Pelajaran dari Ukraina: Si Vis Pacem, Para Bellum

Bagikan artikel ini

“Bila Anda mendambakan kedamaian, bersiaplah untuk perang,” itu makna istilah latin di atas,
sang Jenderal sepuh tampak bersemangat menjelaskan ungkapan yg terkesan ambigu tersebut. “Mengapa Anda tanya ‘si vis pacem para bellum’, dari mana Anda baca?” tanya Pak Purbo Suwondo (almarhum), sang Jendral pemikir, Danjen Akabri era 1970-an itu.

“Saya baca saja Pak, dari buku yang ditulis kalangan ABRI; orang sipil juga mau tahu kesigapan pemikiran dan tindak para bhayangkari negara kita.” Beliau akhirnya paham dan tampak sumringah ketika tahu bahwa kami para mahasiswa tahun 80’an —kaum sipil— mesti lulus mata kuliah Kewiraan, termasuk meresapi hakikat Sishankamrata dalam bangsa kita.

Di Ukraina, kedamaian sedang sangat mahal harganya. Keluarga-keluarga mesti ngungsi, bahkan tercerai-berai. Korban sipil bergelimpangan. Orang tua mati, anak-anak mati. Berbondong rakyat di sana mendaftarkan diri, dibagi senjata dan bom molotov untuk melawan invasi Rusia. Di saat suatu bangsa sedang mengalami invasi militer, patutlah kita memikirkan implikasi dan pelajaran bagi bangsa Indonesia. Invasi militer ternyata kian jelas masih sangat mungkin di zaman kita ini.

Memangnya, apa sich ancaman riil bagi Indonesia? Bagi bangsa yang sudah lama tidak merasakan perang, pertanyaan begitu mungkin tak menarik, cenderung ditanggapi berbedabeda, jangan harap ada kesimpulan apalagi kesepakatan. Mungkin, orang baru sepakat setelah invasi itu benar-benar terjadi. Tengoklah di Ukraina yang kini rakyatnya sibuk melawan danpemerintahnya menyerukan mobilisasi umum. Presiden Ukraina sesungguhnya sudah diingatkan oleh Pentagon sejak akhir Januari 2022 akan segera terjadinya invasi Rusia, tetapi ia memandang tidak perlu mobilisasi umum, atau mengungsikan rakyat, bahkan menilai media barat terlalu melebih-lebihkan ancaman dimaksud. Orang memang cenderung tidak nyaman membicarakan suatu kemungkinan buruk.

Karena itukah, ketika beberapa waktu lalu mantan Kabais, Letjen (Pur) Yayat Sudrajad mengingatkan untuk mewaspadai potensi ancaman pada kedaulatan bangsa dari investasi Cina di Indonesia, tidak cukup juga mendapat perhatian kita? Dalam sebuah persidangan di hadapan majelis hakim (10 Januari 2022), mantan Atase Pertahanan RI di Beijing (2006-2009) menyatakan bahwa modus kerjasama investasi Cina di sejumlah negara diawali dengan kerjasama pembangunan infrastruktur, dalam realisasinya diikuti aliran pengiriman tenaga kerja Cina yang ditengarai adalah personil militer yang terlatih. Sebelumnya, dalam forum resmi DPR dengan Menkunham, keprihatinan tentang arus masuknya TKA Cina pernah dipersoalkan (Agustus, 2021). Sejumlah analis percaya bahwa perjanjian kerja sama investasi dimaksud (skema Belt Road Initiatives, BRI) dapat memuluskan keterlibatan militer Cina. Sebuah riset atas proyek-proyek BRI di Afrika menyimpulkan demikian (Natalie H, Washington Post, April 2021).

Buat apa repot-repot mikir, kan ada TNI yang selalu siap sedia mempertahankan kedaulatan negeri ini? Segala potensi bahaya dan ancaman pastilah sudah dipantau, dipetakan hingga disikapi dengan tanggap oleh TNI. Mungkin banyak kita berpikir demikian. Tentulah sudah ada seperangkat indikator dan matriks yang digunakan di berbagai tingkatan pusat kendali wilayah TNI, dalam merumuskan berbagai langkah yang tepat untuk itu. Rakyat besar hati dan berharap pada segenap bhayangkari negara kita itu. Tetapi, siapa yang tahu realitas sesungguhnya?

Betapapun rapih dan sistematiknya suatu sistem yang digunakan orang –termasuk di kalangan militer— masih ada kerentanan, khususnya pada faktor manusianya. Itu terjadi, misalnya, di Pearl Harbor, 7 Desember 1941. Dua komandan AL dan AD untuk Hawaii —Laksamana Kimmel dan Jendral Short— yang di awal tahun 1941 baru ditugaskan, nyatanya tidak siap. Padahal keduanya sudah banyak menerima peringatan dari Washington (dari Komandan tertinggi AL dan AD) bahwa perang sangat mungkin segera terjadi berupa serangan mendadak dengan “serangan bom udara” atau “serangan torpedo udara”.

Strategic surprise itu boleh jadi akibat komunikasi vertikal dan horizontal yang buruk, seperti dibahas
banyak buku tentang Pearl Harbor. Tetapi, lebih dalam dari itu, mungkin juga terletak pada problem psikologis manusianya. Strategic surprise terjadi akibat orang meremehkan alias tidak tanggap pada weak signals atau tanda-tanda lemah yang memang biasanya tidak jelas ketika muncul atau sumir. Tetapi, tanda itu akan menguat bahkan mengejutkan karena terjadi lebih cepat, begitulah pendapat Igor Ansoff (1975), yang sering disebut sebagai bapak strategi modern.

Sistem informasi di lingkungan militer yang andal sangat mungkin mampu menjaring berbagai weak signals yang dimaksud pakar strategi berkebangsaan Rusia itu. Masalahnya, ketika tanda-tanda lemah ancaman itu muncul, menurut Ansoff, mesti melalui 3 saringan (informasi, mentalitas dan power). Faktor manusia —person in charged— pada 2 saringan terakhir, khususnya mentalitas, itulah yang dapat membawa bencana bila lemah. Keputusan yang dibuat terdistorsi berbagai kendala psikologis (decision making pitfalls: availablity bias, framing error dan lain sebagainya). Kendala semacam ini perlu diwaspadai, cenderung terjadi di masyarakat berbudaya high context (Hall, 1959) seperti Indonesia. Bagi kita di Indonesia, tidak perlu khawatir bila bhayangkari negara benar-benar mengamalkan pesan Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan jati dirinya sebagai prajurit.

Di negeri tetangga kita, seorang negarawan tua turun gunung menyelamatkan bangsanya dari ancaman bahaya investasi Cina. Mahathir berhasil menghimpun solidaritas rakyat Malaysia, mereka berusaha pulang ke tanah airnya untuk memenangkan Pemilu. Mahathir menang! Ia mampu merenegosiasi perjanjian-perjanjian kerjasama dengan Cina, sebelum riil berubah jadi ancaman kedaulatan. Terpulang pada kita di Indonesia, bagaimana menerjemahkan arti “siap berperang”.

Kedamaian tidak lantas ada bila hanya kita yang ingin damai. Meskipun bangsa lainnya juga lebih pilih damai, mereka dapat tergoda mengajak bahkan memaksa kita mengikuti caranya atau patuh pada petunjuknya bila melihat kita lemah. Dalam perspektif hubungan internasional, penyakit psikologis etnosentris itu biasa hinggap pada bangsa dengan skala besar atau berlebihan meyakini riwayat keunggulan dalam sejarahnya. Penyakit gde rumongso itu mungkin baru surut atau berhenti bila dilihatnya bangsa lain itu secara lahir-batin kuat, termasuk siap berperang kapanpun ada gangguan. Jadi, ungkapan latin yang sudah berumur 1500-an tahun di atas jelas arahnya; tidak ada yang ambigu.

Darwin Zahedy Saleh – Ekonom yang pernah menjabat sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia 2009-2011

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com