Pemberdayaan Politik Luar Negeri RI Berbasis Kepentingan Nasional Nyata dan Geopolitik

Bagikan artikel ini

(Tanggapan atas  Pidato Politik Luar Negeri RI Prabowo Subianto di depan peserta Indonesian Council on World Affairs, Senin 30 Juni 2014).

Pendahuluan

Senin malam lalu(30/06), calon presiden Prabowo Subianto berbicara di depan peserta forum diskusi yang digelar oleh Indonesian Council on World Affairs (ICWA), bertajuk Reaktualisasi Politik Luar Negeri dan Kepentingan Nasional RI. Acara itu sendiri tentu saja cukup menarik setidaknya berdasarkan tiga alasan. Pertama, dari dua calon presiden yang berlaga pada Pilres 2014 ternyata Prabowo Subianto yang secara khusus diundang dalam forum diskusi tersebut. Entah apa sebabnya.

Kedua, materi diskusi yang dipresentasikan oleh Prabowo, merupakan penajaman lebih lanjut dari paparannya terdahulu di forum debat Capres bertopik Ketahanan Nasional dan Politik Internasional, yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ketiga, kehadiran dari beberapa Duta Besar Negara Sahabat dan Tetangga, dalam forum ICWA tersebut. Seperti Tjerbe de Zwan (Belanda), Corinne Breuze (Perancis), Gurjit Singh (India), Liu Jianchau (Cina), Georg Witschel (Jerman), Federico Failitia (Italia), Chou Tai Young (Republic of Korea), Rafael Condede de Soro (Spanyol). Selain itu hadir juga Duta Besar dari Afrika Selatan, Polandia, Nigeria, Yordania, Sri Langka, Turki, Sudan, Korea Utara, Kuba, Kroasia, Laos, Zimbabwe, Romania, Singapura, Filipina, Jepang, Hungaria, Portugal, Meksiko, Finlandia, Argentina, dan Venezuela.

Adapun materi diskusi itu sendiri, Prabowo menggarisbawahi beberapa poin penting:

  1. Indonesia harus menjaga hubungan baik dengan negara-negara adidaya dan negara-negara tetangga.
  2. Hubungan Luar Negeri didukung penuh dengan kekuatan dalam negeri.
  3. Indonesia yang kuat akan jadi dasar bagi Asia Tenggara yang stabil dan damai.
  4. Piagam Dasar Ekonomi Berdiri di atas Kaki Sendiri, tidak tergantung dpada negara lain.
  5. Indonesia harus menjaga integritas territorial dan kemerdekaan bangsa. Inilah sejatinya kepnetingan nasional dasar kebijakan luar negeri RI.

Selain itu, dalam forum diskusi yang digelar ICWA atas prakarsa beberapa Duta Besar asing di Jakarta tersebut, juga mencatat beberapa poin penting terkait potensi kerawanan yang akan dihadapi Indonesia beberapa waktu ke depan.

  1. Indonesia menghadapi ledakan demografi 5 juta penduduk baru setiap tahunnya.
  2. Makarim Wibisono dalam kapasitas sebagai Ketua Dewan Penasehat ICWA, menggarisbawahi pentingnya kekuatan diplomasi luar negeri RI harus didukung oleh situasi yang stabil dan kekuatan ekonomi. Makarim juga menggarisbawahi urgensi dan pentingnya bagi Indonesia untuk berperan aktif dalam mengatasi konflik Laut Cina Selatan, konflik di kawasan Timur Tengah, dan Situasi HAM di Palestina.

Menyikapi beberapa isu yang mencuat sebagaimana kami sajikan di awal tulisan, Izinkanlah kami dari Global Future Institute (GFI), untuk mempertajam lebih lanjut  dalam suatu kerangka gagasan yang lebih terintegrasi di bawah tema Pemberdayaan Politik Luar Negeri RI.

Akar Masalah

  1. Indonesia belum memiliki  blue print atau cetak biru Kebijakan Luar Negeri yang secara imajinatif menjabarkan makna Politik Luar Negeri Indonesia yang Bebas dan Aktif sesuai dengan perkembangan konstalasi Global Saat ini, dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
  2. Ilmu dan wawasan geopolitik di republik tercinta ini terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga kita tidak lagi mampu mengenali seluk-beluk bangsa dan tanah airnya sendiri, baik dari segi kondisi fisik maupun mental dari wilayahnya sendiri berikut masyarakat yang bermukim di dalamnya. Alhasil kita tidak mampu mengenali keunggulan dan nilai strategis wilayah kedaulatan kita dari segi geopolitik(nilai yang terkandung di dalam wilayah kita baik dari segi kekayaan alam maupun sumberdaya manusianya), maupun dari segi geostrategic(nilai strategis wilayah kita dari segi letaknya) di kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik pada umumnya.
  3. Akibat terjadinya pendangkalan dan diabaikannya ilmu dan wawasan geopolitik sebagai dasar penyusunan kebijakan luar negeri, para stakeholders (pemangku kepentingan) kebijakan luar negeri baik kementerian luar negeri maupun kementerian-kementerian lainnya, tidak mampu membaca konstalasi dan tren global  saat ini dan dampaknya  bagi  kawasan Asia Pasfik, dan Asia Tenggara pada khususnya. Sehingga tidak mengenali pola ancaman maupun peluang yang bisa dimainkan oleh Indonesia seiring perkembangan konstalasi global saat ini
  4. Sebagai konksewensinya, Kementerian Luar Negeri sebagai integrator sekaligus unsu garis depan seluruh aspirasi para stakeholders (pemangku kepentingan) kebijakan strategis bidang luar negeri, tidak berhasil menjabarkan Diplomasi sebagai sarana perang non militer bangsa dan negaranya, dalam menghadapi komunitas dunia internasional. Baik di forum bilateral maupun multilateral. Karena tidak mengenali siapa musuh maupun sekutu sesungguhnya Indonesia berdasarkan kepentingan nasional RI yang aktual dan mendesak saat ini.
  5. Alhasil, Indonesia tidak mempunyai rujukan dan pedoman dalam menjalin kerjasama strategis dengan negara-negara sahabat, baik secara bilateral maupun multilateral atas dasar upaya mensinergikan potensi-potensi nasional dari negara-negara mitra dengan kepentingan nasional negara kita yang bertumpu pada pembangunan, perkembangan ekonomi nasional maupun kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Dasar Hukum Konsepsi Politik Luar Negeri Bebas Aktif RI

Dasar hukum politik luar negeri RI jelas bertumpu pada Undang-Undang Dasar 1945, karena UUD merupakan pilar utama suatu negara. Alinea I dan IV dalam Pembukaan UUD telah jelas.

Misalnya alinea I:
“… Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan …”.

Kemudian alinea IV:
“… dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial …”..

Maka jelaslah bahwa politik luar negeri RI memiliki landasan hukum sangat kuat karena diatur dalam UUD negara.

Sedang pengertian bebas aktif itu sendiri, bisa dilihat dari pernyataan beberapa tokoh dan pakar. Berikut ini kutipan beberapa pendapat sebagai gambaran mengenai bebas dan aktif guna melanjutkan makalah ini.

(1) B.A Urbani: Perkataan bebas dalam politik bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut : supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi menurut pengertian ini, dapat didefinisikan:“berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”;

(2) Mochtar Kusumaatmaja: Bebas. Dalam pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif. Artinya di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif atas kejadian-kejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif;

(3) A.W. Wijaya: Bebas. Berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.

Konferensi Asia-Afrika dan KTT Gerakan Non Blok: Model Peran Aktif Indonesia Ciptakan Perdamaian Dunia

Gagasan politik bebas aktif dicetuskan oleh Bung Hatta pada 1948  di tengah polarisasi dua kekuataan global yang ketat bersaing yakni Blok Barat dan Blok Timur. Dalam Perang Dingin (1947-1991), Barat dikuasai Amerika Serikat (AS) sedang Timur oleh Uni Soviet.

Gagasan Bung Hatta tentang bebas aktif bukanlah dimaksud agar Indonesia mau cari amanya saja atau cari selamat, bukan asal tidak di kiri atau tak ke kanan, atau netral tidak memihak siapapun, tetapi semata-mata lebih ditujukan pada menjabarkan kepemilikan jati diri atas prinsip, watak dan warna politik  Indonesia itu tersendiri. Dengan kata lain, Politik Luar Negeri Bebas dan Aktif barus diabdikan untuk melayani apa yang menjadi hajat sesunguhnya masyarakat Indonesia. Dalam konteks zaman kala itu, yaitu kemerdekaan Indonesia lepas dari belenggu Belanda.

Pada perkembangan dan penerapannya yang lebih progresif, bisa dilihat pada periode 1950-an. Dengan bertumpu pada pandangan bahwa “bebas aktif” memang dapat diterjemahkan sebagai “bebas” yang berarti tak terikat oleh kedua blok dalam Perang Dingin, maka oleh Presiden Sukarno kemudian dijadikan dasar bagi Indonesia untuk menggalang persatuan negara-negara Asia Afrika pada Konferensi Asia Afrika di Bandung pada April 1955.

Yang didukung oleh negara-negara Asia Afrika secara gegap gempita, baik oleh negara-negara Asia-Afrika yang sudah merdeka, atau yang masih berjuang memerdekakan bangsanya.

Kenyataannya, Gerakan Konferensi AA berkembang menjadi sebuah kekuatan ketiga di tengah polarisasi antara Amerika dan kubu negara-negara eropa barat, versus Uni Soviet dan Cina.

Kisah sukses kebangkitan negara-negara Asia-Afrika tersebut, kemudian berkembang lebih meluas dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Non Blok di Beograd, pada 1961. Kalau pada Konferensi Asia Afrika lingkupnya adalah sebatas negara-negara di Kawasan Asia dan Afrika, pada forum KTT Non Blok, lingkupnya meluas menjadi perhimpunan negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga yang lintas kawasan.

Konferensi AA maupun Non Blok, merupakan bukti nyata keberhasilan implementasi Indonesia dalam menjabarkan makna “aktif” dalam politik luar negeri bebas aktif kita. Yaitu turut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.

Inilah titik awal dan pokok-pokok pikiran Bung Hatta mengumanndangkan politik luar negeri Indonesia. Di zamannya, langkah Bung Hatta itu terbilang menggelegar di tengah Perang Dingin antara dua kutub ideologi yakni kapitalis vs komunis.

Tersirat maksud, bahwa pilihan (sikap) politik luar negeri tersebut telah selaras dengan cita-cita dan tujuan negara (kepentingan nasional) dalam pembukaan UUD. Tak boleh dipungkiri, melalui watak politik bebas aktif sejatinya Indonesia menyimpan misi dalam rangka menghapus segala bentuk imperialisme baik berupa penjajahan fisik negara atas negara lain, atau ujud penjajahan lain dalam kemasan baru di muka bumi.

Lengsernya Bung Karno, Politik Bebas Aktif Alami Pergeseran Makna

Namun perjalanan politik bebas aktif pasca Bung Karno lengser, pemaknaannya bergeser menjadi tafsir dari rezim berkuasa. Inilah salah satu kelemahan politik luar negeri kita hingga kini. Padahal bebas aktif sebagai “sikap politik negara”, ia adalah skema utama dari negara guna menjalankan aktivitasnya dalam pergaulan dunia.

Akan tetapi pada tataran implementasi tidak memiliki tuntunan secara konstitusional, sehingga seringkali ditafsirkan sesuai hasrat kelompok kepentingan dan rezim saat itu.

Pada gilirannya ia bebas dimaknai dalam koridor terminologi. Ya. Sebuah sikap negara tanpa dibarengi tuntunan secara konstitusional akan berpotensi timbul distorsi (bergeser makna), bahkan seringkali justru dianggap sebagai “strategi rezim”, atau “kebijakan elit penguasa” dan lainnya. Dan itu berulang terjadi dalam sistem pemerintahan pasca Bung Karno.

Pada Era Orde Baru misalnya, kendati secara tersurat tidak muncul secara tertulis tetapi implikasinya terlihat bahwa “aktif” dimaknai oleh rezim dengan gencar mendatangkan para investor asing dari berbagai negara, sedang di sisi lain sang rezim “bebas” pula melakukan revisi-revisi sistem dan UU yang justru lebih berpihak kepada asing daripada rakyat (pasal 33 UUD) dan kepentingan nasional RI.

Demikian juga era-era berikutnya. Memasuki Era Reformasi tampak semakin parah. Adanya fakta dan data kepemilikan saham oleh dan penjualan kepada asing atas aset-aset negara dan swasta nasional, serta penguasaan berbagai SDA di Indonesia justru dilegitimasi oleh sistem dan UU yang ada.

Sepertinya “bebas aktif” kini boleh diselewengkan cuma sekedar “aktif” mengirim TKI keluar negeri dan membiarkan para majikan negara lain “bebas” menyiksa warga Indonesia di luar negeri. Bahkan sarkasme yang lebih ekstrim lagi ialah bahwa sang rezim “bebas” korupsi serta “aktif” menggelar karpet merah untuk para predator bagi bangsa dan negaranya.

Makna Politik Bebas Aktif Perspektif Global Future Institute

Telah jelas dimuka, bahwa politik bebas aktif merupakan skema utama dan sikap politik negara. Ia bukan strategi rezim atau kebijakan suatu elit penguasa. Dengan demikian politik bebas aktif tak boleh dimaknai sekehendak hati, semaunya sendiri. Mutlak harus ada rujukan dan tuntunannya.

Memaknai terminologi bebas aktif tidak boleh dipenggal suku katanya, harus diucapkan dalam “satu tarikan nafas”. Artinya terdapat kebebasan dalam aktifitas, namun juga ada keaktifan dalam kebebasan tersebut. Kebebasan bagaimana dan keaktifan seperti apa.

Hal ini dikandung maksud bahwa siapapun orang, kelompok maupun negara manapun tak bisa mempengaruhi tindakan Indonesia dalam berkiprah pada forum internasional. Prinsip, watak bahkan warna tindakan keluar mutlak harus merujuk kepada kepentingan nasional RI yang tersebar di berbagai sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, dan terkait juga dalam interaksi global.

Oleh karena itu di setiap kementerian harus merumuskan kembali apa dan bagaimana ujud kepentingan nasional RI bagi sektor yang dibawahinya. Selanjutnya setelah sektor-sektor tersebut berlabel “kepentingan nasional” maka bukan lagi domain kementerian yang bersangkutan saja, namun juga sebagai bahan dan materi yang akan diperjuangkan dalam politik luar negeri di ranah global.

Praktek politik bebas aktif bukanlah domain Kementrian Luar Negeri namun mutlak harus terintegrasi secara holistik dengan bidang pertahanan, intelijen (keamanan), ekonomi dan perdagangan, ESDM, dan lainnya dan merupakan refleksi atas KEPENTINGAN NASIONAL.

Politik bebas aktif bukanlah aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi didukung oleh berbagai instansi yang telah menitipkan “kepentingan nasional” pada sektor unggulannya bermuara kepada TUJUAN NASIONAL.

Kepentingan Nasional RI dan Desain Bijak Luar Negeri

Berbicara kepentingan nasional setiap negara niscaya berbeda-beda sesuai kondisi geografi, budaya, demografi, sejarah, sosial ekonomi serta politik dan lainnya. Kepentingan nasional sebuah negara memang akan tergantung wilayah serta karakter masing-masing. Indonesia membagi dalam tiga aras kepentingan nasional yaitu utama, penting dan pendukung (Robert Mangindaan, UUK: Asymmetric Threat Menyerang NKRI, Jurnal CSICI, No 36, 2012).

Kepentingan nasional yang ‘utama’ berkaitan dengan eksistensi NKRI sebagai negara berdaulat. Artinya memiliki wilayah yang jelas, penduduk permanen, tegaknya pemerintah yang legitimasi dan mampu melaksanakan kegiatan diplomasi.

Kemudian kepentingan nasional yang ‘penting’ ditujukan kepada upaya membangun dan mensejahterakan bangsa.

Sedangkan kepentingan nasional ‘pendukung’ meski di luar aras kedua kepentingan utama dan penting tersebut, namun terkait erat dengan keduanya mengingat hal itu merupakan aspek pendukung.

Bahwa kebijakan luar negeri negara harus merujuk kepada kepentingan nasionalnya. Tidak bisa tidak. Amerika Serikat (AS) misalnya, karena tingkat  kebutuhan dan ketergantungan yang tinggi terhadap minyak maka dalam setiap kebijakan luar negerinya senantiasa berorientasi kepada minyak, minyak dan minyak. Maka siapapun Presiden AS doktrin politiknya ialah the power of oil. Demikian juga Cina, Uni Eropa, Jepang, Rusia dan lainnya.

Begitu pula dengan Indonesia. Daulat pertanian dan ketahanan pangan sudah saatnya dijadikan landasan kepentingan nasional, dan kita jadikan tema sentral seluruh pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI dalam menyusun skema dan strategi nasional pada forum KTT APEC maupun forum G-20.

Sebagaimana telah diurai di atas, bahwa kebijakan luar negeri bukan aktor tunggal yang berdiri sendiri tetapi sesungguhnya merupakan akomodasi berbagai kepentingan dari instansi, lembaga dan kementrian terkait. Sedang instansi serta kementrian terkait menyusun kepentingan nasional berdasar atas aras hierarkhi yakni utama, penting dan pendukung.

Demikian seharusnya desain kepentingan nasional di republik tercinta ini dibidani, terbit dan diperjuangkan dalam kebijakan luar negeri RI dalam skema politik luar negeri bebas aktif.

Geopolitik Sebagai Penyatu dan Perekat antar Kementerian Dalam Penyusunan Desain Politik Luar Negeri

Seperti sudah saya uraian di atas, ilmu dan wawasan geopolitik di republik tercinta ini terdangkalkan bahkan terabaikan, sehingga bangsa ini tak mampu mensyukuri, menikmati dan mengelola karunia Tuhan Yang Maha Esa sehingga rakyat sebagai pemilik kedaulatan justru termarginal dalam kelimpahan rahmat-Nya.

Tatkala abai terhadap geopolitik, terjebak dalam gegap gempita diskusi dan perdebatan pada tataran permukaan namun melupakan hal-hal yang tersirat, apalagi membahas yang sesungguhnya terjadi di bawah permukaan. Berbagai elemen  bangsa kemudian terjebak dalam diskusi wacana yang sadar atau tidak  telah dirajut oleh asing dan kaum komprador di dalam negeri. Sehingga yang muncul kemudian adalah ego sektoral antar kementerian maupun antar lembaga kemasyarakatan.

Inilah dampak nyata dari dangkalnya Kesadaran dan Wawasan Geopolitik kita, sehingga kita Mudah Masuk Perangkap Skema Kepentingan Strategis Asing.

Dengan kegelisahan pokok seperti terpapar di atas, maka mengenali dan mengetahui konstalasi geopolitik Negara-negara adidaya, merupakan langkah pertama kita untuk mengenali dan mengetahui kondisi-kondisi fisik dan mental bangsa kita, geopolitik kita sendiri.

Sehubungan dengan urgensi penyusunan kebijakan luar negeri bebas-aktif RI yang bertumpu pada kesadaran dan wawasan geopolitik, sudah selayaknya para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri untuk menggarisbawahi keberhasilan Rusia untuk mengintegrasikan kepentingan ekonomi nasionalnya dalam kerangka geopolitik Rusia untuk menghadirkan dirinya di kawasan Asia Pasifik.

Yaitu dengan merujuk pada Skema Siberian Russian Far East, Indonesia harus  menyerap inspirasi dari Rusia ketika menjadi Tuan Rumah KTT APEC 2012. Skema ini sejatinya harus kita serap sebagai Gagasan Strategis yang mampu menyelaraskan Kepentingan Nasional Indoenesia seiring dengan perkembangan trend Global maupun dinamika perkembangan geopolitik di berbagai kawasan dunia.

Sebagaimana halnya Rusia menerapkan kebijakan ekonomi Siberian Russian Far East seraya menjadikan kawasan Timur Jauh Rusia di Siberaia yang semula merupakan “halaman belakang” menjadi “halaman muka.” Karena itu tidak berlebihan jika atas dasar gagasan menyelaraskan geopolitik dan kebijakan luar negeri kita yang bebas dan aktif, Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) sudah selayaknya menyerap inspirasi dari Siberian Russaian Far East.

Untuk itu, dalam penjabaran dan pelaksanaan Politik Luar Negeri RI yang bebas dan aktif maupun pelaksanaan Multi-Track Diplomacy atau Diplomasi Total, saya mendesak pada seluruh stakeholders kebijakan luar negeri, untuk menaruh perhatian khusus dan intensif terhadap upaya-upaya membangun Gerakan Penyadaran Global sekaligus Membangun Kesadaran Geopolitik, dengan memfasilitiasi studi-studi dan kajian-kajian terkait Geopolitik.

Mendesak perlunya secepatnya menyusun sebuah Kelompok Kerja yang terdiri dari tiga sektor: Strategi, Ekonomi dan Geopolitik, dalam rangka menggagas bagaimana menyusun Strategi Diplomasi Total/Multi-Track Diplomacy yang bersifat Ofensif.

Geopolitik Global dan Isyarat Pergeserannya

Kajian strategis Deep Stoat yang tetap valid hingga kini tentang perpolitikan ialah “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”. Inilah sebab akibat dinamika global. Barang siapa ingin memahami geopolitik maka ikuti fluktuasi minyak dan telusuri sumber energi. Oleh karena hampir semua simpul kepentingan terutama politik akan bertemu serta beradu kuat disitu.

Kiranya asumsi itu harus dijadikan sebagai alat guna mengurai isue-isue aktual, terutama mencari asal darimana serta kemana arus geopolitik bergerak dan berujung. Dan agaknya asumsi tadi justru semakin menebalkan tesis Sir Halford Mackider, pakar geopolitik Inggris abad ke-19 yang membagi atau mengklasifikasikan dunia dalam “Empat Kawasan”.

Kawasan I disebut Heartland atau World Island, atau “Jantung Dunia” meliputi Asia Tengah dan Timur Tengah; Kawasan II adalah Marginal Lands terdiri atas Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara dan sebagian daratan Cina; Kawasan III dinamai Desert (Padang Pasir) adalah Afrika Utara; dan Kawasan IV istilahnya Island or Outer Continents meliputi Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara dan Australia.

Inti tesis Mackinder menyebut, siapa negara menguasai Kawasan Heartland  atau “Jantung Dunia” yang mempunyai kandungan sumberdaya alam (SDA) dan mineral melimpah ruah, niscaya menuju “Global Imperium”. Menjadi wajar ketika banyak negara di kawasan ini selalu dihujani konflik-konflik (“ciptaan”) tak kunjung usai. Dalam kajian politik, conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow. Itulah modus kolonial semenjak dulu, dan sering ia menebar penyesatan (alih perhatian), baik dalam bentuk konflik ataupun gerakan-gerakan “massa” lainnya di permukaan, agar tujuan utama tak terpantau.

Cermatan GFI tentang “Empat Kawasan”-nya Mackinder, tampaknya sudah tidak akurat lagi. Hal ini terbaca melalui Smart Power-nya Partai Demokrat, Amerika Serikat (AS) via Arab Spring ternyata juga menggoyang negara-negara Afrika Utara seperti Libya, Tunisia, Yaman yang nota bene merupakan Kawasan Padang Pasir/Tandus (Desert), bukan Kawasan “Jantung Dunia” sebagaimana rekomendasi Mackinder. GFI mengendus, justru AS dan sekutu kini tengah menerapkan teori Toni Cartalucci, Research Assosciate di Central for Research on Globalization (CRG), Montreal, Kanada. Adapun bunyi asumsinya: “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”.

Menafsir asumsi Cartalucci di atas: barang siapa ingin menguasai dunia maka (Langkah I) harus menguasai dulu Timur Tengah. Inilah salah satu Kawasan Heartland selain Asia Tengah yang dirujuk oleh Mackinder. Dan jika Langkah I berhasil maka automaticly mengakibatkan “mati”-nya Cina dan Rusia (Langkah II), maka hasilnya ialah menguasai dunia. Itulah benang merah teori tersebut.

Tak boleh dipungkiri, bahwa cengkeraman Uncle Sam terhadap beberapa negara di Timur Tengah seperti Saudi Arabia, Kuwait, Bahrain, EUA, Oman, dan Qatar via Dewan Kerjasama Teluk (GCC) sejak 1979-an —sebagaimana isyarat Cartalucci— terbukti unggul dalam hal dominasi minyak dunia. Hingga sekarang GCC dianggap “pabrik dolar” terbesar AS karena selain hampir setiap 10 menit kapal-kapal tanker berlayar membawa 40% minyak dunia, atau sekitar 90% ekspor minyak dari kelompok GCC dan negeri sekitarnya. Yang paling utama adalah setiap transaksi minyaknya menggunakan US Dollar. Itulah Langkah I menurut teori Cartalucci.

Beberapa pertanyaan muncul: Kenapa Rusia dan Cina tidak juga “mati” bahkan semakin menggeliat meskipun sebagian negara di Timur Tengah (GCC) telah dikendalikan oleh AS; seberapa besarkah ketergantungan Cina-Rusia pada Timur Tengah, dan mengapa musti “mati” — kata teori tadi — jika Timur Tengah dikuasai negara lain? Tidak dijelaskan oleh Cartalucci. Agaknya ia lupa, bahwa Rusia kini sudah menjadi Autarky (negara swasembada) seperti halnya Kanada. Artinya kecil sekali kadar ketergantungannya terhadap negara lain. Justru Cina meski kemajuan ekonomi dan militernya relatif signifikan namun masih tergantung impor.

Mengkaji tafsiran di atas, hipotesa GFI mengatakan semata-mata karena ENERGI tetap sebagai kunci skema bagi setiap manuver apapun, terutama militer. Merujuk kajian Deep Stoat, Kawasan Heartland dulu bahkan sampai sekarang masih dianggap titik tolak geopolitik global sebab merupakan basis produsen minyak dan gas alam dunia, meskipun dalam perkembangannya banyak jajaran negara Afrika Utara, Amerika Latin dan Rusia telah menjadi Net Oil Exporter.

Perkembangan aktual perpolitikan internasional kini mengisyaratkan, bahwa ada pergeseran sentral geopolitik dari Kawasan Timur Tengah (Jantung Dunia) menuju ke Asia Tenggara, khususnya Laut Cina Selatan. Persoalan apakah Uncle Sam berubah stratetegi ingin langsung menerapkan Langkah II-nya Cartalucci, dan kenapa ia mulai meninggalkan Langkah I yang belum tuntas, tidak akan dibahas dalam makalah ini.

Tetapi isyarat peralihan tersebut terlihat dari beberapa indikasi, yakni selain AS ingin secepatnya membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara, kemungkinan besar ditujukan kepada Cina, ia juga menyatakan akan memperluas pengaturan militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura.

Menteri Pertahanan (Menhan) AS Leon Panetta, di depan para Menhan ASEAN mendukung pembentukan ASEAN Security Community tahun 2015 dan menganjurkan ada “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang berkekuatan hukum terkait Laut Cina Selatan. Yang paling kentara dan mengejutkan ialah rencana menggeser 60% armada tempur ke Asia Pasifik.

Isue dan Dampak Regional

Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut Cina Selatan, disinyalir memang bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, namun persoalan lain pun bercampur, seperti hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), termasuk penggunaan teknologi baru terkait exploitasi serta explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, dan lain-lain.

Garis besar pertikaian kepulauan di atas bisa digolongkan, (1) Kep Paracel: antara Cina versus Taiwan, (2) Kep Spratly: antara Cina versusbeberapa negara yakni Malaysia, Philipina, Taiwan, Vietnam dan Brunai Darussalam. Cina pun sebenarnya sedang ribut dengan Philipina terkait Dangkalan Scarborough Shoal, juga berkonflik melawan Jepang soal Pulau Dioayu atau Senkaku, dan lainnya.

Adapun mapping konflik secara detail meliputi Cina – Vietnam, Filipina – Malaysia, Filipina – Taiwan, Filipina – Cina, Malaysia – Vietnam, Filipina – Vietnam, Malaysia – Brunai, Taiwan – Cina dan Indonesia – Cina. Kendati langkah-langkah diplomasi sering digelar baik bilateral maupun multilateral, namun sepertinya “jalan ditempat”. Oleh sebab benang merah konflik berkait erat dengan National Interest atau Kepentingan Nasional masing-masing guna mewujudkan kedaulatan serta (hegemoni) jaminan keamanan pelayaran dan explorasi SDA. Forum ASEAN pun seperti mandul karena sebatas mediasi bukan mengurus soal demarkasi atau tapal batas. Dimana ada negara yang rela Kepentingan Nasionalnya direngut orang lain?

Secara politis ketegangan di antara negara-negara kawasan tersebut cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Semua yang terlibat pertikaian saling klaim, merasa paling benar sendiri. Urgensi geografis Laut Cina Selatan yang vital dalam “pergeseran” geopolitik global, meniscayakan penyelesaian sengketa Kepulauan Paracel dan Spartly ke depan akan terus terkendala. Bahkan diduga keras isue konflik teritorial bakal menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka (Perang Dunia III?) di Laut Cina Selatan.

Dan tampaknya “suhu panas” ini akan mempengaruhi negara-negara di sekitar wilayah sengketa. Secara proximatis geografi, posisi Indonesia sangat dekat dengan Laut Cina Selatan baik dalam konteks Asia Tenggara, ASEAN maupun Asia Pasifik. Dan diperkirakan situasi panas tersebut berlangsung lama mengingat negara-negara yang terlibat konflik selain menunggu “momentum”, juga masing-masing upaya antisipasifnya semakin intensif dan terbuka, terutama AS dan sekutu versus Cina dkk. Sudah barang tentu kondisi tersebut akan mempengaruhi sikap politik dan kebijakan negeri di sekeliling terutama Indonesia yang saat ini tengah berproses dalam Masterplan Percepatan, Perluasan dan Peningkatan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Inilah faktor eksternal yang mutlak dicermati dalam melanjutkan MP3EI.

Pemberdayaan Geopolitik dalam MP3EI

Semoga posisi geografis Indonesia yang konon cukup strategis di antara dua benua dan dua samudera, bukan sekedar “angin sorga” bagi bangsa ini sebagaimana tertulis di buku-buku sekolah, oleh karena para elit dan pemangku kepentingan dalam MP3EI tidak tahu bagaimana mengaplikasikan. Dibanding Iran yang hanya memiliki Selat Hormuz tetapi menggegerkan dunia cuma melalui ancaman menutup selat “basah” tersebut. Atau Syria misalnya, meski minyaknya tidak sekaya Libya, Irak dan lainnya namun diperebutkan banyak adidaya karena urgensi geopolitik pipeline dan geostrategy possition.

Itulah contoh sederhana pemahaman dan geopolitic awareness. Retorikanya, bagaimana seandainya Selat Lombok, Selat Malaka, Selat Sunda atau selat-selat lainnya ditutup selama sebulan untuk latihan gabungan TNI-Polri dalam rangka memerangi terorisme perairan?

Banyak negara tergantung dengan selat dan perairan Indonesia. Sekitar 40% perdagangan dunia melalui perairan nusantara, seperti Australia, Cina, New Zealand, Singapore, Malaysia, Korea, Jepang bahkan negara-negara di Kawasan Heartland karena terkait distribusi dan transportasi minyak ke berbagai negara. Dari diskusi terbatas di Forum Kepentingan Nasional RI (KENARI) pimpinan Dirgo D Purbo, tercatat bahwa 80% APBN Australia tergantung Indonesia. Demikian pula negeri tetangga lainnya. Bahkan 85% lebih APBN Singapore konon tergantung dari republik tercinta ini.

Terkait program MP3EI, seyogyanya faktor geopolitik menjadi rujukan utama bagi para pemangku kepentingan terutama pihak yang berkompeten memaksimalkan peran geopolitik, karena pengelolaan yang baik selain mengoptimalkan output dan outcome, faktor posisi geografi jika diberdayakan bisa menjadi geopolitic weapon terutama bagi negara-negara lain yang sangat tergantung perairan Indonesia.
Hakiki Kebijakan Luar Negeri merupakan the extension domestic affairssehingga implementasi MP3EI harus mudah dikemas dalam satu paket terintegrasi ke investor asing. Misalnya ada daerah yang sudah memberikan kemudahan disana-sini serta benar-benar membuka peluang bagi investor ternyata terkendala justru di tingkat pusat karena faktor “warna Parpol”. Ini yang harus diantisipasi.

Selain itu program-program MP3EI harus mengantisipasi  perang ekonomi sebagai akibat bergesernya geopolitik dari Timur Tengah ke Asia Tenggara. Artinya jika tidak berpijak geopolitik dan karakter landas kontinen Indonesia, dikhawatirkan justru memposisikan Indonesia sebagai proxy economic war, malah memberi leluasa kepentingan Barat seperti yang kini tengah berlangsung, misalnya negara agraris dengan curah hujan tinggi namun mengimpor kedelai, singkong, beras, kopi dan lainnya. Atau negara (kepulauan) kelautan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia tetapi mengimpor garam, ikan dan lainnya. Betapa ironis.

Masalah penempatan marinir AS di Darwin, dan penempatan kapal-kapal perang AS di Singapora, apakah langkah MP3EI sudah mengantispasi hal tersebut? Ataukah sudah ada  kontruksi mengelola Selat Sunda sehubungan akan semakin memanasnya situasi karena Selat Malaka telah dikuasai oleh AS dan sekutu? Termasuk memberdayakan selat-selat dan perairan Indonesia dalam rangka memberantas illegal logging, narkoba, trafficking in person, dan lainnya. Demikian sekilas pemberdayaan geopoitik dalam menjalankan MP3EI.

Korupsi dan Revolusi Industri

Tak dapat dipungkiri, korupsi di Indonesia sebenarnya hanya sebuah modus, tema atau tata cara dari sebuah kolonialisme model baru. Maraknya korupsi di Indonesia karena diciptakan oleh sistem serta didukung aturan dan perundang-undangan (UU) yang dirombak pada awal reformasi dahulu.

Ketika sistem yang kini berjalan justru mendorong perilaku koruptif, seperti otonomi daerah,  multi partai, pemilu langsung, one man one vote, politik pencitraan dan lain-lainnya, maka seratus pun — bahkan seribu lembaga seperti KPK tidak akan mampu membendung korupsi. GFI pada akhir 2011 menyatakan, bahwa dengan model demokrasi Indonesia saat ini yang berkuasa adalah kaum pemodal. Ya, korupsi di Indonesia sengaja diciptakan melalui sistem oleh kolonialisme global.

Permasalahan bangsa ini ada di hulu (sistem), tetapi segenap komponen dan anak bangsa selama ini sepertinya “tertipu”, ya memang benar-benar tertipu! Karena malah memerangi persoalan-persoalan di hilir belaka. Oleh media, khususnya media mainstream perhatian publik sering digiring pada dinamika kasus-kasus, peristiwa fenomenal, unjuk rasa, pola pemberantasan, seminar atau debatisasi di berbagai media justru membuat “bingung” rakyat: mana yang salah dan siapa benar? Media terkesan menjadi sarana adu domba antar pakar dan segenap elit di negeri ini.

Cermatan GFI, selain korupsi merupakan methode dari sebuah kolonialisme juga mampu menjadi infotaimen menarik berating tinggi di media, namun substansinya nihil dalam solusi berbangsa dan bernegara. Para tokoh, pakar dan pejabat-pejabat yang berkompeten terjebak dalam dialog-dialog emosi, saling memaki,  mengelak atau menyebar fitnah kesana-kemari. Korupsi sebagai “alat menyerbu” Indonesia memang efektif, selain menyentuh sisi paling vital dalam kehidupan berbangsa yaitu mental, moral dan keuangan negara, juga tersirat ruh adu domba disana-sini. Inilah yang kini tengah berlangsung.

Sebagai methode dari (sistem) kolonialisme gaya baru di tanah air, korupsi mutlak harus dikontra serentak, sistematis, dan dilakukan secara gegap gempita di berbagai lapisan masyarakat, bahkan pemerintah itu sendiri.

Sejarah mengajarkan, bahwa kemajuan suatu negara diawali dari revolusi industri. Revolusi industri membuat negara terkapar namun rakyat diuntungkan pada satu sisi, sangat berbeda dengan korupsi, selain negara dan rakyat (terkapar) dirugikan, korupsi merupakan “cermin buruk” sekaligus potret memalukan sebuah bangsa di hadapan bangsa-bangsa lain di dunia.

Inti revolusi industri adalah kebebasan warga negara berekspresi memenuhi kebutuhan sedang peran negara bersifat melindungi, mengarahkan dan mengawasi. Selanjutnya setelah hasil dari dinamika warga tersebut diekspor baru negara mengenakan pajak atas hasil karyanya. Seperti di Cina, selain negara memberi modal dan fasilitas juga mencarikan pasar bagi komoditi yang dihasilkan oleh karya warganya. Sedangkan hakiki revolusi industri ialah menghindari jerat ketergantungan apapun! sekali lagi revolusi industri menghindari ketergantungan bidang apa saja dan dari negara mana saja, baik pangan, teknologi, energi dan lain-lain. Kita adalah bangsa besar dan maju cuma saat ini tengah terbelenggu oleh sistem ciptaan asing!

Jakarta, 2 Juli 2014

Penulis: Hendrajit dan M Arief Pranoto, Peneliti Senior Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com