Parpol Islam di Pemilu 2014

Bagikan artikel ini

Suhendro

Saat ini merupakan masa yang tidak menguntungkan bagi partai politik Islam di Indonesia. Salah satu faktor yang menyebabkan publik kurang optimis terhadap masa depan Parpol Islam di Pemilu 2014, karena banyaknya kasus korupsi yang menjerat para petingginya. Mulai dari kasus korupsi, skandal wanita dan sederet kasus lainnya hampir setiap hari menghiasi pemberitaan di media cetak maupun elektronik.

Stigmatisasi negatif pada kelompok Islam modernis masih kerap diterima dalam politik keseharian. Karena dalam doktrin militer Islam modernis dan PKI dipahami sama bahaya. Karena kita disebut mendirikan negara Islam.

Selain persoalan citra, dalam konstalasi geopolitik internasional, kelompok Islam dilihat sebagai kekuatan yang dianggap melawan kepentingan barat. Akibatnya, komunikasi yang dibangun sangat buruk. Apalagi sebagian dari kita ini orang barat yang berada di Timur.

Hal lain yang juga menjadi persoalan, faktor intelektualisme juga tidak menguntungkan bagi kelompok partai Islam. Jargon populer yang dikeluarkan Nurcholis Majid di era 70-an “Islam Yes, Partai Islam No” disebut tidak menguntungkan partai Islam. Hal lainnya, persoalan finansial juga tidak berpihak pada kelompok Islam.

Kondisi ini, tidak linier dengan situasi politik yang menekankan pada relasi uang dan kekuasaan. Masyarakat dihadapkan sebuah pilihan yang amat sulit untuk menentukan preferensi politiknya yang akan menjadi pilihan terbaiknya. Berdasarkan salah satu hasil survei belakangan ini menjelang Pemilu 2014 menyatakan sebanyak 42,8% publik percaya perolehan suara partai-partai politik Islam di Pemilu tahun 2014 akan menurun drastis dibanding perhelatan Pemilu sebelumnya dan titik ekstrimnya, eksistensi Parpol Islam juga diprediksi akan lenyap di peredaran kontestasi politik Indonesia.

Sungguh amat memperhatinkan bilamana eksistensi Parpol Islam tidak lagi berlaga sebagai peserta politik di Pemilu mendatang. Tergerusnya dukungan publik terhadap Parpol Islam adalah karena publik menilai bahwa semua Parpol sama saja korupsi, perilaku politik para petingginya hampir tidak ada yang membedakan dengan para petinggi Parpol non-Islam. Karena itu, siapa pun Capres/Cawapres Indonesia yang terpilih kelak di Pemilu 2014, apa pun latar belakang Parpol pengusungnya, masyarakat sudah tidak lagi memperdulikannya.

Ideologi Islam yang seharusnya menjadi sumber motivasi, sumber nilai dan sumber inspirasi partai-partai politik Islam dalam memainkan fungsi dan peranannya beralih pada sikap politik yang meletakkan spirit materialistik sebagai parameter dalam menentukan konsesi-konsesi politiknya. Jaminan bahwa politisi yang bernaung di bawah Parpol yang berbasiskan Islam dapat menunjukkan perilaku politik sesuai dengan ajaran Islam kenyataannya jauh dari harapan masyarakat.

Realitas politik inilah yang membudaya secara massif dalam perilaku politisi Islam dewasa ini. Hal ini yang menjadi pemicu utama mengubah tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik Islam turun rendah karena partai politik Islam tidak lagi menjamin kadernya bersih dan bebas korupsi serta jauh dari tindakan-tidakan menyimpang lainnya.

Di kalangan umat Islam, memang, Islam dan politik tidak dapat dipisahkan, justru ia adalah sebagian dari cara untuk mengatur hajat hidup orang banyak. Islam merupakan agama yang mencakup keseluruhan sendi kehidupan manusia. Bahkan Islam berpandangan bahwa Islam tidak bisa dibangun secara sempurna tanpa ditopang oleh kekuatan politik. Politik, sebagai salah satu sendi kehidupan, diatur juga dalam Islam. Di antara prinsip-prinsip politik yang diajarkan Islam meliputi musyawarah, keadilan, kebebasan atau kemerdekaan, keterbukaan, persamaan dan pertanggungjawaban penguasa terhadap masyarakat. Prinsip-prinsip politik itulah yang menjadi orientasi utama politik Islam dalam dinamika kejuangannya.

Hal di atas menunjukkan betapa posisi politik memiliki posisi tersendiri dalam ajaran Islam. Karena itu, politik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islam hingga dapat dipahami bahwa perjuangan politik seakan-akan perjuangan agama itu sendiri.

Menguatnya kembali wacana koalisi antar Parpol Islam menjelang momentum Pilpres 2014 dipandang kurang relevan dan bahkan kontraproduktif, mengingat situasi politik Indonesia hari ini telah mengalami transformasi paradigmatik yang tidak lagi tersekat oleh dikotomisasi ideologi yang dianut, Islam atau nasionalis. Dinamika konfigurasi Parpol pasca reformasi lebih mengarusutamakan tidakan-tindakan yang berkaitan langsung dengan kebutuhan riil masyarakat.

Dengan kata lain, yang menjadi prioritas utama oleh masyarakat dalam menentukan preferensi politiknya, lebih banyak ditentukan oleh sejauhmana Parpol mampu menjawab berbagai problematika yang dihadapi masyarakat sehari-hari, tidak peduli apakah Parpol tersebut berlabel Islam atau non-Islam. Disadari atau tidak bahwa fungsi dan peran Parpol Islam sejauh ini belum menunjukkan prestasi yang baik. Yang terjadi justru stigma negatif melekat kuat terhadap Parpol Islam karena akibat perilaku para petinggi-petingginya yang menyimpang.

Belum lagi ditambah tidak adanya figur-figur politisi pemersatu di tubuh Parpol Islam, yang mana dalam sejarah perjalanannya Parpol Islam rentan mengalami konflik, yang tidak jarang berujung pada perpecahan yang berkepanjangan. Terekam kuat bagaimana pergulatan Parpol yang berazaskan Islam dalam dinamika kepolitikan Indonesia dulu, konflik lebih sering mewarnai daripada harmoni seperti yang terjadi di tubuh Parpol Masyumi dan NU pada tahun 52-an, begitu juga kemelut politik yang pernah dialami oleh sesama para petinggi internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang pemicu utamanya lebih banyak disebabkan faktor non-ideologis tapi karena politic interest tiap-tiap individu atau kelompok.

Menyayangkan stigma buruk tentang polarisasi ideologi Islam di Indonesia. Padahal, semua kekuatan ideologi di Indonesia pecah. Ia menyebut kekuatan nasionalis pecah, kelompok komunis juga pecah, sosialis pecah dan serta partai Kristen. Masa depan partai Islam tidaklah terlalu baik dan kinerja partai Islam juga tidak moncer, seperti persoalan kaderisasi. Ceruk suara Islam modernis yang disasar PBB sama dengan ceruk suara yang disasar partai politik Islam lainnya minus PKB. Namun,i ide-ide Masyumi akan selalu mewarnai pentas politik nasional.

Untuk mengatasi persoalan ini, tampaknya Parpol Islam harus mulai berbenah, dengan kembali memperbaiki kualitas fungsi dan peran kepartaiannya seperti meningkatkan kembali kapasitas rekrutmen, agregrasi, sosialisasi dan komunikasi politiknya dan juga harus lebih aktif dalam memainkan peranannya untuk merespons isu-isu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain, institusionalisasi kepartaian dan penajaman dalam menterjemahkan garis-garis besar haluan ideologinya yang bersentuhan langsung dengan realitas kehidupan masyarakat harus mendapatkan prioritas utama.

Di era keterbukaan yang kian tak berbatas, Parpol Islam juga harus mulai berani menghindari sikap ekslusifime politik meskipun secara organisatoris dan ideologis Parpol Islam merupakan wadah aspirasi bagi umat muslim. Parpol Islam harus mampu menempatkan diri sebagai penyuara kepentingan di atas semua golongan tanpa melihat baju politik yang melatarbelakanginya. Sehingga fungsi dan peranannya dapat menjadi jembatan emas bagi siapa pun baik Islam maupun non-Islam. Jika langkah ini dapat berjalan secara maksimal, tidak menutup kemungkinan Parpol Islam akan mengalami progresivitas yang signifikan di Pemilu 2014 dan juga menepis pandangan yang memprediksi perolehan suara Parpol Islam menurun drastis bahkan tidak sedikit juga yang berpandangan Parpol Islam akan tengelam.

Jakarta, 8 Januari 2013

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com