Penghancuran Situs Kuno: dari Suriah hingga Jogja

Bagikan artikel ini

Penulis: Dina Y Sulaeman, mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad dan research associate di Global Future Institute (GFI)

Robert Fisk, jurnalis dari The Guardian secara rutin menyampaikan laporan perkembangan konflik Suriah. Akhir Desember yang lalu, ada yang menarik dalam laporannya. Pemberontak Suriah yang berafiliasi dengan Al Qaida (Jabhah Al Nusra) rupanya telah menghancurkan situs-situs bersejarah. Patung penyair Abu Tammam Habib ibn Aws di Daraa, diledakkan. Patung penyair al-Ma’arri, dipenggal kepalanya. Fisk berusaha menganalisis, mungkin karena syair-syair keduanya dianggap sesat oleh Al Nusra. Patung Harun Al Rasyid di Rakaa pun tak luput dari ‘pembantaian’ mereka, juga makam salah satu sahabat Rasulullah, Hujr ibn Adi di pinggiran Damaskus. Sebatang pohon tua berusia 150 tahun di kota Atmeh pun menjadi korban: ditebang habis. Seorang pemberontak mengatakan kepada wartawan Perancis bahwa pohon itu ditebang karena sudah jadi sesembahan warga. Inilah jihad mereka. Selain menggorok leher orang-orang ‘kafir’ Suriah, mereka pun membasmi patung, makam, dan pohon.

Lalu Fisk menulis, “Tetapi, bukankah ini cerita lama? Bukankah dulu Taliban juga menghancurkan patung Buddha di Bamiyan, sebagaimana rezim Saud membongkar bangunan-bangunan kuno di Mekah; seperti juga para ‘Islamis’ yang menghancurkan makam-makam di Pakistan? Belum lagi bila kita sebut penghancuran di Timbuktu.”

Sebentar. Timbuktu? Ada apa di Timbuktu?

Setiap penggemar Donald Bebek akan ‘mengenal’ Timbuktu. Donald selalu menjadikan kota ini sebagai tempat menenangkan diri dari rasa stress. Tak heran bila di facebook terkadang muncul status frustasi, should I pack my things and going to Timbuktu? Kamus Collins menyebut bahwa Timbuktu telah menjadi metafora bagi ‘suatu tempat yang sangat jauh’. Timbuktu memang bagai kota yang entah dimana, tempat menjauhkan diri dari berbagai tekanan dunia modern. Kota khayalan yang diperkenalkan oleh Donald. Bila Anda browsing kata Timbuktu, akan muncul pertanyaan di Yahoo! Answer: is Timbuktu a real place? Survei tahun 2006 mendapati bahwa 66% anak muda Inggris menilai Timbuktu adalah sebuat tempat mistis, sementara 34%-nya menganggap Timbuktu tidak benar-benar ada.

Tentu saja, Timbuktu adalah kota yang nyata. Terletak di Mali, Afrika utara, dan memiliki sejarah peradaban yang sangat panjang. Pelancong bernama Leo Africanus dalam bukunya ‘Description of Africa’ (1550) menulis bahwa Timbuktu pada masa itu adalah pusat perdagangan yang sangat ramai. Kerajaan Mali sangat kaya, berlimpah emas, dan berperadaban.  Jonathan Jones dari The Guardian  menulis bahwa orang Timbuktu menulis sendiri kitab-kitab sejarah dan hukum, serta menyimpan dengan baik naskah-naskah puisi dan prosa karya orang-orang Afrika Utara. Ketika Eropa menjajah Afrika, termasuk Timbuktu, pada abad ke-19, mereka berusaha menggambarkan bahwa Afrika sebagai benua terbelakang dan tak mengenal aksara. Koleksi manuskrip di Timbuktu membuktikan kisah sebaliknya. Di kota ini, selain perpustakaan-perpustakaan yang resmi dikelola pemerintah (dan dibantu oleh UNICEF), juga ada sekitar 80 perpustakaan pribadi yang menyimpan naskah-naskah kuno.

Pada akhir abad ke-19, Perancis mengalahkan suku Tuareg (suku asli pendiri peradaban Islam di Timbuktu) dan praktis sejak itu Mali jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1960, Mali meraih kemerdekaan. Namun suku Tuareg tetap disingkirkan dan selalu mendapatkan perlakukan represif dari pemerintah Mali. Tak heran bila pemberontakan suku Tuareg tak pernah padam. Namun sejak 2012, pemberontakan mereka dibajak oleh sekelompok pemberontak yang menamakan diri Ansar Dine (Ansharud-din) bersekutu dengan Al Qaida in The Land of Islamic Maghreb (AQIM) yang berbasis di Aljazair.

Sebagaimana Al Qaida di Afgan, Libya, Suriah, Irak, dan Lebanon, pemberontak Al Qaida Mali menggunakan ‘gaya’ barbar: penculikan, bom bunuh diri, dan pembantaian massal.  Kehadiran Al Qaida di Mali, menjadi dalih bagi Perancis (dibantu Kanada, Jerman, Belgia, dan tentu saja AS) untuk mengirim pasukannya ke Mali. Alasan mereka tentu saja untuk memberantas teroris. Namun siapapun tahu, tak mungkin Perancis dan kawan-kawan repot-repot membawa pasukan ke Mali bila saja negeri itu tak berlimpah minyak, emas, uranium, berlian, dan berbagai mineral berharga lainnya.

Sebagaimana juga Al Qaeda di Afghan menghancurkan patung Budha kuno Bamiyan, atau rezim donatur-nya (Rezim Saud) menghancurkan jejak-jejak peninggalan Rasulullah di Mekah, para ‘mujahidin’ Al Qaida Mali pun melakukan hal serupa. Pada awal tahun  2013, Al Qaida membakar perpustakaan-perpustakaan di Timbuktu; menghancurkan  jutaan naskah kuno Islam yang tak ternilai harganya. Mereka juga menghancurkan 300 makam para sufi di kota itu.

Masjid Sidi Yahya yang dibangun pada abad ke-14, salah satu tujuan wisata paling terkenal di Timbuktu, pun tak luput dari kebengisan mereka. Milisi Al Qaida datang ke masjid itu membawa kapak, lalu membobol masjid sambil berteriak-teriak Allahu Akbar. Beberapa orang yang menyaksikan kejadian ini pun menangis. (Telegraph, 3/7/2012) .

Gambar: Al Qaida sedang hancurkan masjid kuno di Timbuktu (sumber photo: Telegraph)

Dari Lebanon, baru-baru ini (4 Januari 2014) diberitakan bahwa sebuah perpustakaan kuno juga dihancurkan oleh kelompok teror. Perpustakaan itu dimiliki oleh sebuah gereja ortodoks dan 2/3 dari 80.000 buku dan manuskrip kuno di dalamnya hangus dibakar. Alasan yang dipakai para teroris atas aksinya itu adalah ‘ditemukan adanya pamflet penghinaan terhadap Islam di perpustakaan itu’.

Kejadian ‘mirip’ pun pernah terjadi di Jogja dan Solo. Pada bulan September 2013, kompleks pemakaman keluarga Keraton Yogyakarta dirusak oleh sejumlah orang bercadar. Selain merobohkan sejumlah nisan, mereka mencorat-coret komplek makam dengan tulisan syirikharam.

Semua kejadian ini, menunjukkan satu perilaku khas: ahmaq (bodoh). Hanya orang bodoh yang tidak mampu menghargai situs bersejarah, buku, manuskrip kuno, lalu menghancurkannya dengan membawa-bawa nama Allah. Parahnya, kebodohan ini merembet ke banyak hal lainnya: kebencian pada pihak lain yang mereka anggap sesat, penghalalan darah, aksi teror, bom bunuh diri. Mereka mengobarkan kebencian setiap saat, melalui ceramah, facebook, twitter. Bahkan kalau perlu dengan berbohong dan memfitnah (termasuk menyebarkan foto-foto palsu, misalnya foto ulama Syiah mencium tangan anjing, yang dengan sangat mudah akhirnya terbukti itu foto rekayasa; atau foto mantan Presiden Iran sedang memeluk anak gadis disebut sedang zina; padahal, dengan sangat mudah ditemukan sumber aslinya, ternyata itu foto Khatami dengan putri kandungnya sendiri). Korban kebencian mereka tidak hanya Syiah, tentu saja, melainkan semua yang mereka anggap bukan golongan mereka, termasuk Kristen, sekuler, ataupun Aswaja. Keutuhan NKRI sedang mereka koyak dengan menebarkan api kebencian.

Gambar: Anak-anak kecil yang sedang dididik jadi agen perang kebencian

 

Gambar: Anak-anak pendukung teroris Ciputat (salah satu teroris itu ternyata punya paspor dan sedang bersiap ke Suriah)

Sebagian pihak berusaha menyebarluaskan konsep “Islam itu Cinta” untuk meredam aksi-aksi kebodohan semacam itu. Namun, Emha Ainun Najib mengatakan:

  • Anda ngomong cinta sama mereka, ya tidak nyambung. Mereka itu tidak ngerti dan pastinya menolak cinta. Jangankan cinta, mereka bahkan tidak mengerti apa yang mereka lakukan kok. Namanya juga al ahmaq (orang pandir), mana bisa diajak dialog.
  • Nabi Isa as saja “menyerah” dengan penyakit ahmaq ini kok. Beliau bisa saja menyembuhkan lepra, menyembuhkan orang buta, bahkan membangkitkan kembali orang yang sudah meninggal, tapi urusan al ahmaq ini, Nabi Isa “menyerah”, ini sudah urusan Allah. Begitu juga Ali ra, beliau bilang al ahmaq ini merupakan jenis penyakit yang tak ada obatnya kecuali kematian. Orang-orang yang terkena ahmaq ini tidak akan mau diajak berdialog. Mereka tidak tahu bahwa mereka tak tahu. Satu-satunya penyakit yang pengidapnya memutuskan tak mau sembuh ya ahmaq ini.

Lalu, bagaimana mengatasi persoalan ini? Bangsa Indonesia yang masih waras tentu tak ingin negeri ini berubah jadi Suriah, Afghan, Lebanon, atau Timbuktu kan? Menurut Cak Nun, jalan keluarnya adalah:

  •  … diperlukan suatu kepemimpinan Indonesia yang tegas. Bukan saja tegas terhadap kelompok-kelompok itu, tapi juga tegas terhadap negara yang mendukung gerakan mereka. [Arab Saudi–pen]
  • Tidak perlu takut, kita ini punya posisi tawar politik yang kuat. Kita goyang saja mereka dengan ancaman boikot haji, bisa panik mereka. Sayang pemerintah kita sekarang ini enggak ngerti kelebihan-kelebihan itu. Maunya cari untung sendiri.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com