Pemerintahan Australia dan Timor Leste menandatangani kesepakatan bersejarah mengenai perbatasan maritim di Laut Timor. Penandatanganan tersebut bertempat di Markas PBB di New York dan sekaligus menandai berakhirnya sengketa selama 10 tahun terakhir mengenai hak atas cadangan minyak dan gas di perairan tersebut.
Melalui kesepakatan tersebut, Timor Leste kini akan memperoleh mayoritas dari pemasukan sektor migas pada masa mendatang.
Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, menyanjung “visi dan determinasi” Australia dan Timor Leste atas kesepakatan perbatasan.
Kesepakatan perbatasan oleh kedua negara tersebut dapat memberikan angin segar, terutama bagi Timor Lest yang selama ini lebih banyak dirugikan oleh pemerintahan Australia. Berdasarkan data dari kantor berita CNN, setelah Timor Leste merdeka dan memisahkan diri dari Indonesia pada 2002, tidak ada perbatasan permanen yang memisahkan negara itu dengan Australia.
Selama ini kedua negara mendasari perbatasan melalui kesepakatan sementara, walau Timor Leste belakangan berkilah bahwa kesepakatan itu dipaksakan secara tidak adil oleh Australia.
Diyakini bahwa Australia selama ini mendapat jatah akses lebih besar terhadap ladang gas dan minyak di Laut Timor yang bernilai puluhan miliar dollar. Atas dasar itu, pada 2016 Timor Leste mengadukan kesepakatan temporer itu ke Mahkamah Arbistrasi Permanen di Den Haag, Belanda.
Adapun kesepakatan bersejarah yang ditandatangani Australia dan Timor Leste menerapkan perbatasan maritim yang sejalan dengan Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Sebelumnya, Australia menghendaki agar perbatasan berada di ujung landasan kontinennya sehingga membuat perbatasan lebih dekat ke Timor Leste.
Berkat kesepakatan itu, Timor Leste praktis akan menerima sedikitnya 70% pemasukan dari ladang minyak terbesar, Greater Sunrise, yang ditaksir bernilai US$40 miliar (Rp551 triliun). Pada perjanjian terdahulu, pemasukan dibagi 50-50 antara kedua negara.
Makna dari kesepakatan itu juga berarti Australia akan kehilangan yurisdiksinya di ladang minyak tersebut yang kini dikendalikan kedua negara.
Terkait dengan kesepakatan itu, Menteri Luar Negeri Australia, Julie Bishop, mengatakan negaranya memiliki “kepentingan yang tetap” dalam kemakmuran Timor Leste. Dia mengakui kesepakatan yang baru diteken adalam langkah yang penting.
“Sebagai teman yang baik dan tetangga dekat, kami ingin Timor Leste mencapai potensi ekonominya,” ujarnya.
Dari sisi Timor Leste, Deputi Perdana Menteri untuk urusan Delimitasi Perbatasan, Augusto Cabral Pereira, mengatakan kesepakatan itu adalah “hari bersejarah”.
Bagimana respons Indonesia? Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, menyatakan “menyambut baik penggunaan jalan damai di bawah Konvensi Hukum Laut 1982 dalam menyelesaikan perbatasan maritim antara kedua negara.”
“Meskipun Indonesia bukan merupakan pihak dalam proses rekonsiliasi, Indonesia mengamati secara seksama proses rekonsiliasi dan berupaya memastikan, dalam hal ini kedua pihak telah menyatakan, bahwa konsiliasi tidak akan berdampak pada hak-hak maritim Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982.”
“Pemerintah Indonesia baru akan mempelajari secara rinci Perjanjian yang ditandatangani tersebut setelah dokumen ini dibuka untuk publik”.
Timur Leste sepertinya tengah menapaki jalan menuju kemajuan ekonominya mengingat kesepakatan tersebut menjadis ektor andalan bagi Timor Leste dan menganggapnya sebagai kemenangan kemenangan besar bagi negara tersebut.
Greater Sunrise merupakan ladang minyak yang belum dieksplorasi. Kondisi itu, menurut konsorsium perusahaan minyak disebabkan lamanya sengketa kedua negara. Berdasarkan laporan sejumlah media, Australia menghadapi tuduhan bahwa mereka berkolusi dengan perusahaan-perusahaan minyak agar gas dari Greater Sunrise diproses di Australia—yang dibantah Bishop.
Melalui kesepakatan yang baru diteken, Timor Leste akan menerima pemasukan yang lebih besar yang mencapai 80% jika gas diproses di Australia.