang sulit ditembus oleh Amerika, kecuali dengan dukungan sepenuhnya dari negara-negara yang tergabung dalam ASEAN.
Dalam perspektif dukungan ASEAN inilah, Indonesia menjadi pemain kunci yang tidak bisa dianggap enteng. Namun, para penentu kebijakan strategis Gedung Putih pun tahu bahwa Indonesia tidak semudah itu untuk begitu saja masuk dalam persekutuan strategis Amerika di kawasan Asia Tenggara. Apalagi setuju untuk bergabung dalam semacam pakta pertahanan ala SEATO seperti di era Perang Dingin pada periode 1950-1960.
Sebaliknya juga, Indonesia memandang Cina dan Rusia merupakan kekuatan alternatif yang bisa mengimbangi pengaruh kuat dari Amerika dan para sekutunya di Asia Tenggara seperti Australia, Jepang dan Korea Selatan.
Namun fakta menarik yang tak terbantahkan dari perkembangan ini adalah, betapa situasi dan iklim politik di kawasan Asia Tenggara dan bahkan Asia Pasifik nampaknya akan semakin memanas.