Pada 26 November 2019 lalu, Presiden Joko Widodo menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Korea Selatan yang berlangsung di di Busan Exhibition Convention Center (BEXCO). Sebagaimana dinyatakan oleh Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, bahwa “kerja sama dan solidaritas” antara Korea Selatan dan ASEAN untuk mengatasi bersama berbagai tantangan, termasuk proteksionisme, kejahatan transnasional, dan menghadapi revolusi industri 4.0.
Seiring dengan pernyataan Presiden Korea Selatan itu, Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, dalam KTT ASEAN-Korea Selatan tersebut Presiden Joko Widodo akan membahas kerja sama ASEAN-Korsel untuk proyeksi 30 tahun mendatang, termasuk kerja sama dalam bidang konektivitas dan upaya menjaga stabilitas kawasan.
Nah di sinilah aspek krusial yang nampaknya perlu jadi fokus perhatian Kementerian Luar Negeri RI maupun kantor kepresidenan. Sebab agenda menjaga stabilitas kawasan, di tengah semakin memanasnya persaingan global AS versus Cina, berarti harus mensyaratkan sikap independen politik luar negeri Korsel di hadapan kedua negara adikuasa yang sedang berupaya merebut kawasan Asia-Pasifik sebagai ruang hidup baru. Salah satu isu krusial adalah pemasangan dan penempatan Sistem Pertahanan anti-rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) oleh Amerika Serikat di Korea Selatan.
Baca: Sikap Tidak Flexible AS Terkait THAAD, Pemicu Gagalnya Kesepakatan Damai Trump-Kim Jong un
Mengapa ASEAN harus mendesak Korsel agar bersikap independen terhadap persaingan global AS versus Cina di Semenanjung Korea? Sebagai sekutu strategis Korea Utara sejak berakhirya Perang Dunia II, Cina sangat khawatir dengan pemasangan dan penempatan THAAD di Korea Selatan. Bukan soal karena THAAD mengancam kedaulatan dan integritas territorial Korea Utara, melainkan karena THAAD sejeatinya dimaksudkan AS untuk menetralisir kekuatan angkatan bersenjata Cina, khususnya di wilayah perbatasan Korea-Cina.
Sekadar kilas balik pada pertemuan antara Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un pada akhir Februari lalu, kedua kepala negara telah gagal mencapai kesepkatan dalam bidang denuklirisasi. Pihak Korea Utara menyalahkan sikap Amerika Serikat yang menyebabkan gagalnya kesepakatan. Memang ketika itu Korea Utara berdalih bahwa penyebab kegagalan adalah ketika Kim mengajukan proposal penghancuran fasilitas nuklirnya di Yongbyon, dengan imbalan pihak AS mencabut sanksi ekonomi yang dianggap merugikan rakyat Korea Utara.
Padahal penyebab sesungguhnya ya itu tadi. pemerintah Cina yang menentang pemasangan dan penempatan Sistem Pertahanan anti-rudal Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) oleh Amerika Serikat di Korea Selatan, nampaknya penyebab utama di balik gagalnya kesepakatan Trump-Jong un.
Adapun salah satu isu krusial di balik pemasangan THAAD di Korsel adalah adalah tentang isu senjata bermuatan nuklir yang terkandung dalam sistem pertahanan antirudal THAAD tersebut. Selain itu, Cina sangat menentang penempatan THAAD karena kemampuan THAAD dalam mencegat dan mengantisipasi serangan rudal dari pihak musuh. Yang pastinya manuver militer AS memasang THAAD ditujukan untuk menghadapi Cina, bukannya Korea Utara.
Sebagai sistem pertahanan anti rudal yang sangat mumpuni untuk mendukung kinerjanya dalam mengantisipasi dan mengcegat serangan rudal dari pihak musuh, THAAD juga dilengkapi dengan radar yang mumpuni dan yang berkemampuan terbaik yaitu Army/Navy Transportable Radar Surveillance (AN/TPY-2).
Satu lagi keunggulan radar jenis ini yang melekat dalam sistem pertahanan anti rudal THAAD itu? Kapasitas THAAD yang dilengkapi rada Army/Navy Transportable Radar Surveillance inilah yang nampaknya mengundang kegusaran dan kekhawatiran pemerintah Republik Rakyat Cina. Dengan kata lain, kapasitas THAAD yang dilengkapi Army/Navy Transportable Radar Surveillance, mampu mendeteksi dan memonitor manuver militer Cina di wilayah perbatasan antara Cina dan Korea.
Sehingga angkatan bersenjata AS di Asia Pasifik mampu mengetahui ancaman jarak jauh dan dapat memberikan solusi perlindungan dari ancaman tersebut.
Indonesia dan ASEAN selain perlu mendesak Korsel agar menempuh politik luar negeri yang independen di tengah semakin menajamnya konflik global AS-Cina di Semenanjung Korea, juga perlu merujuk pada Seminar terbatas GFI yang diselenggarakan pada 15 Oktober 2019 lalu. Yang mengangkat tema seminar: Telaah Strategis dan Kritis tentang Konsepsi Indo-Pasifik di tengah Semakin Menajamnya Persaingan Global AS versus Cina(Perspektif Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif).
Baca: EXECUTIVE SUMMARY SEMINAR TERBATAS GLOBAL FUTURE INSTITUTE (GFI) 15 OKTOBER 2019
Beberapa Simpul-Simpul Pemikiran yang Mengemuka pada forum Seminar antara lain: Para narasumber maupun peserta aktif seminar bersepakat bahwa dalam konsepsi Indo-Pasifik versi Amerika Serikat yang bernama The Indo-Pacific Strategy Report yang dirilis oleh Presiden AS Donald Trump pada 2017 lalu, pada hakekatnya merupakan konsepsi yang dibuat berdasarkan kepentingan negara-negara adikuasa, dalam hal ini, AS dan sekutu-sekutunya, sebagai pesaing Cina. Agar tetap bisa mempertahankan hegemoninya di kawasan Asia Pasifik. Seraya memancing kembali munculnya Perang Dingin Jilid 2.
Dengan demikian, terminologi Indo-Pasifik yang seakan-akan dimaksudkan untuk menggantikan penyebutan Asia-Pasifik yang selama ini lazim digunakan, pada hakekatnya mencerminkan semakin menajanmnya persaingan global antara AS versus Cina di kawasan Asia-Pasifik.
Menyadari kenyataan semakin menajamnya persaingan global AS versus Cina di Asia Pasifik, maka konsepsi Indo-Pasifik bukan sebatas upaya negara-negara adikuasa untuk menguasai Asia-Pasifik sebagai ruang hidup baru, melainkan juga berpotensi besar untuk menyeret negara-negara berkembang di kawasan ini, termasuk Indonesia. Sehingga masuk dalam orbit pengaruh negara-negara adikuasa yang berkepentingan terhadap konsepsi Indo-Pasifik. Yaitu AS, Australia, Jepang dan India.
Maka konsepsi Indo-Pasifik versi AS tersebut pada perkembangan akan diperluas lingkupnya untuk melayani kepentingan militer AS di kawasan ini. Hal itu bisa kita lihat dari perubahan nomenklatur dari USPASCOM menjadi INDOPASCOM. Selain itu, seiring dengan dicanangkannya konsepsi Indo-Pasifik, kemudian dibentuk pakta pertahanan empat negara (QUAD) yang melibatkan AS, Australia, Jepang dan India.
Dalam kerangka pemikiran dan pandangan tersebut di atas, maka KTT ASEAN-KORSEL tidak boleh memandang ringan masalah pemasangan sistem pertahanan antirudal THAAD di Korsel. Sebab begitu Korsel terseret dalam orbit AS dan sekutu-sekutunya dalam konflik global menghadapi Cina, maka upaya Indonesia dan ASEAN untuk menciptakan kawasan Asia-Pasifik yang stabili, damai dan aman, pada perkembangannya akan mengalami hambatan yang cukup serius.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute.