Pembajakan Pesawat 9/11 2001 Bisa Ditelisik Kembali Saat Booming Penerbangan Era 1970-2000an Awal

Bagikan artikel ini

Vincent Herdison, Aviation Expert & ADS-B Practitioner di Indonesia.

9 September 2001 lalu, genap 20 tahun tragedi aksi terorisme terhadap Gedung World Trade Center dan Gedung Pentagon. Beragam teori mulai dari sudut pandang politik-keamanan, kemampuan komunitas intelijen dalam mendeteksi adanya ancaman aksi terorisme, maupun analisis seputar jejaring internasional yang disinyalir terlihat dalam aksi pembajakan pesawat tersebut. 

Namun kali ini, staf redaksi The Global Review Kori Soenarko mengadakan perbincangan dengan seorang pakar penerbangan, Vincent Herdison, dan mencoba melihat dari sisi yang selama ini hanya disinggung sekilas dan sambil lalu. Yaitu rentannya sistem dan regulasi penerbangan itu sendiri sejak penerbangan Era 1970-2000an mengalam masa-masa booming.  Meski obrolan kali ini  baru menyinggung kulit luarnya, namun konsep yang disampaikan Pak Vincent  yaitu Swiss Cheese Model, kiranya menarik untuk dieskplorasi lebih mendalam pada  bahasan kali selanjutnya. 

Berikut obrolan selengkapnya (22/09): 

Pak Vincent, apa kabar? Semoga Pak Vincent & keluarga sehat selalu dan selalu dalam perlindungan Tuhan.

Puji Tuhan, semua baik. Meskipun dimasa pandemi ini kita semua juga terdampak.

Mumpung bulan September belum berlalu ya pak, saya ingin mengajak Pak Vincent selaku Pengamat Penerbangan, untuk  membahas mengenai kejadian aksi pengeboman di gedung WTC dan Pentagon pada 11 September 2001 lalu. Hal yang ingin kita bahas adalah lebih terkait mengenai pembajakan pesawat. Kenapa otoritas keamanan nasional AS bisa kecolongan?

Secara umum dan mendasar, dahulu sudah pernah saya coba telaah berdasar berbagai data dari berbagai sumber yang bisa saya dapatkan terkait sisi dunia penerbangannya. Dalam dunia penerbangan, manakala terjadi sebuah musibah, biasanya dilihat dengan sudut pandang Swiss Cheese Model.Supaya sama-sama paham, saya bantu jelaskan sedikit.

Secara mendasar Swiss Cheese Model, bisa  kita analogikan dengan  keju swiss yang dibelah tipis-tipis dan berlubang lantas  dibuat lapisan secara acak dari sisi lubang-lubang yang ada.
Pada setiap lubang yang ada merupakan sebuah celah yang menjadi probabilitas terjadinya musibah. Jika ada lubang yang bisa ditembus dari satu sisi ke sisi yang lain maka dapat dianggap sebuah hal yang dianggap memiliki titik-lemah sehingga  musibah boleh dibilang sudah di depan mata.
Swiss Cheese Model  ini lebih kepada hal terkait analisa manajemen, manusia, prosedur, regulasi, hal teknis nyata hingga faktor-faktor lain yang menjadi masalah potensial.

Wah sepertinya menarik ini. Tapi bagaimana menjelaskan kaitan langsung teori bapak ini dalam kasus aksi terorisme 9/11?

Nah mungkin tidak bisa diterapkan atau dipolakan 100 persen bahwa urusan pembajakan pesawat ini dapat disamakan dengan sebuah kejadian murni musibah penerbangan, dibanding dengan musibah kasus kejadian pembajakan pesawat.
Tetapi hal menariknya adalah setiap ‘lapisan keju swiss’ ini jika ditelaah lebih lanjut bagian berlubangnya adalah sebuah kelemahan dari satu sistem yang terlihat maupun tak terlihat.Berkaca pada kejadian 911 di Amerika tersebut, ada 4 pesawat yang mengalami pembajakan.
Pembajakan ini melibatkan maskapai yang berbeda, berangkat dari bandara berbeda dan dengan destinasi yang berbeda.

 

Bisa bapak gambarkan lebih spesifik?

Dua pesawat menyasar gedung WTC, satu pesawat menyasar ke gedung Pentagon, satu pesawat jatuh sebelum dapat menyasar gedung yang lain dan diduga kuat adalah mencoba menyasar ke Washington DC. Secara sepintas, peristiwa pembajakan itu dilakukan serentak dengan waktu yang hampir mirip atau bersamaan. Kita mungkin melihatnya sebagai tindakan yang sudah dirancang dengan rapi dan matang.

Tentunya oleh pihak-pihak tersebut tindakan ini di direncanakan  dengan rapi, matang dengan mengamati serta melihat faktor-faktor yang dilihat sebagai suatu kelemahan yang dapat diterobos dan dijadikan sebagai gerbang masuk untuk dimulainya suatu maksud tertentu.

Kalau berkaca pada sebuah kata ‘kecolongan’, maka kita harus tarik mundur dahulu apa yang terjadi pada dunia penerbangan di Amerika dan dunia pada umumnya ketika itu?
Boomingnya era penerbangan pada masa sekitar 1970-2000an awal, membuat orang dengan mudah berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dengan harga yang cukup terjangkau.
Atmosfer yang diberikan kepada calon penumpang adalah sesuatu yang nyaman, tidak ribet, mudah diakses.

Memang pada saat itu penerbangan sudah memiliki regulasi atau aturan terkait pemeriksaan penumpang, barang dan lain-lain. Akan tetapi jika ditilik dan dibandingkan dengan kondisi sekarang ini maka regulasi tersebut dirasa cukup longgar pada sisi pemeriksaan-pemeriksaan serta pelaksanaan yang harus dilakukan.

Maksud bapak regulasi saat ibu cukup longgar dalam arti  tidak ketat?

Perlu diingat juga bahwa sisi bandara ini merupakan ‘saringan pertama’ dari sisi keselamatan penerbangan dimana calon penumpang komersial umumnya mengakses pesawat dari  sebuah bandara. Kemudian  melihat  pada sisi penerbangannya itu sendiri, dengan dalih memperkenalkan dunia penerbangan kepada penumpang. Orang atau penumpang boleh minta ijin dan masuk ke dalam cockpit pesawat saat di dalam sebuah penerbangan jika ingin melihat aktifitas pilot. Belum lagi sistem keamanan akses ke cockpit yang saat itu dirasa tidak sebaik masa kini.

Antisipasi dunia penerbangan setelah peristiwa 9/11 tersebut membawa beberapa dampak pada regulasi di dunia penerbangan, lebih ketatnya pemeriksaan penumpang di bandara, barang yang dibawa, akses publik ke sisi  dalam bandara, selama penerbangan juga dilarang masuk ke cockpit, hingga juga pintu cockpit bagi pesawat komersial yang wajib diganti dengan sistem pengamanan dan penguncian yang lebih kuat, dan juga tahan peluru.

Sekedar informasi, penggantian pintu cockpit dengan yang lebih kuat ini dikenakan harga per satu pintu nya pada masa awal tahun 2000an harganya cukup fantastis dengan biaya yang dapat mendekati satu milyar rupiah hanya untuk urusan penggantian pintu cockpit yang lebih kuat. Itu secara umum merupakan  hal-hal yang menjadi perubahan dalam regulasi penerbangan setelah masa 911 di  atas.
Timbul pula istilah ‘Sterile Cockpit’ yang dimaksudkan untuk mengisolasi cockpit dari aktifitas dan akses yang tidak diperlukan dari sisi operasional di cockpit.

Tindakan apa yang dilakukan para awak pesawat untuk menenangkan penumpang saat pesawat  dibajak? Apalagi jika para awak pesawat sudah dalam keadaan di bawah tekanan para pelaku kejahatan itu? Karena biasanya, pada saat para awak pesawat diberikan pelatihan, cenderung berbeda situasinya pada saat pembajakan pesawat itu terjadi, khususnya ketika timbul kepanikan?

Semua awak pesawat (baik awak cockpit maupun awak kabin) sudah mendapatkan pelatihan bagaimana menghadapi hal-hal semacam itu. Umumnya yang banyak berhubungan langsung dengan penumpang adalah cabin crew (awak kabin).
Kita coba persempit ruang lingkup dahulu bahwa probabilitas pembajaknya adalah pihak ketiga diluar awak pesawat. Perlu dipahami, terkadang situasi pada kondisi pembajakan dapat berbeda-beda. Sering kali awak kabin juga tersudut posisinya. Mereka tidak dapat menggunakan public address system (sistem untuk memberikan informasi di kabin kepada penumpang atau menenangkan penumpang.  Tidak banyak yang bisa dilakukan.
Tetapi jika awak kabin tidak diikat atau semacamnya, jika para pembajak lengah maka para awak kabin dapat berusaha melakukan kegiatan defensif sesuai pelatihan untuk mengambil-alih posisi penguasaan situasi. Sekali lagi jika memungkinkan lho ya, karena tindakan apapun juga dapat berubah 180 derajat sehingga malah justru bisa membahayakan seluruh pesawat.

Lantas bagaimana  dengan pilot saat kondisi semacam itu?
Pilot umumnya saat situasi kondisi tersebut dapat mengubah transponder pesawat ke squawk number 7500 sebagai pengenal identitas pesawat yang sedang mengalami kondisi pembajakan. Status squawk number 7500 ini diterima dan terlihat oleh radar dari pihak Air Traffic Controller yang sedang melayani navigasi pesawat tersebut.

Tetapi kadang pembajak pesawat juga belajar dari hal semacam ini, dan berusaha sebisa mungkin masuk ke cockpit dengan berbagai macam cara dan ancaman agar dapat menguasai kendali pesawat dan situasi pesawat.

Awak pesawat kadang hanya bisa melakukan negosiasi dan mengulur waktu sebisa mungkin dengan pihak para pembajak dan mendarat di suatu lokasi dengan bantuan penanganan untuk menangani pembajak tersebut.

Awak pesawat seringkali diperhadapkan pada keputusan sulit dan dilematis, karena urusannya adalah adanya banyak nyawa lain selain dirinya yang menjadi tanggung jawabnya.
Bahkan jika pesawat sampai jatuh pun (karena tidak terkontrol disebabkan pembajakan), Pilot juga berpikir keras apakah pesawat akan jatuh di pemukiman atau tidak.

Beberapa waktu silam, yaitu 29 Maret 1981 di dalam negeri kita juga pernah mengalami pembajakan pesawat, yaitu pesawat dengan nomor penerbangan GA 206 itu dibajak di udara antara Palembang-Medan. pilot bernama Kapten Herman Rante dan anggota pasukan bernama Achmad Kirang menjadi korban tewas dalam operasi tersebut. Upaya penyelamatan dilakukan oleh Komando Pasukan Sandi Yudha (Koppasandha) pimpinan Letkol Infanteri Sintong Panjaitan, kini bernama Komando Pasukan Khusus.Tentunya peristiwa yg telah lampau itu masih meninggalkan trauma, atau boleh dikatakan membuat parno alias paranoid untuk naik pesawat terbang.

Nah, terkait hal itu, antisipasi pengamanan seperti apa yg sudah dilakukan dan apakah ada program-program khusus untuk menghindari insiden pembajakan pesawat?

Terkait peristiwa pembajakan pesawat Garuda Indonesia GA 206, atau dikenal juga dengan Peristiwa Woyla. Sedikit menengok di pembicaraan kita sebelumnya bahwa ada celah pada sisi keamanan pemeriksaan di bandara plus sedang era booming penerbangan dengan mesin jet di era itu. Hal ini membuat semua terasa dimudahkan untuk penumpang dengan barangnya masuk ke pesawat tanpa pengontrolan atau pemeriksaan yang berarti.

Nah bagaimana antisipasinya untuk keamanan saat ini?
Regulasi baru terkait screening penumpang dan pemeriksaan barang bawaan penumpang sudah dirancangkan dan dijalankan. Pelarangan membawa benda masuk ke kabin yang dapat membahayakan penerbangan sudah dilaksanakan.
Pihak Avsec (Aviation Security) di bandara, juga dibekali oleh kewaspadaan untuk mengamati gesture dan pengenalan psikologis calon penumpang terkait hal-hal yang dianggap mencurigakan atau janggal.

Bagi para penumpang serta awak pesawat yang selamat dalam kasus pembajakan pesawat, apakah ada penggantian kerugian moril dan materiil dari pihak penerbangan? Terkait penanganan khsusus apa yang dilakukan untuk menghilangkan trauma pada mereka yang mengalami kejadian tersebut?

Memang tak menutup kemungkinan bahwa peristiwa tidak mengenakkan yang dialami bakal menyebabkan trauma panjang bagi yang mengalaminya. Hal pembajakan pesawat saat ini adalah probabilitas yang bisa dikatakan jarang terjadi (meskipun segala kemungkinan juga masih ada).

Seperti laiknya musibah dalam penerbangan, terkait urusan kerugian moril maupun materiil umumnya diberikan kepada penumpang.
Sepanjang yang saya tahu, sering kali maskapai sengaja mengeluarkan sejumlah dana khusus dengan nominal tertentu bagi para penumpang yang mengalami musibah tertentu sebagai partisipasi rasa kemanusiaan,, padahal sebetulnya juga hal tersebut mungkin sudah ditanggung oleh pihak asuransi. Saat ini, para penumpang umumnya sudah dijaminkan ke pihak asuransi terkait kerugian yang berlaku dengan klausul-klausul yang mengikat dan tercakup dalam suatu kondisi.

Kemudian terkait penanganan psikologis atau trauma, biasanya ada sesi-sesi khusus yang dapat diikuti dan disediakan oleh maskapai bagi para penumpang yang memerlukannya.

Sebuah paku yang dipukul dengan palu ke sebuah papan, maka paku akan menancap kuat.
Dan saat paku tersebut dicabut maka akan tersisa lubang bekas paku tersebut.
Sebuah traumatis kejadian dapat dianalogikan seperti itu, peristiwanya sudah berlalu, tetapi bekasnya masih ada. Terkadang melalui berbagai sesi konseling via psikolog pun tidak bisa 100 persen menghilangkan suatu trauma atas sebuah peristiwa.

Perlu diingat juga, dalam sebuah asumsi kejadian pembajakan pesawat salah satunya juga disebabkan oleh lolosnya sisi keamanan dan lemahnya filtering di bandara, sehingga si pembajak dapat naik ke pesawat dengan barang yang dibawa dan mengancam keselamatan penerbangan. Tidak ada maskapai di dunia ini yang menginginkan hal tersebut terjadi dalam sebuah penerbangan maskapainya.

Kesimpulannya adalah, seluruh aspek keselamatan, regulasi, pelaksanaan pemeriksaan penumpang dan awak pesawat hingga seluruh pekerja di bandara wajib dilaksanakan dengan maksimal demi menghindari sebuah kejadian yang tidak diharapkan seperti sebuah pembajakan pesawat.

Kita semua berharap dan berdoa negeri kita aman, damai sejahtera dan selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga hal-hal buruk apalagi kasus pembajakan pesawat tidak lagi dialami. Itu harapan kita semua ya pak.

Amin, kita selalu berharap dunia penerbangan yang aman, jauh dari musibah dan peristiwa yang tidak mengenakkan.  Selain itu harapan besar bahwa dunia penerbangan Indonesia juga segera pulih dari imbas pandemi serta pemerintah juga memberikan regulasi yang mendukung untuk membangkitkan dunia penerbangan kembali.

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com