Welcome to Asia Spring! (4/Habis)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Sinergi Peperangan

Dua Journal terakhir terbitan GFI sesuai referensi artikel ini)* meniscayakan  ‘perubahan sentral geopolitik’ atau geopolitical shift dari Jalur Sutera menuju Asia Pasifik dengan alasan dan beberapa penyebab. Sedang prakiraan lokasi, tepatnya mungkin di Perairan Cina dan sekitar. Artinya entah kelak diletuskan pada Laut Cina Selatan atau meledak di Laut Cina Timur, telah dibahas pada tulisan terdahulu (Baca: Mungkinkah Proxy War di Laut Cina Timur? Di www.theglobal-review.com). Barangkali hanya soal pemicu atau momentum, kapan ia dihamparkan oleh sang waktu.

Yang ingin penulis bahas pada sub bab ini ini ialah sinergi peperangan. Dalam kenyataan empiris, antara perang militer (hard power atau symmetric warfare) dan peperangan non militer (smart power atau asymmetric warfare) berpola menurut karakter masing-masing (silahkan dibaca: Apa dan Bagaimana Symmetric Warfare Berlangsung, di www.theglobal-review.com). Namun sering pula keduanya bersinergi secara simultan dengan intensitas berbeda. Gejolak politik (Arab Spring) di Jalur Sutera dan “gerakan reformasi” di Jakarta era 1998-an jelas merupakan penggelaran smart power oleh Barat, karena jatuhnya Ben Ali di Tunisia, atau Abdullah Saleh di Yemen, lengsernya Pak Harto, tergusurnya Mobarak di Mesir, dll hampir-hampir tiada letusan peluru, tanpa asap mesiu dari pihak si penggusur. Polanya memang tak jauh beda. Statement Karen Brooks semakin menegaskan. Ia menyebut, bahwa gerakan dalam menjatuhkan Mobarak di Mesir sebenarnya meniru dan belajar dari pola-pola kaum reformis ketika melengserkan Pak Harto dulu. Harus diakui memang, mereka terjungkal dari tampuk kekuasaan cukup melalui gerakan massa tanpa ada manuver militer.  Artinya, jika merujuk isyarat Brooks, apakah gerakan reformasi 1998 dulu boleh disebut Indonesia Spring, bukankah secara kronologis ia mendahului Arab Spring? Tolong simpan dahulu jawabannya, kita lanjutkan tulisan ini.

Lain lagi cerita symmetric warfare. Keroyokan militer model koalisi AS di Afghanistan (2001) dan Irak (2003), mutlak adalah kerja hard power-nya Barat, kendati langkah awal peperangan di kedua negara —langkah awalnya saja— mengikuti pola-pola smart power. Misalnya, isue di Afghanistan soal teroris, stigma di Irak perihal senjata pemusnah massal, sementara tebaran isue dan stigma di Jalur Sutera tentang pemimpin tirani, demokrasi, korupsi dan lainnya.

Tampaknya penerapan hard power di kedua negara (Irak dan Afghanistan), sedikit berbeda taktis sewaktu Barat membombardir Libya (2011). Tumbangnya Gaddafi dari tampuk kekuasaan jelas karena olah sinergi antara hard power dan smart power. Artinya tatkalasmart power dinilai gagal, metode gerakan massa melalui isue demokrasi dan pemimpin tirani pun seketika diubah, lalu ditingkatkan kadarnya menjadi perang sipil. Inilah hard power dalam skala terbatas, dimana para pemberontak justru dilatih, didukung dan dibiayai oleh Barat dan inner circle-nya (Baca: Memahami Sinergi antara Hard dan Smart Power di Libya, di www.theglobal-review.com dan beberapa analisis lainnya di web GFI).

Secara kasuistis, pola kolonialisme di Libya tak jauh beda dengan model penjajahan di Syria yang hingga tulisan ini terbit, masih berlangsung meski skalanya sudah mengecil atau sporadis.  Ada kemiripan urut-urutan eksekusi serta tahapan di kedua negara, terutama tatkala Barat gagal menggusur Presiden Bahsar al Assad via gerakan massa (smart power),mereka pun menaikkan kualitas “tema” (agenda) menjadi perang sipil. Maka inilah contoh aktual daripada sinergi peperangan antara smart power dan hard power, atau antara asymmetric warfare dengan symmetric warfare.

 “Master Virus” Asia Spring

Betapa geopolitical shift dari Jalur Sutera ke Asia Pasifk yang titik sentralnya diprakirakan menyalak di Perairan Cina, bukanlah cuma aplikasi hard power semata, namun menyertakan pula suprastruktur lain. Terkait sinergi di atas, suprastruktur dimaksud ialah smart power itu sendiri. Tak boleh disangkal. Bila gejolak massa di Jalur Sutera dinamaiArab Spring, besar kemungkinan asymmetric warfare yang digelar oleh AS dan sekutu di Asia Pasifik berlabel Asia Spring. Inilah yang kini berproses, hanya para awak media mainstream sepertinya masih malu-malu menggebyarkan. Entah kenapa. Dan “ketidakpercayaan rakyat terhadap elit dan pimpinannya” adalah virus utama gejolak massa atas kedua manuver politik (Barat) di kawasan yang menjadi targetnya.

Gejolak di Thailand misalnya, ternyata master virus yang diusung pimpinan oposisi Suthep Thaugsuban ialah “ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah syah”. Kendati pemicunya seolah-olah karena kebijakan Perdana Menteri (PM) Yinluck Shinawatra yang menerbitkan Undang-Undang (UU) Amnesti. UU tersebut memang diduga sebagai siasat Yinluck dalam rangka mengembalikan kakaknya, Thaksin Shinawatra, PM 2001-2006 yang terjungkal oleh kudeta militer dan sekarang hidup dalam pengasingan.

Kembali pada asymmetric warfare yang disertakan dalam pergeseran (symmetric warfare)geopolitik global, agaknya sekarang tengah bergerak ke Kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Selain Thailand yang hampir mencapai titik klimaks, Malaysia pun menyusul. Betapa gejolak rakyat berkaos hitam dengan topeng Guy Fawkes (simbol pemberontakan terhadap pemerintah di seluruh dunia) membawa poster-poster bertuliskan “turunkan harga-harga”, “membela hak-hak kita”, “hidup rakyat”, dll. Apa boleh buat. Gejolak politik di Negeri Jiran ternyata dipicu kenaikan harga minyak 10,5% dan tarif listrik 15%. Di Kamboja tak mau ketinggalan. Agaknya bibit-bibit “musim semi” telah disebar menuntut Hun Sen, PM Kamboja, agar mundur dari kursi kekuasaan dipicu oleh tuntutan atas peningkatan kesejahteraan buruh.

Dalam kajian asimetris, apa yang terjadi di Malaysia dan Kambajo baru sebatas (isue) permulaan. Jab-jab ringan. Adapun tema atau agenda selaku kelanjutan penebaran “isue”, lazimnya berupa gelombang massa besar-besaran guna “menekan” elit atau pemerintah syah. Ya, meskipun agenda tersebut tengah berproses, namun tampaknya belum dijalankan secara optimal oleh oposisi di kedua negara (Malaysia dan Kamboja) sebagaimana upaya-upaya Suthep menekan Yinkluck di Thailand. Pertanyaan menarik: Negara mana giliran berikutnya?

Silahkan saudara-saudara mencermati!

Bacaan, Link dan Pointers Diskusi GFI:

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com