Pasca Batalnya Perjanjian INF: AS dan Cina Semakin Intensif Tingkatkan Proliferasi Senjata Nuklirnya

Bagikan artikel ini

Pembatalan sepihak perjanjian senjata nuklir jarak menengah (INF) antara AS dan Rusia pada 2019 lalu, mengundang kekhawatiran mengenai bakal meningkatnya perlombaan senjata nuklir di Eropa maupun Asia Pasifik. Bagaimana kekuatan nuklir yang dimiliki AS dan Cina saat ini?

Menurut beberapa informasi yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute (GFI), AS saat ini setidaknya memiliki 400 rudal bermuatan tenaga nuklir, disimpan di Colorado, Montana, Wyoming, Nebraska, dan Dakota Utara yang dijaga dengan alarm peringatan dini.

Adapun Cina, saat ini punya 290 hulu ledak nuklir yang disimpan. Bahkan Cina telah memperkenalkan sistem persenjataan baru, yaitu rudal bertenaga nuklir. Seperti  DF-17 rudal balistik hipersonik dan generasi baru DF-41.

Sistem senjata nuklir yang disebut Dongfeng atau Angin Timur itu , selain DF-17, DF-16 dan DF-26, juga rudal jarak menengah, dan DF-31AG dan DF-41 yang merupakan rudal balistik antarbenua (jarak jauh).

Namun titik kewaspadaan kita tetap pada program pengembangan senjata nuklir AS pasca batalnya perjanjian INF 2019 lalu. Pada Agustus 2019 lalu misalnya, AS merilis berita ihwal keberhasilannya dalam tes uji coba rudal jelajah jarak menengah, yang diluncurkan dari pangkalan angkatan laut di Pulau San Nicolas yang berlokasi di pesisir Los Angeles. Adapun senjata yang diujicobakan nampak waktu itu adalah Tomahawk, rudal jelajah yang biasanya ditembakkan dari kapal perang atau kapal selam.

Menariknya lagi, dalam peluncuran tersebut, AS menggunakan Penggunaan Sistem Peluncur Vertikal Mark 41 dalam pengujian itu. Ini merupakan suatu kemajuan yang tidak boleh dipandang enteng. Sebab biasanya AS menempatkan peluncur itu di Polandia dan Romania.

Jika benar senjata yang diujicobakan waktu itu adalah Tomahawk, rudal jelajah bertenaga nuklir jarak menengah, tentu saja hal ini bukan saja mengkhawatirkan dua negara pesaingnya, Cina dan Rusia. Melainkan juga negara-negara di Eropa maupun Asia. Sebab itu berarti, AS telah melanggar perjanjian senjata nuklir jarak menengah (INF) yang telah ditandatangani antara AS dan Rusia pada 1987.

Melalui INF, baik AS maupun Rusia sebagai negara adikuasa pada Perang Dingin saat itu,  dilarang untuk mengembangkan senjata yang bisa terbang sejauh 500 sampai 5.500 kilometer demi mencegah perlombaan senjata.

Dengan batalnya perjanjian sepihak yang dilakukan AS terhadap perjanjian INF, apakah ini merupakan siasat pemerintahan Presiden Donald Trump agar lebih bebas mengembangkan aneka jenis senjata nuklir jarak menengah tanpa harus terikat perjanjian INF?

Menarik menyimak analisis Jeffrey Pryce dari Johns Hopkins University. Jeffrey berpendapat bahwa perjanjian INF menguntungkan AS karena apa pun yang ditembakkan dari kapal selam atau dijatuhkan oleh pesawat pengebom sama sekali tidak tunduk pada perjanjian itu.

Perjanjian pembatasan senjata nuklir jarak menengah AS-Rusia runtuh

“Dengan demikian, Perjanjian INF menghilangkan kemampuan militer Rusia secara signifikan, yang ukuran dan lokasinya merupakan keuntungan strategis,” kata mantan pejabat Pentagon itu di Twitter, dilansir dari AFP.

Baca: Siapa yang Diuntungkan dalam Perjanjian Nuklir AS-Rusia?

 Lebih lanjut Jeffrey Pryce mengatakan, saat ini AS memiliki angkatan laut dan udara yang paling kuat di dunia. Dan Perjanjian INF tidak membatasi rudal yang diluncurkan dari laut atau diluncurkan dari udara.

Menurut angka-angka dari kelompok anti-nuklir Union of Concerned Scientists, gudang nuklir AS saat ini menyimpan 4.600 senjata nuklir, di mana 1.740 dikerahkan dan siap digunakan kapan saja, dan 2.922 masih disimpan.

Bukan itu saja. Sepuluh kapal selam Angkatan Laut AS yang dipersenjatai dengan rudal nuklir saat ini terus berpatroli di laut. Tentu saja ini fakta yang cukup mengkhawatirkan, mengingat sejak era pemerintahan Presiden Barrack Obama, AS telah mengerahkan 60 persen pesawat tempurnya di atas perairan Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan saat ini merupakan hot spot antara kekuatan angkatan bersenjata AS dan Cina.

AS juga saat ini punya UGM-133 Trident II – SLBM. Trident II merupakan SLBM yang sekarang terpasang di kapal selam milik Amerika Serikat dan Inggris. Rudal ini memasuki masa dinas sejak 1990 dan terus mengalami peningkatan kemampuan.

Trident bisa membawa 14 hulu ledak. Setelah melalui sejumlah perjanjian untuk mengurangi jumlah tersebut, rudal itu sekarang membawa 4 atau 5 hulu ledak ukuran 475 kt. Jangkauan maksimum rudal ini bergantung kepada beban hulu ledak dan berkisar antara 7.800 hingga 11.000 km.

Selain itu, AS juga punya LGM-30G Minuteman III – ICBM. rudal balistik antar benua (ICBM) AS yang berpangkalan di darat. Rudal ini pertama kali memasuki dinas pada 1970 dan dimaksudkan sebagai pengganti MX Peacekeeper.

Tapi program itu dibatalkan oleh Pentagon yang kemudian mengalihkan US$ 7 miliar untuk peningkatan 450 Minuteman yang sudah ada dalam satu dekade terakhir.

Dengan kecepatan luncur mendekati 8 km/detik dan CEP kurang dari 200 meter (walaupun angka pastinya dirahasiakan secara ketat), Minuteman masih menjadi senjata nuklir yang menakutkan.

Semula, rudal ini mengangkut 3 hulu ledak nuklir kekuatan rendah. Sekarang, suatu hulu ledak tunggal ukuran antara 300 hingga 475 kt dari program MX yang batal dipasangkan pada tiap rudal Minuteman.

Lantas apakah Cina sebagai pesaing AS di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara saat ini akan tinggal diam? Faktanya, Cina saat ini juga memiliki rudal jarak menengah. Yang mana menurut beberapa  ahli, 95% rudal Cina yang ada saat ini akan dipandang telah melanggar perjanjian INF jika Beijing terikat perjanjian itu.

Baca:  Ini 10 Senjata Nuklir ‘Paling Mematikan’ di Muka Bumi

Berikut gambaran sekilas kekuatan nuklir Cina. DF-5/5A – ICBM. Dong Feng 5 bisa dikatakan sebagai ICBM kecil. Bentuknya biasa saja dan sederhana, tapi mampu melakukan tugasnya dengan baik.

Rudal DF-5 memasuki dinas pada 1981 dan mengirim pesan kepada para calon musuh negeri itu bahwa China tidak akan menyerang duluan, tapi akan menghukum negara manapun yang menyerangnya duluan.

Rudal DF-5 memiliki CEP sekitar 1 km. Artinya, ia memiliki satu tugas untuk menghancurleburkan kota-kota. Dilihat dari ukuran hulu ledak, CEP, dan lama pengisian bahan bakar serta persiapan selama sekitar 1 jam, senjata itu dimaksudkan untuk membalas siapapun yang berpotensi sebagai musuh.

Berikutnya adalah, DF-31/31A – ICBM. Dong Feng 31 adalah rudal balistik yang bisa dibawa bergerak ataupun dipasang pada silo. Rudal ini memasuki masa dinas pada 2006.

Model awalnya membawa hulu ledak 1 megaton dengan jarak jangkauan 8 ribu km dan CEP dilaporkan sebesar 300 meter.

Model yang ditingkatkan, 31A, memiliki 3 hulu ledak ukuran 150 kt dan mampu menghujamkan hulu ledak pada sasaran berjarak lebih dari 11 ribu km dengan CEP dilaporkan sekitar 150 m.

Pada intinya, baik AS maupun Cina pasca batalnya perjanjian INF 1987, pada kenyataannya telah  meningkatkan proliferasi persenjataan nuklirnya pada tingkatan maksimum, tanpa harus terikat dengan perjanjian senjata nuklir jarak menengah (INF).

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com