Paradoks RUU Keamanan Nasional

Bagikan artikel ini

Otjih Sewandarijatun, alumnus Universitas Udayana, Bali

Forum Keamanan Nasional Indonesia menilai Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional yang akan dibahas DPR Rabu mendatang, hanya akan membawa Indonesia kembali ke rezim militer yang melindungi perilaku koruptif penguasa. Forum yang dihadiri sejumlah aktivis tragedi 98-99 mengklaim jika pemerintah dan wakil rakyat tetap bersikukuh membahas RUU Kamnas, tragedi semanggi dua tahun 1999 dikhawatirkan akan terulang.

Menurut aktivis HAM Usman Hamid, RUU Kamnas memberikan kuasa khusus kepada pemerintah untuk menangkap, menggeledah, dan menyadap siapapun yang dinilai menimbulkan ancaman bagi negara.

Sementara, definisi ancaman berada di tangan presiden dan pemerintah. Sehingga ditakutkan setiap kritik yang menyerang pemerintah dinilai sebagai ancaman yang berujung pada hilangnya kebebasan dan matinya demokrasi.

Pembentukan Dewan Keamanan Nasional dikhawatirkan juga akan mempreteli kewenangan Polri. Forum Keamanan Nasional Indonesia mendesak DPR untuk mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah.

Sebelumnya, Ketua Presiden Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyatakan, RUU Keamanan Nasional yang kembali diserahkan pemerintah ke DPR bulan ini tanpa adanya revisi terhadap berbagai pasal yang multi tafsir berpotensi melanggar HAM serta dinilai sebagai bentuk arogansi pemerintah. Selain itu, RUU Kamnas tersebut juga dinilai telah melanggar TAP MPR dan UU Pembentukan Perundang-undangan serta membuktikan ada yang tidak sehat dalam pembuatan RUU Kamnas ini (Pelita, 20/9/2012).

Sedangkan politisi PDIP, Mayjen Purn TB Hasanuddin menyatakan, ada beberapa gagasan yang belum jelas dalam beberapa poin di dalam pasal-pasal RUU Kamnas misalnya definisi keamanan nasional maupun ancaman nasional yang belum jelas ukuran dan kategorinya.
Menurutnya, selain pasalnya banyak bermasalah, namun banyak pasal karet yang dapat diselewengkan penguasa demi kepentingan politiknya, seperti pasal 54 e, pasal 59, pasal 22 jo pasal 23 RUU Kamnas yang memberikan peran terlalu luas kepada unsur BIN sebagai penyelenggara Kamnas, pasal 10, pasal 15 jo pasal 34 serta pasal 17 (4) sangat berpotensi membahayakan demokrasi.

Perlu Diluruskan

Pernyataan Forum Keamanan Nasional Indonesia termasuk yang disampaikan oleh Usman Hamid, Neta S Pane ataupun Mayjen Purn TB Hassanuddin perlu dikritisi, karena pernyataan tersebut tidak menggambarkan sama sekali alertness terhadap berbagai ancaman yang menghantui Indonesia, sehingga patut dipertanyakan apa motif dari lembaga ini termasuk mantan pengurus Kontras Usman Hamid yang terus menerus giat mengkritisi RUU Keamanan Nasional.

Tampaknya, Forum Keamanan Nasional Indonesia kurang menyadari bahwa pihak asing dalam membawa ancamannya ke Indonesia tidak perlu lagi menggunakan kekerasan, namun mereka melakukannya melalui MIDLIFES (Militer, Ideologi, Demografi, Legal, Informasi, Finansial, Economi dan Sosial) dimana penggunaan militer untuk menghancurkan negara sebagai “last resort”, dan kalau berbicara soal ancaman adalah pemikiran yang terlalu ortodoks dan paranoid jika selalu ditujukan kalau rumusan ancaman diberikan kepada pemerintah maka akan menguntungkan pemerintah. Apakah Anda tahu kalau HIV/AIDS yang merajalela, kesehatan masyarakat yang memburuk, cyber threat, global warming, penyakit menular, bahaya intoleransi dan aliran sesat, separatisme,  radikalisme dan konflik sosial sudah menghatui Indonesia.

Sebenarnya, kita sebagai bangsa harus salut dengan keberanian Rusia yang mengusir USAID keluar dari negaranya, demikian juga keberanian dan ketegasan pemerintahan Hugo Chavez di Venezuela yang menutup 23 NGO yang menjadi komprador asing, termasuk diantaranya beberapa NGO asing diusir keluar dari negara tersebut.

Bahaya keberadaan USAID dan lembaga asing lainnya di Indonesia juga tidak kalahnya dengan situasi di Rusia dan Venezuela. Menurut Dani Setiawan dari Koalisi Anti Utang (KAU) pada 4 November 2012 menyatakan,  sudah jelas terlihat dari intervensi asing seperti Bank Dunia, USAID dan lembaga asing lainnya dalam menentukan kebijakan  dan penyusunan UU strategis seperti UU Minyak dan Gas Bumi,  UU Ketenagalistrikan, UU Minerba, UU Percepatan Lahan untuk Infrastruktur dll.

Menurutnya, apalagi negara pemberi utang tentu saja memberikan syarat-syarat yang harus dilakukan Indonesia, seperti  harus menggunakan barang dan jasa dari negeri pemberi utang.

Kita harus berpikiran positif bahwa RUU Keamanan Nasional dibuat dalam rangka untuk mengantisipasi datangnya berbagai ancaman yang terjadi akibat berubahnya landscape pada geopolitik dan geoekonomi global, karena berdasarkan perubahan stratejik tersebut maka keamanan nasional yang mantap sangat diperlukan dan kepentingan nasional dipertahankan.

Coba bayangkan negara ini begitu “mudah diterobos” ide-ide gila dari anasir asing dan kompradornya di dalam negeri dengan mengusulkan amandemen UUD 1945 sebanyak 4 kali yang notabene sudah kebabalasan dan konon amandemen tersebut idenya berawal dari sebuah NGO asing yang bercokol di Jakarta Pusat yang sampai saat ini kita tidak berani mengusirnya. Demikian juga dengan usulan Kebebasan Informasi Publik, bagaimana enaknya petugas atase-atase dan perwakilan luar negeri yang bertugas di Indonesia dalam mengumpulkan data dan informasinya terkait dengan Indonesia, karena kebebasan berbicara, kebebasan mendapatkan informasi dll sudah sangat terbuka di Indonesia. Mereka sudah pasti akan mudah untuk memetakan kekuatan, kelemahan, dan kemampuan yang dimiliki Indonesia.

Terkait dengan pasal-pasal “karet” atau membahayakan, sebenarnya juga patut dipertanyakan dan diluruskan,  dimanakah letak membahayakan dan ambigunya pasal tersebut, karena sebuah pasal dapat dinilai ambigu oleh pihak yang berseberangan dengan pemerintah, walaupun sejatinya pasal tersebut tidak ambigu. Oleh karena itu, dalam mengkritisi sebuah pasal dalam perundang-undangan, selain dilihat dari bahasa Indonesia yang digunakan bahasa baku atau tidak, juga jangan menilai atau mempersepsi sebuah pasal untuk kepentingan pribadi/golongan atau kelompok, melainkan tetap harus mengedepankan kepentingan nasional.

Memang keamanan nasional berdasarkan TAP MPR No VII tahun 2000 tentang wewenang TNI dan Polri disebutkan kepolisian berwewenang dalam keamanan nasional dan TNI berwewenang dalam pertahanan nasional. Tapi dalam kontekstual sekarang ini, dimana dinamika ancaman yang bersifat asimetris, mengglobal dan tanpa batas, maka kewajiban semua kalangan untuk membantu dan membela masalah keamanan nasional negaranya, sehingga kurang pas jika dibebankan kepada kepolisian.

Ancaman terorisme sekarang ini sudah mengarah kepada mengancam kedaulatan negara dan mereka juga menggunakan bahan-bahan peledak ataupun senjata canggih, sehingga lebih pas kalau dalam pemberantasan terorisme melibatkan TNI.

Menghadapi ancaman terorisme misalnya, Polri dibantu TNI dalam bidang penindakan, BIN dalam bidang memberikan informasi awal atau deteksi dini serta upaya-upaya counter yang perlu dilakukan, BNPT bertugas dalam deradikalisasi dan engagement, PPATK dalam melacak keuangan dan unit-unit lainnya seperti Bea Cukai dan Imigrasi bertugas dalam tupoksi masing-masing. Jadi, tidak benar kalau keberhasilan pemberantasan terorisme karena keberhasilan sebuah lembaga saja, hanya kalau terlihat dalam pemberitaan di televise ataupun media massa cetak dan elektronik.

Sementara itu, terkait dengan pentingnya diberikan kewenangan yang lebih luas kepada BIN dalam RUU Kamnas ini disebabkan karena BIN adalah “koordinator intelijen” di Indonesia. Adalah hal yang aneh dan janggal jika BIN hanya diberikan kewenangan untuk “memberikan informasi dan mengkoordinasi” saja, tanpa kewenangan yang lebih seperti penyadapan ataupun penangkapan. Karena penangkapan awal dan penyadapan yang dilakukan BIN semata-mata untuk membongkar jejaring pelaku dan penebar terhadap kepentingan nasional, bukan penangkapan dalam konteks penegakkan hukum. Kalau BIN tidak diberikan kewenangan lebih, maka persis apa yang digambarkan oleh mantan Kepala BIN, DR. H. Ir. AM Hendropriyono, SE,SH yaitu seperti “anjing herder yang diikat kakinya, sehingga dia hanya dapat menggonggong jika ada pencuri masuk rumah kita, tanpa bisa melakukan upaya preventif seperti menggigit pencuri tersebut”.

Sekali lagi, RUU Keamanan Nasional dibuat dalam rangka semakin mengkondusifkan dan mengefektif pengorganisasian dan koordinasi serta kerjasama antar semua stake holder dalam mengantisipasi ancaman ke depan Indonesia. Kita dihadapkan pada ancaman yang semakin berat ke depan terkait dengan food, energy dan water. Apa kita sudah siap, kalau kita selalu berburuk sangka dengan langkah yang akan diambil pemerintah dalam mengatasi ancaman tersebut ?

Email penulis: otjih90170@gmail.com

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com