Pembebasan Al-Aqsa dari Cengkraman Israel, Sebuah Keniscayaan

Bagikan artikel ini

M. Asyief Khasan Budiman, Departemen Kajian Internasional Pengurus Besar HMI

Al-Aqsa atau biasa disebut Haram Al-Syarif merupakan sebuah masjid yang terletak di kota Jerusalem (Al-Quds). Kota ini disucikan oleh tiga agama abrahamik yakni Islam, Kristen, dan Yahudi. Keberadaan masjid ini merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari Jerusalem. Masjid Al-Aqsa bagi umat muslim merupakan bukti peninggalan perjalanan suci Nabi Muhammad SAW. Perjalanan yang dilakukan dari Masjidil Haram di Makkah (Hijaz) ke Masjid Al-Aqsa (Palestina) yang kemudian diangkat hingga ke Sidratil Muntaha (Al-‘Arsy). Pada perjalanan ini yang disebut perjalanan Isra Mi’raj, Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul Allah yang terakhir menerima perintah langsung dari Allah SWT untuk menjalankan shalat wajib lima waktu. Keberadaan Al-Aqsa di kota inilah yang menjadikan Jerusalem sebagai kota suci ketiga setelah Makkah dan Madinah bagi umat muslim seluruh dunia. Sehingga keberadaan masjid ini harus dipertahankan sesuai fungsinya sebagai tempat peribadatan umat muslim dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kota Jerusalem.

Menelisik sejarah Haram Al-Syarief

Masjid ini diriwayatkan dibangun sebagai masjid ke-dua di dunia setelah dibangunnya Masjidil Haram. Beberapa ‘ulama menyebut pembangunan masjid ini pertama kali oleh para malaikat yang diperintah langsung oleh Allah SWT, namun ada pula yang menyebut dibangun oleh Nabi Adam AS, dan ada juga yang menyebut dibangun oleh Nabi Ibrahim AS. Namun, secara fisik bangunan (fisik masjid) menurut catatan sejarah pertama kali dibangun oleh Khalifah ‘Umar bin Khattab yang membebaskan kota Jerusalem secara damai. ‘Umar membangunnya di atas sebuah kompleks di atas bukit yang disebut kompleks Al-Aqsa. Kompleks ini diyakini pada malam Isra Mi’raj Rasulullah SAW dijadikan sebagai tempat untuk shalat sebelum naik ke Al-‘Arsy. ‘Umar membangun masjid Al-Aqsa tepat di sebelah selatan As-Shakhra (Dome of Rock) –saat ‘Umar membangunnya belum dibuatkan kubah seperti sekarang- yang berisikan sebuah batu besar. Batu inilah yang digunakan oleh Rasulullah SAW untuk dijadikan sebagai pijakan sesaat sebelum menaiki kendaraan buraq untuk naik ke Al-‘Arsy bersama malaikat Jibril.

Dinamika zaman pasca kekhalifahan ‘Umar ini masjid masih terawat dan dikelola secara baik walaupun beberapa kali rusak akibat adanya gempa bumi. Namun khalifah-khalifah pada pemerintahan Umayyah, Abassiyah dan Fathimiyah masih merawatnya dengan baik. hingga pasukan salib merebut kota Jerusalem pada tahun 1099 M. Pada periode perang salib I ini pasukan salib mengubah masjid ini untuk digunakan sebagai istana dan sebagian kompleks Al-Aqsa digunakan sebagai kandang kuda.Pada tahun 1119 M masjid ini mengalami perluasan di serambi utara dan digunakan sebagai markas tentara Templar.

Pada tahun 1187 M seorang panglima muda, Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mengembalikan kota Jerusalem dan memberikan perbaikan-perbaikan pada masjid ini. Shalahuddin memberikan perbaikan-perbaikan atas dasar keinginannya bersama ummat Islam untuk mengembalikan masjid suci ini agar digunakan sebagaimana mestinya. Ia juga menambahkan mimbar Nuruddin yang merupakan peninggalan Sultan Nuruddin Zengi. Mimbar ini terbuat dari kayu dan gading dan memang dipersiapkan untuk ditambahkan di masjid ini.

Pasca pembebasan tersebut kota Jerusalem beserta Masjid Al-Aqsa terpelihara dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan rekonstruksi di beberapa bagian bangunan yang lapuk karena usia, penambahan ornamen-ornamen, dan juga penambahan beberapa monumen dan kubah di kompleks Al-Aqsa ini. Pada tahun 1922 yang merupakan masa periode modern masjid ini, Majelis Tinggi Islam Jerusalem memerintahkan untuk dilakukan restorasi pada masjid Al-Aqsa dan juga monumen-monumen di sekitarnya. Majelis ini memerintahkan seorang arsitek Turki yang dibantu oleh arsitek-arsitek Inggris, ahli-ahli dari Mesir dan pejabat-pejabat lokal untuk berpartisipasi pada restorasi masjid ini.

Quo vadis Jerusalem

Pasca perang dunia ke II, situasi kota Jerusalem masih belum stabil karena perang saudara yang berkecamuk dalam mandat atas kota ini. Pada tahun 1948 Israel mendeklarasikan kemerdekaannya dan kota Jerusalem mulai diakuisisi oleh Israel. Status proklamasi Israel tersebut secara Internasional mengalami status quo. Bahkan bisa dikatakan sebagai kedaulatan yang tidak sah. Pasalnya pada saat pembentukan negara Israel tersebut, otoritas wilayah dan kota Jerusalem masih di bawah otoritas PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa).

Kawasan yang dalam mandat Britain atas Palestina ini disebut sebagai kawasan Transyordan secara sepihak dideklarasikan sebagai Negara Israel. Hal ini mengakibatkan perang saudara tahun 1947-1948 untuk memperebutkan mandat tersebut. Pasca perang saudara tersebut bagian barat Jerusalem yang telah diduduki oleh Israel pun dideklarasikan sebagai Ibu kota Israel. Akibatnya, kota ini terpecah menjadi dua bagian, yakni bagian barat dan timur.

Bagian barat kota Jerusalem telah diklaim oleh Israel sebagai ibu kotanya. Pernyataan negara-negara di dunia yang merupakan anggota PBB mayoritas menolak hal tersebut, karena dianggap tidak sesuai dengan hukum Internasional. Sementara bagian timur Jerusalem (terutama bagian muslim yang terdapat Masjid Al-Aqsa di dalamnya) beserta sebagian kecil wilayah di sekitarnya masih bisa dipertahankan wilayahnya oleh Palestina. Sebagai otoritas pemerintahan pasca Transyordania – Mesir, Palestina mengacu pada faktor sejarah dan tetap menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota negara Palestina. Persoalah perebutan kota ini berlarut-larut hingga kini.

Pada tahun 1980 Israel memaksakan untuk disatukannya seluruh bagian Jerusalem. Israel menginisiasi untuk mengambil alih wilayah timur yang merupakan otoritas Palestina (termasuk di dalamnya masjid Al-Aqsa) untuk dijadikan wilayah Israel. Mediasi dan negosiasi terus dilakukan dari pihak-pihak yang terlibat termasuk Amerika Serikat. Dukungan dari negara-negara muslim pun terus dialirkan kepada pihak palestina untuk tetap mempertahankan Masjid Al-Aqsa tetap dalam pengurusan umat muslim.

Berbagai aksi penolakan yang berasal dari negara-negara muslim atas akuisisi tersebut tidak membuat Israel bergeming. Bahkan berbagai cara dilakukan oleh Israel untuk bisa merebut Jerusalem secara utuh. Cara-cara yang dilakukan bisa dengan mulai dari pendudukan secara militer, pendudukan dengan membangun pemukiman-pemukiman Yahudi di wilayah-wilayah Palestina, hingga tidak sedikit aksi kekerasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina.

REUTERS/Ammar Awad

Konflik Israel-Palestina terus berlangsung hingga hari ini. Setidaknya telah terjadi tiga kali gelombang “Intifadah” (Pembebasan) rakyat Palestina terhadap penjajahan Israel di negaranya ini. Terjadinya intifadah ini tidak lain ialah untuk mempertahankan kemerdekaan Palestina sekaligus gerakan untuk melindungi Al-Aqsa agar tetap berdiri kokoh. Ribuan jiwa baik dari militer maupun sipil (bahkan wanita dan anak-anak) direnggut dalam tiga gelomang intifadah ini. Perjuangan para mujahidin ini tentu menjadi salah satu permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM).

Jerusalem timur sebagai benteng terakhir pertahanan Al-Aqsa, baru-baru ini mulai tahun 2016 telah diinvasi oleh tentara-tentara Israel. Berbagai macam pembatasan ruang gerak warga Palestina dalam beraktivitas di masjid Al-Aqsa dilakukan oleh tentara-tentara Israel. Para penjaga dan pengurus masjid yang kesehariannya memberikan pelayanan terhadap para jama’ah yang datang pun dikekang ruang geraknya. Aktivitas-aktivitas transfer ilmu-ilmu keagamaan pun selalu diawasi oleh tentara-tentara Israel. Bahkan parahnya, terdapat waktu-waktu tertentu bagi para jama’ah untuk masuk ke dalam kompleks Al-Aqsa ini.

Organisasi-organisasi pembebasan Palestina seperti Hamas dan Fatah pun tidak bisa berbuat banyak pada agresi Israel kali ini. Mereka yang menjadi poros kekuatan Palestina ini seolah kekuatannya semakin melemah. Persoalan politik di internal Palestina sendiri pun menjadi titik lemah yang dimanfaatkan oleh Israel. Sehingga perlu kejelasan sikap dari internal perjuangan masyarakat Palestina sendiri dan juga sangat perlu dukungan dari dunia Internasional, terutama negara-negara muslim dunia. Jadi akan dikemanakan Jerusalem?

Pembebasan Al-Aqsa

Pembebasan masjid yang menjadi saksi sejarah sakral umat muslim ini sudah semestinya dilakukan. Pertemuan-pertemuan negara-negara muslim dunia yang digelar di berbagai negara telah kembali berhasil menaikkan isu pembebasan Al-Aqsa ini. Secara konsepnya pembebasan Al-Aqsa memang perlu dilakukan pembebasan terhadap Jerusalem sebagai satu bagian yang tak terpisahkan. Pembebasan ini memiliki konsekuensi logis untuk berhadap-hadapan kembali dengan Israel.

Secara politik Internasional Israel telah berhasil membujuk Amerika Serikat yang tadinya berposisi sebagai mediator menjadi mendukung penuh akuisisi Israel atas Jerusalem. Hal ini diperlihatkan oleh Amerika Serikat yang memindahkan kedutaan besar mereka ke Jerusalem. Selain itu, Amerika Serikat pun secara terang-terangan telah mengakui Jerusalem sebagai ibu kota negara Israel. Aksi ini pun dikecam oleh seluruh negara-negara muslim dan organisasi-organisasi muslim di seluruh dunia. Akhirnya negara-negara muslim ini melakukan pertemuan guna membahas permasalahan ini.

Kekhawatiran utama bila Israel dibiarkan bebas menjamah kompleks Al-Aqsa ini ialah akan terjadi perusakan dan penurunan fungsi masjid bukan lagi sebagai tempat ibadah. Selain itu juga Al-Aqsa juga merupakan simbol kesucian bagi umat muslim dunia. Kejatuhan Al-Aqsa ini merupakan tamparan keras bagi kewibawaan umat muslim. Oleh karena itu perlu adanya perjuangan pembebasan Al-Aqsa guna mengembalikan kewibawaan umat muslim di mata dunia.

Pada prosesnya perlu adanya langkah-langkah yang dilakukan guna berhasilnya agenda pembebasan ini. Politik pendudukan wilayah yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina telah menyebabkan penderitaan di berbagai sektor kehidupan rakyat Palestina. Penderitaan multi dimensi ini telah menyebabkan kemerosotan kesehatan, fasilitas-fasilitas penunjang, hingga sarana prasarana umum yang kian merosot. Setidaknya perlu adanya 10 agenda yang bisa diwacanakan dan digunakan sebagai salah satu masukan guna dirumuskan lebih lanjut nantinya. Hematnya berikut strategi untuk pembebasan palestina terdiri dari:

  1. Perlu adanya rekonsiliasi di internal pihak pejuang-pejuang Palestina guna mendapatkan rumah politik dan arah gerakan yang tepat dan efektif-efisien.
  2. Memperkuat basis Identitas kebangsaan sebagai arah perjuangan nasional rakyat Palestina. Selain itu pemuda-pemuda di dalam negeri Palestina pun perlu menghimpun kekuatan menjadi lebih terarah dengan ranah perjuangan itu.
  3. Menumbuhkan ekonomi kerakyatan di internal rakyat palestina agar bisa menjadi basis perekonomian yang kuat antar masyarakat.
  4. Memberikan pelayanan yang layak untuk wanita dan anak-anak palestina. Pelayanan dalam hal ini ialah pelayanan kesehatan dan juga pelayanan pendidikan.
  5. Palestina agar lebih giat lagi menguatkan jalur-jalur diplomasinya di luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan solidaritas antar negara pendukung Palestina, terutama negara-negara muslim di dunia.
  6. Pada era disrupsi seperti sekarang ini, perlu kiranya Palestina beserta negara-negara sahabatnya membuka peluang-peluang jalur diplomasi baru dengan pihak-pihak negara besar di dunia. Terutama mendesak negara-negara besar dunia untuk menyatakan sikapnya atas Palestina.
  7. Perlu adanya sebuah langkah-langkah taktis yang holistik mulai dari langkah sosial budaya, langkah politik, militer, hingga arus pergerakan masyarakat dengan visi kemerdekaan yang hakiki.
  8. Mendesak PBB untuk turut campur dalam urusan HAM, terutama pengadilan terhadap kejahatan-kejahatan Israel terhadap rakyat Palestina.
  9. Pembatasan ruang gerak aktivitas peribadatan di Al-Aqsa pada dasarnya pun termasuk pelanggaran terhadap HAM. Isu yang bisa dinaikkan ialah isu tentang HAM. Pada poin ini langkah yang dapat dilakukan ialah mendorong dunia Internasional melalui media-media kampanye untuk mengangkat isu HAM sebagai isu Palestina.
  10. Perlu dibuatkan sebuah konsorsium dunia yang fokus mengurus persoalan Palestina. Konsorsium ini dimaksudkan agar fokus pengawalan terhadap isu dan pencarian pendanaan terhadap diaspora Palestina bisa terdistribusikan dengan baik dan tepat sasaran.

Sepuluh strategi tersebut dapat dilakukan jika dan hanya jika negara-negara muslim dan para pendukungnya mampu bersatu dalam satu tujuan yang sama yakni pembebasan masjid Al-Aqsa. Pembebasan Al-Aqsa sebagai bagian tak terpisahkan dari pembebasan Jerusalem. Kemudian pembebasan Jerusalem dapat terwujud sebagai konsekuensi logis dari pembebasan Palestina secara keseluruhan. Maka pembebasan Palestina merupakan langkah yang nyata-nyata perlu dilakukan untuk membebaskan Al-Aqsa dari cengkeraman penjajahan Israel. [end]

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com