Pampasan Perang- Perspektif Hubungan Bilateral Indonesia-Jepang

Bagikan artikel ini

Hendri F. Isnaeni

“Prediksi Maeda menjadi kenyataan sejak dari pembayaran pampasan perang sampai dengan impor kebutuhan industri pada pemerintahan Presiden Sukarno, termasuk modal Jepang dimasukkan ke Indonesia. Jelas bahwa Maeda pada waktu itu sudah memprediksi akan terjadi hubungan baik dengan Indonesia.” Suhartono W. Pranoto, Kaigun Angkatan laut Jepang: Penentu Krisis Proklamasi, 2007, hlm. 194.

PADA Juni 2010, suratkabar Asahi merilis survey mengenai apakah Jepang dan Korea Selatan dapat menyelesaikan perbedaan di masa lalu. Sebanyak 3000 orang disurvei di Jepang dan 1000 responden di Korea Selatan. Hasilnya menunjukkan 97 persen responden Korea Selatan menjawab “tidak” sementara hanya 30 persen responden Jepang mengatakan “ya”. Responden Korea Selatan menyatakan bahwa Jepang tidak berusaha jujur untuk menebus kekejaman tentara-tentaranya. Sementara Jepang percaya bahwa para pemimpin mereka sudah mengatakan ‘maaf’ berkali-kali.

Mengapa Korea Selatan belum bisa menerima penyesalan Jepang? Menurut doktor sejarah pendudukan Jepang di Indonesia dari Institut für Politische Wissenschaft der RWTH Aachen Jerman Boryano Rickum, Korea lebih lama di bawah pendudukan Jepang (1910-1945) daripada negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia atau Thailand. Kejahatan perang yang dilakukan Jepang telah menimbulkan banyak korban. Sebagian korban itu sendiri, atau setidaknya keluarga mereka masih hidup. Banyak dari mereka tidak bisa melupakan apa yang terjadi selama Perang Dunia II.

Karena lama dijajah, Korea Selatan selain mengidap memori kolektif yang gelap sehubungan dengan pendudukan Jepang, tapi juga masih memiliki kesadaran kolektif sebagai “pecundang” dan “korban” dari ekspansi Jepang yang agresif. Sebagai sebuah negara yang kalah dalam perang –yang bahkan tak pernah dimulai– tidak mudah untuk melupakan kekalahan perang.

Berkali-kali pertanyaan: “bagaimana mungkin ini terjadi” atau “dimana kesalahan dalam pertahanan kita?” timbul di masyarakat. Seseorang bisa mengatakan, Korea masih hidup di masa lalu, sehingga tidak mampu untuk berlapang dada dan berjalan terus, karena mereka dipaksa untuk mengalami kekalahan mereka lagi dan lagi. Kondisinya akan terus begini sampai seluruh generasi di masa perang telah meninggal dunia.

Di sisi lain, banyak orang Jepang masih percaya bahwa perang mereka adalah sebuah perang “demi kebaikan” karena mereka berjuang melawan kolonialisme Eropa di Asia. Saya tidak yakin jika Anda menemukan dalam buku sejarah Jepang, di mana mereka mengatakan bahwa perang pasifik adalah kejahatan besar. Jadi, Jepang sendiri menghadapi kesadaran kolektif (tipikal) pelaku (kejahatan):  Tidak seperti ‘negara pecundang’, mereka tidak ingin mengingat apa yang mereka lakukan. Mereka ingin melupakan kesalahan mereka.

Lantas, bagaimana menjembataninya? Ahli Korea dari Universitas Shizuoka Prof Kobari Susumu yang mengomentari hasil survey Asahi menyatakan bahwa yang bisa menjembatani kesenjangan besar antara Jepang dan Korea Selatan adalah dengan mengintensifkan pertukaran budaya dan olahraga. Upaya lain yang bisa ditempuh, menurut Lee Young Che, seorang ahli hubungan pasca perang antara Jepang dan Korea Selatan adalah membayar kompensasi atas penderitaan warga Korea yang menjadi korban Perang Dunia II, yang saat ini rata-rata berusia 80-an.

Dengan memanfaatkan momentum permintaan maaf Perdana Menteri Jepang Naoto Kan, Korea Utara secara resmi mengirimkan surat yang isinya, “Kami mendesak pemerintah Jepang agar meminta maaf sekaligus memberi kompensasi yang memadai dan setimpal atas kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan Jepang pada Perang Dunia lalu. Dan hendaknya masalah ini diselesaikan secara bilateral antar kedua Negara.”

Jika pampasan perang bisa menjadi obat luka sejarah, apakah luka sejarah yang digoreskan Jepang selama 3,5 kepada Indonesia sudah sembuh karena Indonesia telah menerima pampasan perang?

Pampasan Perang

Satu periode penting yang juga turut menentukan perkembangan hubungan kedua negara adalah proses pembayaran pampasan perang pada tahun 1950-an serta pelaksanaannya pada tahun 1960-an.

Pada pertengahan tahun 1951, Amerika Serikat memprakarsai Perjanjian San Francisco (Treaty of San Francisco) untuk merundingkan perjanjian damai dan pampasan perang antara Sekutu dengan Jepang. Beberapa negara dari Asia yang pada Perang Dunia II pernah diduduki Jepang, turut diundang menghadiri perundingan.  Perjanjian tersebut ditandatangani oleh 49 negara dari 52 negara peserta pada 8 September 1951 dan berlaku efektif mulai 28 April 1952.

Pada mulanya pemerintah Indonesia enggan turut mengikuti pertemuan tersebut, karena ingin terlebih dahulu mengadakan pembicaraan dengan negara-negara tetangga untuk menyatukan sikap terhadap Jepang. Karena itu, kabinaet masih belum secara bulat menentukan pendiriannya.

Menyikapi perundingann ini, Kabinet Sukiman-Suwirjo (27 April 1951-3 April 1952) terpecah. Menteri yang berasal dari Partai Buruh dan Partai Nasional Indonesia (PNI) menganggap tidak perlu ikut dalam perundingan karena tidak jelas manfaatnya. Tetapi menteri dari Masyumi, Partai Katolik, Partai Indonesia Raya (PIR), Faksi Demokratik, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Golongan Non Partai berpendirian bahwa tiba waktunya untuk menyelesaikan masalah yang masih mengganjal antara Indonesia dengan Jepang. Perbedaan pendapat antara dua partai terbesar, Masyumi dan PNI sempat mengancam keutuhan Kabinet. Akhirnya, pemerintah mengambil jalan tengah, bersedia hadir jika ada manfaatnya bagi Indonesia. Duta Besar RI di Washington ditugaskan menyampaikan nota kepada Pemerintah Amerika Serikat, bahwa Indonesia bersedia hadir dalam perundingan asalkan diberi jaminan akan memperoleh ganti rugi yang pantas dari Jepang.

Pada 24 Agustus 1951, Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo berangkat ke San Francisco, namun masih belum diberi kuasa untuk memutuskan. Pada 7 September 1951, beberapa jam sebelum acara penandatanganan Perjanjian Damai dilakukan, Kabinet masih belum berhasil mencapai kata sepakat mengenai langkah yang akan ditempuh. Kabinet pun mengambil suara. Hasilnya sepuluh menteri menyetujui perjanjian dan enam menteri menentang.

Pasca Perjanjian San Francisco, ditindaklanjuti dengan perjanjian bilateral Indonesia-Jepang. Mula-mula misi Menteri Perhubungan Juanda ke Jepang tahun 1952 menuntut pampasan perang sebesar US$17 miliar. Sebab, Indonesia kehilangan 4 juta jiwa selama pendudukan Jepang dan miliaran dollar AS dalam barang. Jepang kaget karena tuntutan itu sangat tinggi. Bahkan Kepala Biro Asia Deplu Jepang, Wajima Keiji menganggap Jepang tidak perlu bayar pampasan sebab tidak pernah perang dengan Indonesia. Akibatnya, sampai tahun 1955, hubungan kedua negara tegang karena soal pampasan. Perundingan berlangsung terus sampai tahun 1957. Sementara itu, Filipina telah memperoleh pampasan dari Jepang sebesar US$550 juta pada 9 Mei 1956 dan Burma (Myanmar) mendapat US$200 juta pada 5 November 1955. Indonesia menurunkan tuntutannya menjadi US$1 miliar. Akhirnya, akhir 1957 disepakati pampasan senilai US$800 juta, setengahnya dalam bentuk grant, setengahnya lagi sebagai bantuan ekonomi bersyarat ringan.

Persetujuan ini dicapai karena peranan menentukan dari Adam Malik dan teman-temannya. Bersama-sama dengan Winoto Danuasmoro dan Elkana Tobing (dan setelah campur tangan Sukarno), Adam Malik dapat menembus rintangan dari perundingan resmi berkat hubungan eratnya dengan Shigetada Nishijima –pembantu Laksamana Maeda Tadashi Perwira Tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Indonesia. Nishijima punya jalur ke pimpinan partai LDP (Liberal Democratic Party) yang berkuasa. Bersama-sama dengan pengusaha terkenal Jepang, Ataru Kobayashi dan Tomoyoshi Shirahata, Nishijima melicinkan jalan sehingga pada 20 Januari 1958 perjanjian pampasan perang ditandatangani.

Dalam perjanjian damai disepakati bahwa Jepang akan membayar ganti rugi berupa: Pampasan perang senilai US$223,080 juta; Jepang membatalkan tagihannya terhadap Indonesia sebesar US$176,914 juta; Jepang bersedia menanamkan modalnya di Indonesia dan akan mengusahakan pinjaman jangka panjang sampai batas US$400 juta; pembayaran pampasan perang yang pertama dimulai sejak 1958 dan lunas dalam jangka waktu dua belas tahun dengan cicilan US$20 juta setiap tahun; pembayaran ganti rugi dapat dilakukan dalam bentuk barang atau jasa; kedua belah pihak akan menyusun daftar barang atau jasa yang akan diserahkan Jepang. Perjanjian damai dan pampasan perang tersebut disahkan DPR RI tanggal 13 Maret 1958 dan diundangkan pada 27 Maret 1958.

Perjanjian pampasan perang terdiri atas satu daftar yang memuat enam kategori program dan proyek, tempat dana pampasan akan digunakan. Keenam kategori itu adalah transportasi dan komunikasi, pengembangan tenaga, pengembangan industri, pengembangan pertanian dan perikanan, pertambangan, dan jasa atau pelayanan.

Semuanya ada 36 proyek pampasan perang. Sampai tahun 1968, sebelas proyek belum selesai. Dari yang sudah selesai, 7 proyek tidak baik jalannya sehingga tinggal 18 proyek yang beres. Beberapa di antaranya kemudian ternyata gagal, seperti pabrik kertas di Pematang Siantar dan Wisma Nusantara yang terkatung-katung.

Selain berupa fisik, ada juga pampasan perang non-fisik di bidang kebudayaan dan pendidikan. Ada 378 mahasiswa dan 474 trainee Indonesia belajar di Jepang. Tapi, pemilihannya aras dasar politik dan bukan berlandaskan prestasi akademis. Tidak jelas, berapa orang yang lulus. Berbeda dengan negara-negara Barat, seperti AS dan Eropa Barat, Jepang dengan pampasannya tidak berhasil memberikan sumbangan untuk menciptakan suatu lapisan yang terdidik dan ahli di Indonesia.

Secara keseluruhan, proyek-proyek pampasan perang mengandung lebih banyak aspek negatif dibandingkan dengan aspek positifnya, kalau hanya dilihat dari segi ekonomi. Banyak proyek yang tidak menerima dana yang cukup untuk menyelesaikannya. Hal ini terutama disebabkan oleh inflasi yang terjadi di Indonesia. Proyek-proyek lain dihentikan setelah Desember 1965 karena kurangnya dana.

Di antara proyek-proyek yang telah selesai dan berjalan efisien adalah sebuah jembatan yang melintasi Sungai Musi di Sumatera Selatan, yang diselesaikan pada Mei 1965 dengan biaya US$11,782 juta. Proyek lain yang sukses adalah terowongan pengendali air Neyama yang dibangun di Jawa Timur. Pembangunannya dikontrakkan pada 1959 dan diselesaikan pada April 1961 dengan biaya US$1,972 juta.

Proyek pengembangan komprehensif di daerah Sungai Brantas di Jawa Timur merupakan proyek konstruksi terbesar di antara proyek-proyek yang dibiayai dengan dana pampasan dan menjadi simbolnya. Proyek yang dikontrakkan pada 1963 ini disebut “’Proyek 3K”, yang mewakili nama-nama dari tiga sungai yang diawali dengan huruf K: Sungai Karangkates, anak sungai dari Kali Brantas; Kali Konto, satu cabang Sungai Brantas; dan Sungai Kanan. Ketiga proyek bendungan menghabiskan US$28,352 juta. Tetapi, ketika ketiganya tidak dapat diselesaikan dengan biaya ini, tambahan kredit yen pun diberikan.

Proyek lainnya meliputi empat hotel besar di Jakarta (Hotel Indonesia), Pelabuhanratu Jawa Barat (Samudra Beach Hotel), Yogyakarta (Hotel Ambarukmo), dan Bali (Hotel Bali Beach). Hotel Indonesia berlantai 14 yang dibangun di Jakarta pada 1962 semula dimaksudkan untuk mengakomodasi para pemimpin dan wisatawan asing pada Asian Games tahun itu. Sampai 1969, hotel tersebut merupakan satu sumber devisa yang penting karena semua tamu diharuskan membayar rekening mereka dalam dolar Amerika. Sebagai satu-satunya hotel internasional di Jakarta –dan di seluruh Indonesia sampai tahun 1966– Hotel Indonesia biasanya beroperasi dengan kapasitas penuh dan menjadi pusat aktivitas sosial dan diplomatik utama di Jakarta. Hotel Indonesia, oleh karenanya, selalu sukses. Tetapi ketiga hotel lainnya, walaupun kualitasnya sama, hanya beroperasi dengan kapasitas 20 sampai 30 persen sejak pembukaannya pada 1966.

Proyek lain yang tidak feasible dan tidak praktis adalah Toserba Sarinah yang berlantai 14 dan gedung Wisma Nusantara yang berlantai 29 di Jalan Thamrin Jakarta. Dibuka pada Agustus 1966, Toserba Sarinah menarik bagi bangsa Indonesia karena dipasangnya eskalator pertama di negara ini. Meskipun kualitas barang-barangnya tinggi, harganya juga tidak kalah tingginya sehingga tidak terjangkau oleh rata-rata orang Indonesia. Masa depan Wisma Nusantara juga diragukan. Kontrak pertama dilakukan pada Agustus 1964 sebesar US$ 5,8 juta, dan pembangunannya berjalan dengan baik sampai terjadinya kudeta yang gagal pada Oktober 1965.

Pada Februari 1969, Kementerian Luar Negeri Jepang mengirimkan satu misi ke Indonesia yang diketuai oleh Kitajima Takeo, bekas Ketua Komisi Fair Trade di bawah pimpinan perdana menteri. Misi Kitajima menemukan kelambatan di banyak proyek yang ada hubungannya dengan pampasan, dan sebagian ini disebabkan oleh kurangnya dana tambahan, kurangnya perawatan, kurangnya alat perlengkapan, serta pergolakan politik tahun 1965 di Indonesia.

Berebut “Kue” Pampasan

Di pihak Indonesia, yang bertugas menangani masalah pampasan perang adalah Komite Pampasan Pemerintah Indonesia, dibentuk pada 20 September 1958. Komite ini meliputi para pejabat dari Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Industri, Perdagangan, Pertanian, dan Perkapalan, serta diketuai oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri dan dilaksanakan oleh Biro Pampasan dari Kementerian.

Setiap tahun, komite ini mengisi permintaan yang diajukan oleh para anggota kementerian dan menyusun daftar pesanan. Garis besar proyek-proyek ini secara umum juga disiapkan oleh Dewan Perancang Nasional, yang dibentuk pada Agustus 1959, dan kemudian oleh penggantinya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas.

Pada akhir November 1957, banyak menteri yang berkompetisi untuk alokasi dana yang sangat besar untuk proyek-proyek mereka. Seksi Industri dari Kementerian Bidang Veteran meminta kepada Perdana Menteri Djuanda dana sebesar US$23 juta untuk proyek-proyek yang diusulkannya sendiri, sementara jumlah total yang dijadwalkan untuk tahun 1958-1959 hanyalah sebesar US$20 juta. Pada Mei 1958, kementerian tersebut dipaksa mengurangi permintaannya menjadi US$4 juta setelah diketahui bahwa kementerian lain pun telah menyerahkan permintaan mereka.

Bahkan setelah itu, permintaan dari keenam belas menteri semuanya berjumlah US$113,927 juta, hampir enam kali dari jumlah yang dijadwalkan. Pada 29 Juli 1958, dalam suatu pertemuan antarmenteri, jumlah ini diturunkan menjadi US$21,318 juta untuk dibagikan hanya kepada tujuh kementerian. Tetapi, pada saat itu Kementerian Perkapalan sudah melakukan sebuah kontrak dengan Perusahaan Dagang Kinoshita untuk sembilan kapal dengan biaya US$7,2 juta.

Belakangan, pada Maret 1959, ketika jadwal pembayaran dan daftar order disajikan, perundingan lebih lanjut dengan Jepang hanya menghasilkan pembayaran sebesar US$14,28 juta, termasuk kontrak besar dengan Kinoshita. Berarti, hanya tersisa US$7,08 juta untuk keenam kementerian lainnya, yakni Kementerian Pertanian, Perdagangan, Veteran, Pertahanan, Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik, dan Transportasi.

Diperebutkan Pengusaha Jepang

Kontrak pampasan menjadi rejeki yang diperebutkan oleh pengusaha Jepang. Para pengusaha Jepang terlibat dalam proses pembayaran pampasan perang. Tidak mengherankan, kontrak pembayaran pampasan perang dengan mudah jatuh ke tangan pengusaha yang dekat dengan Perdana Menteri Kishi.

Terkenal di antara mereka adalah Perusahaan Dagang Kinoshita yang dapat jatah banyak sekali, tapi tahun 1964 perusahaannya bangkrutkarena pemborosan yang dilakukan Kinoshita karena senang bermewah-mewah dalam menghibur pelanggan yang sudah pasti maupun yang masih dalam taraf potensial, atau orang-orang berpengaruh yang dapat membantunya. Sebagai contoh, pada 1958, ketika Sukarno dan rombongannya datang ke Jepang, Kinoshita menghabiskan sekitar 30 juta yen sampai 50 juta yen (1 yen = Rp 17,00) untuk menghibur mereka di Tokyo, Kyoto, dan Hakone selama 18 hari berada di negeri itu. Hiburan ini juga termasuk biaya diperkenalkannya seorang model cantik kepada Presiden Sukarno.

Strategi menyajikan perempuan untuk Sukarno ditiru oleh saingan bisnis Kinoshita, Kubo Masao dari Perusahaan Dagang baru yang kurang terkenal, Tonichi Boeki. Didirikan pada Maret 1954, perusahaan ini menangani perdagangan maupun konstruksi. Meskipun kecil, perusahaan ini memiliki dewan direktur yang terdiri atas para pemimpin dari Partai Liberal Demokrat yang berkuasa, seperti Ono Banboku dan Kono Ichiro serta pemimpin sayap kanan, Kodama Yoshio. Kubo sendiri tadinya adalah penghubung antara golongan konservatif Jepang dengan tokoh-tokoh gangster daerah Ginza di Tokyo.

Pada Juni 1959 Sukarno berkunjung lagi ke Jepang. Waktu itu, Kubo tergiur berbagai proyek di Indonesia. Kubo, lantas memperkenalkan Sukarno pada gadis berusia 19 tahun bernama Naoko Nemoto, yang pada mulanya sebagai pegawai perusahaan Tonichi. Sukarno terpikat, Kubo mendapat sejumlah proyek.

Antara 1960 dan 1963 Kubo menerima empat kontrak pampasan yang sangat besar. Pada 1961, Kubo membangun gedung Wisma Indonesia berlantai empat di Tokyo. Dia juga memenangkan sebuah kontrak untuk memperluas gedung Kedutaan Besar Indonesia di Tokyo dengan dana pampasan pada 1960 serta untuk menyediakan kapal patroli dan sebagian peralatan serta fasilitas untuk tiga hotel yang dibangun di Bali, Yogyakarta, dan Pelabuhanratu (Jawa Barat). Selain kontrak pampasan ini, Kubo mendapatkan hak untuk membangun sebuah wisma tamu di istana kepresidenan, Monumen Nasional, dan sebuah menara transmisi televisi, yang semuanya di Jakarta.

Nemoto tinggal menyendiri di asrama Tonichi di Jakarta, jauh dari perhatian khalayak ramai. Menjelang tahun 1962, perpecahan mulai timbul antara Nemoto dan Kubo. Nemoto begitu ambisius dan tidak puas hanya sebagai alat bisnis Kubo. Selain itu juga terjadi persaingan antara Kubo dan Toyoshima, yang mencoba menarik Nemoto ke pihaknya. Akhirnya, seorang wartawan bernama Omori Minoru, yang dekat dengan Nemoto pada suatu kali, mengetahui bahwa Sukarno semakin tidak puas melihat transaksi bisnis Kubo dan memaksanya menutup kantornya di Jakarta pada November 1963. Pada masa itu, Nemoto sudah erat berhubungan dengan Toyoshima. Konflik antara antara Kubo dan Nemoto membawa banyak perubahan dalam lobi-lobi pampasan. Setelah kembalinya Kubo, Nemoto memihak Perusahaan Dagang Kinoshita dan menolong Toyoshima. Melalui Toyoshima, seperti yang ditulisnya, dia juga menanamkan persahabatan dengan Duta Besar Jepang, Oda Takio, dan secara bertahap tampil menonjol di kalangan bisnis dan politik utama di Jepang dan Indonesia. Tanggal pernikahan Sukarno dan Nemoto sendiri tidak pasti. Satu sumber mengatakan bahwa mereka menikah secara diam-diam pada 3 Maret 1962 ketika Nemoto mendapatkan nama Indonesianya: Ratna Sari Dewi, serta kewarganegaraan Indonesianya. Sumber lain mengatakan bahwa dia menjadi istri Presiden secara resmi pada bulan Mei 1964.  Pokoknya, setelah lengket dengan Sukarno, Dewi menjadi figur penting di mata pengusaha Jepang. Waktu itu ungkapan “Berkunjung ke Dewi” menjadi semacam anekdot yang mengandung makna bisnis. Jarang ada transaksi bisnis yang terjadi di luar persetujuan Dewi.

Apakah pampasan perang memperbaiki atau memperburuk hubungan kedua negara? Berlarutnya penyelesaian pampasan sampai enam tahun memperdalam sentimen anti-Jepang di kalangan pejabat pemerintahan Indonesia. Demikian pula, kontrak pampasan perang pada umumnya hanya dinikmati oleh pengusaha Jepang, tidak jarang dengan cara penipuan, seperti dalam pembelian kapal. Tentu saja, mereka bekerjasama dengan para pejabat Indonesia yang waktu itu hilir mudik ke Tokyo.

Pada 1970-an, hubungan Jepang-Indonesia ditandai berbagai krisis. Salah satu yang terpenting adalah Peristiwa 15 Januari 1974. Pada waktu itu kritik rerhadap kehadiran Jepang di Indonesia terutama berkisar pada sikapnya sebagai “binatang ekonomi.” Perusahaan manufaktur Jepang membanjir di Indonesia, seringkali dengan kemudahan yang sangat menyolok, dan menyaingi industri pribumi. Dalam mencari pasangan berdagang, modal Jepang lebih tertarik pada partner non-pribumi dengan koneksi yang kuat pada pusat kekuasaan, sehingga lebih membakar sentimen yang sudah ada.

Sentimen anti-Jepang juga sangat kuat di kalangan kaum intelektual Indonesia karena tidak adanya “mazhab Jepang” di kalangan mereka. Dalam keseluruhannya, pampasan perang boleh dikatakan makin memperdalam jurang kecurigaan dan salah pengertian rakyat lndonesia terhadap Jepang. Ini tidak menghilangkan kenyataan adanya orang Jepang yang secara tulus ingin membantu Indonesia, seperti diperlihatkan Nishijima dan temannya.
PM Kishi dikenal sebagai tokoh yang sangat dekat dengan AS, dan penguluran pembayaran pampasan perang haruslah dilihat sebagai bagian dari politik global AS waktu itu yang berpusat pada Perang Dingin. Pampasan perang dipakai sebagai alat untuk menekan Sukarno dan mempengaruhi politik dalam negeri Indonesia.

Hubungan Indonesia-Jepang

Pada 20 Januari 2008, Indonesia dan Jepang memperingati Tahun Emas hubungan diplomatik. Selama itu, hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Jepang terbina dengan baik. Sejak ditandatanganinya perjanjian damai pada 15 April 1958, cukup banyak persetujuan dan pertukaran nota yang melandasi hubungan bilateral antara Saudara Muda dengan Saudara Tua. Diperkirakan 200 pertukaran nota antara kedua negara yang mengatur mengenai kerja sama bidang pertanian, kehutanan, peningkatan produksi pangan, dan bantuan keuangan.

Sebut saja Official Development Assistance (ODA). Bantuan Pembangunan Pemerintah Jepang ini dimulai tahun 1954, dalam bentuk penerimaan trainee untuk mendapatkan pelatihan di bidang industri, komunikasi, transportasi, pertanian, dan kesehatan. Bantuan ODA Jepang yang telah memberikan kontribusi besar melalui di bidang pengembangan SDM, pembangunan infrastruktur sosial ekonomi. Misalnya, pada saat krisis ekonomi melanda Asia sejak Agustus 1997, Jepang membantu Indonesia yang sedang berusaha keluar dari krisis dalam bentuk pinjaman khusus, perpanjangan kewajiban pembayaran, dukungan strategi pemerintah, dan lain-lain. Begitu pula ketika gempa besar dan tsunami pada Desember 2004, Jepang menyediakan dana rekonstruksi dan rehabilitasi untuk korban bencana sebesar US$640 juta. Secara kumulatif sampai 2006, bantuan Jepang kepada Indonesia berjumlah US$29,5 miliar. Dengan rincian: Pinjaman Yen sebesar 125.2 miliar Yen; Bantuan Hibah sebesar 5.4 miliar Yen; dan Kerjasama Teknik sebesar 7,8 miliar Yen. Karena itu, bagi Indonesia, Jepang adalah negara donor terbesar, demikian juga bagi Jepang, Indonesia adalah negara penerima bantuan terbesar.

Dalam bidang ekonomi. Pembukaan jalur penerbangan antara Jepang dan Indonesia diadakan pada tahun 1963. Bagi Indonesia, Jepang merupakan negara mitra dagang terbesar dalam hal ekspor-impor. Ekspor Indonesia ke Jepang bernilai US$23,6 miliar, sedangkan impor Indonesia dari Jepang adalah US$6,5 miliar. Sehingga bagi Jepang mengalami surplus besar impor dari Indonesia tahun 2007. Komoditi penting yang diimpor Jepang dari Indonesia adalah minyak, gas alam cair, batubara, hasil tambang, udang, pulp, tekstil dan produk tekstil, mesin, perlengkapan listrik, dan lain-lain. Di lain pihak, barang-barang yang diekspor Jepang ke Indonesia meliputi mesin-mesin dan suku-cadang, produk plastik dan kimia, baja, perlengkapan listrik, suku-cadang elektronik, mesin alat transportasi dan suku-cadang mobil.

Investasi langsung swasta dari Jepang ke Indonesia yang menurun sehubungan dengan stagnasi yang dialami perekonomian Indonesia akibat krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997, kini belumlah pulih sepenuhnya, namun Jepang tetap menempati kedudukan penting di antara negara-negara yang berinvestasi di Indonesia. Dalam jumlah investasi langsung asing di Indonesia dari tahun 1967 hingga 2007, Jepang menduduki tempat pertama dengan angka 11,5% dalam kesuluruhannya. Terdapat kurang lebih 1000 perusahaan Jepang beroperasi di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut memperkerjakan lebih dari 32 ribu pekerja Indonesia yang menjadikan Jepang sebagai negara penyedia lapangan kerja nomor 1 di Indonesia.

Setelah mulainya pemerintahan Yudhoyono, telah dibentuk forum Investasi bersama tingkat tinggi pemerintah-swasta antara Jepang dan Indonesia. Berdasarkan saran dan dialog yang sejak dulu diadakan antara Japan Club dan pemerintah Indonesia, pada Juni 2005 pada kesempatan kunjungan Presiden Yudhoyono ke Jepang, telah berhasil disetujui SIAP, yaitu rencana strategis investasi yang meliputi 5 pokok, yaiitu masalah bea, customs, tenaga kerja, infrastruktur dan daya saing.

Perundingan resmi Economic Partnersip Agreement (EFA) antara Indonesia dan Jepang disetujui oleh pemerintah Indonesia dan Jepang pada waktu Presiden SBY berkunjung ke Jepang dengan resmi pada Juni 2005, setelah itu Presiden SBY dan Mantan Perdana Menteri Jepang, Abe menandatangani surat persetujuan EPA pada 20 Agustus 2007. Melalui EPA yang telah berlaku efektif dan mulai diimplementasikan pada tanggal 1 Juli 2008 ini, diharapkan perdagangan dan investasi antara kedua negara dapat meningkat dan semakin berkembang.[]

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com