Pentingnya Cina Kuasai Pelabuhan-Pelabuhan di Asia-Pasifik

Bagikan artikel ini

Mengapa menguasai pelabuhan begitu penting bagi Cina, sehingga negri tirai bambu itu begitu terobsesi untuk menguasai wilayah-wilayah yang punya akses ke pelabuhan di beberapa negara Asia Pasifik, termasuk Indonesia? Hal ini bisa ditelusur kembali melalui cerita seputar meletusnya Perang Candu pertama antara Inggris dan Cina pada 1839-1842. Semua itu bermula ketika komisioner perdagangan luar negeri kekaisaran Cina Lin Zexu memutuskan untuk mengakhiri perdagangan dengan diplomasi dan kemudian secara paksa, menyita dan menghancurkan 20 ribu peti opium yang ditemukan di gudang-gudang pedagang asing di Guangzhou pada Juni 1839.

Rupanya, tindakan otoritas politik kekaisran Cina itu mengundang kemarahan Inggris, sehingga meletuslah Perang Candu pertama. Akibatnya, pasukan Inggris kemudian menduduki Shanghai dan mengepung Guangzhou dan pelabuhan Cina lainnya.
Berdasarkan ketentuan penyerahan Cina, lima pelabuhan dibuka untuk perdagangan internasional dan pulau Hongkong diserahkan kepada Inggris. Perang Candu kedua (1856-1860), Cina kembali menderita kekalahan, sehingga Inggris mendapat tanah tambahan di Semenanjung Kowloon ke koloni Inggris di Hongkong.
Saat ini, kapal-kapal container raksasa yang menyusuri Sungai Mutiara menuju Guangzhou, Terminal Nansha-nya yang baru, dan pelabuhan container terkait Shenzhen mungkin masih membawa narkoba, namun ada jauh lebih banyak uang di dalam lalu-lintas perdagangan internasional harian. Berbagai macam bahan mentah dan setengah jadi mengalir ke Cina selatan dari seluruh dunia, untuk dijadikan barang  jadi, dikemas, dan dikirim kembali ke palanggan luar negeri dan dalam negeri.
Sedemikian pentingnya pelabuhan bagi Cina, tergambar melalui fakta bahwa enam dari sepuluh pelabuhan container tersibuk di dunia ada di Cina, yang dipimpin oleh Shanghai dengan 29,1 juta TEU (satuan unit setara 20 kaki) pada 2010; Shenzhen dan Guangzhou bersama-sama menangani 45 juta setahun. Hongkong yang berdekatan menangani 23 juta TEU. Bahkan Singapore yang pernah memimpin perekonomian dunia (28 juta pada 2010) sekarang berada di peringkat kedua dalam alur distribusi dan keluaran container tetapi tetap merupakan pelabuhan tersibuk di dunia dalam total tonase pengiriman.
Bahkan Jepang pun sudah tergeser oleh Cina. Pada 1989, pelabuhan Kobe Jepang berada di peringkat kelima pelabuhan container top dunia dan Yokohama dan Tokyo berada di top 20. Pada 2010, tidak ada satupun pelabuhan Jepang di antara top 20.
Maka tak heran jika Cina memandang amat penting untuk menjaga jalur laut ke Hongkong, Shenzhen, Guangzhou, dan pelabuhan Cina lainnya agar tetap terbuka dan bebas dari segi keamanan laut. Hal ini selaras dengan doktrin String of Pearly Cina yang gagasan dasarnya adalah sebagai doktrin penguasaan maritim kawasan Asia Tenggara, khususnya wilayah-wilayah yang melewati Laut Cina Selatan.
Maka, Laut Cina Selatan menjadi penting dan vital bagi Cina, utamanya sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, khususnya untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan.
Saat ini sebagai salah satu negara pengguna energi/migas terbesar di dunia, Cina amat mencemaskan keamanan jalur pasokan laut mereka di Selat Malaka, yang membentang 800 km (500 mil) di antara pulau Sumatera Indonesia dan Semenanjung Melayu dan menyempit hanya 2,4 km (1,5 mil) lebarnya di Selat Singapura, yang mengarah ke Laut Cina Selatan.
Cina seperti halnya juga dengan Amerika, Rusia, Jepang dan India, menyadari betul bahwa saat ini sekitar 70 persen dari perdagangan dunia bergerak melintasi Samudera Hindia antara  Timur Tengah dan Asia Pasifik. Dan seperempat perdagangan minyak mentah dunia melewati Selat Malaka.
Dengan demikian,  di tengah perekonomian Cina yang semakin digdaya saat ini, Laut Cina Selatan dipandang Beijing sebagai jalur perairan terpenting secara strategis di dunia, terutama untuk tanker minyak dan bulk carrier khusus yang membawa sumberdaya energi dan bahan baku lainnya ke Cina.  Apalagi Cina menyadari betul bahwa sepertiga minyak mentah yang diperdagangkan di dunia melewati perairan Laut Cina Selatan.
Maka itu tak heran jika Cina saat ini terlibat sejumlah sengketa perbatasan terutama Spartly (Nansha) dan Paracel (Xisha), dengan Vietnam, Filipina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei. Adapun di kawasan utara, di Laut Cina Timur, Cina bersengketa dengan Jepang atas Kepulauan Senkaku (yang di Cina dikenal sebagai Diaoyutai).
Informasi yang berhasil dihimpun oleh tim riset Global Future Institute, dalam pertemuan tersebut Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi sempat menyinggung tentang Silk Road Economic Belt (SERB) in Asia dan Maritime Silk Road Point (MSRP).
Bayangkan jika Indonesia begitu saja menerima skema kerjasama pembangunan infrastruktur kemaritiman berdasarkan skema SERB dan MSRP, maka Cina akan membantu pembangunan infrastruktur di pulau-pulau besar di Indonesia. Sehingga sebagai imbalannya, Cina sebagai investor pada perkembangannya ke depan akan menguasai akses pelabuhan-pelabuhan dan galangan kapal di Indonesia.
Berdasarkan pada tawaran kerjasama Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP, apakah kerjasama tersebut bersifat saling menguntungkan antara Indonesia dan Cina?
Ini penting mengingat kenyataan bahwa Cina memang mempunyai sasaran strategis menguasai wilayah-wilayah yang berada di jalur Laut Cina Selatan, yang merupakan Jalur Sutra Maritim. Untuk menguasai Jalur Sutra Maritim, Cina punya doktrin kemaritiman yang dikenal dengan String of Pearl.
Jika tawaran Cina berdasarkan skema SERB dan MSRP tersebut disetujui mentah-mentah oleh Presiden Jokowi, maka pembangunan dan pengembangan infrastruktur maritim tersebut justru kontra produktif dari tujuan strategis kita untuk meningkatkan pertahanan dan keamanan maritim Indonesia.
Sengketa perbatasan Cina dengan Vietnam, bisa jadi merupakan salah satu faktor pemantik (triggering factor) berkobarnya perang terbuka antara Cina dan Amerika Serikat dalam beberapa waktu ke depan. Mengingat kenyataan bahwa saat ini Vietnam secara aspiratif berbagi ketakutan yang sama dengan beberapa negara ASEAN yang merupakan sekutu tradisional AS seperti Filipina, Malaysia dan Brunei.
Berkenaan dengan hal tersebut, maka rencana Cina untuk membangun kerjasama ekonomi dengan Indonesia dengan menanam investasi di Bitung, Sulawesi Utara, kiranya patut diwaspadai.  Seusai pertemuan antara Menko Perekonomian Chairul Tanjung dan Duta Besar Cina H.E. liu Jianchao, Cina akan menetapkan Indonesia sebagai wilayah target investasinya. Bahkan bukan itu saja. Cina ingin masuk dalam satu kawasan ekonomi khusus (KEK) di Indonesia.
Dan sasaran Cina untuk diintegrasikan melalui skema KEK adalah Bitung, Sulawesi Utara. Di Bitung, salah satu kota di Sulawesi Utara, Cina akan membangun kawasan perindustrian secara menyeluruh, berikut infrastrukturnya seperti pelabuhan dan bandara, dalam satu kompleks. Jika kita tidak berhasil mengetahui agenda-agenda tersembunyi Cina, maka bisa dipastikan akan menjadi bencana geopolitik bagi Indonesia.
Prakiraan akan bercokolnya kepentingan strategis militer Cina dibalik skema KEK, terlihat dari beberapa indikasi. Antara lain adalah:
Pertama, ambisi Cina membangun sendiri infrastrukturnya terutama bandara udara dan pelabuhan laut. Pola ini hampir mirip saat Cina membangun pelabuhan-pelabuhan laut pada beberapa negara pesisir (tepian) di Kawasan Jalur Sutera (laut) sebagai implementasi string of pearl, strategi handalnya untuk mengamankan “energy security” (ketahanan energi)-nya;
Kedua, secara kultur, agama dan ras (maaf), langkah Cina membangun KEK di Bitung kemungkinan tidak bakal ada penolakan secara signifikan dari masyarakat sekitarnya, bahkan cenderung diterima dengan tangan terbuka karena dinilai justru bisa meningkatkan perekonomian wilayah timur;
Ketiga, letak Bitung di antara dua Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II dan ALKI III, dimana secara geoposisi cukup strategis, karena selain Sulawesi Utara dianggap pintu gerbang Indonesia (dari Timur) menuju Asia Pasifik, ia juga dapat mengendalikan dua ALKI sekaligus;
Keempat, pembangunan KEK di Bitung, kemungkinan selaras dengan “welcome”-nya Timor Leste terhadap militer Cina, sebagaiman dikatakan oleh Xanana Gusmao. Artinya kelak akan ada interaksi secara masif antara Bitung dan Timor Leste melalui ALKI III-A;
Kelima, inilah kontra-strategi Cina dalam rangka membendung gerak laju Amerika (AS) di Asia Pasifik, kendati “aura” Paman Sam sebenarnya lebih dulu menebar di Indonesia Timur baik via pangkalan militer di Philipina, dll maupun melalui World Ocean Conference (WOC) 2009 di Menado. Itulah jawaban (sementara), “Kenapa Cina memilih Bitung?”
Dari kajian geopolitik, sepertinya Sulawesi cq Bitung hendak dijadikan semacam proxy war antara Cina versus AS. Keduanya hendak-saling berebut pengaruh sebagaimana terjadi di banyak negara Afrika, Cina via “Pendekatan Panda”, sedang Paman Sam —seperti biasa—melalui penyebaran (pangkalan) militernya. Pertanyaannya kini, “Bagaimana takdir geopolitik Indonesia nantinya?”

Penulis: Hendrajit dan M Arief Pranoto, Peneliti Senior Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com