M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Sepertinya ada budaya dalam Dinasti Amerika Serikat (AS), ketika Presidennya hendak turun takhta atau kembali naik periode berikutnya, seolah-olah menjadi kewajiban menyuguhkan (pesta) kepada bangsa-bangsa lain di dunia dalam bentuk atraksi militer dan hegemoni negara. Kendati hasilnya tidak semua berhasil bahkan tak sedikit yang kalah dan mundur dari kancah peperangan. Begitulah tradisi. Pertanyaan sejak kapan budaya itu berlangsung, memang tidak ada referensi pasti. Ya, tradisi tersebut dinamai oleh zaman sebagai “Pesta Kabaret”.
Kabaret itu persembahan siapapun Presiden AS kecuali apabila ia terkenaimpeachment atau karena alasan lain. Terbunuh di masa jabatan misalnya, seperti James Garfield, Jeff Kennedy, William Mc Kinley; atau wafat akibat sakit semacam William Harrison, Franklin Roosevelt, Warren Harding dan seterusnya.
Lazimnya Kabaret berupa show of force militer ke negara lain dengan berbagai motif, modus atau dalih-dalih lain. Tak bisa dielak, Richard Nixon menampilkan invasi militer ke Vietnam meski ternyata kalah perang; Ronald Reagan mengirimkan marinir ke Lebanon – kemudian Grenada di Karabia pun diserang; Jimmy Carter melalui operasi Eagle Claw berusaha membebaskan sandera di Teheran, tetapi gagal total karena helikopter Delta Force jatuh dihempas badai; Bush senior menyuguhkan superiornya ketika “mengusir” Saddam Hussein yang ingin merebut Kuwait, dan lain-lainnya.
Masih ingat Cast Lead (Menuang Timah)? Inilah sandi operasi militer yang digelar Israel di Jalur Gaza pada 27 Desember 2008 lalu yang memakan ribuan korban baik harta benda, luka-luka maupun jiwa-jiwa melayang terutama nyawa perempuan dan anak-anak. Itulah potret “Pesta Kabaret”-nya Bush junior sebelum ia turun takhta digantikan Obama. Tampaknya sejarah berulang. Pasca pilpres 2012 dan naiknya kembali Obama pada periode berikut, Israel melancarkan operasi militer bersandiPillar of Cloud (Pilar Awan). Gaza kembali porak-poranda dibombardir oleh roket-roket Israel, drone (pesawat tanpa awak), pesawat tempur dan mesin perang Israel lainnya. Pertanyaan menggelitik pun muncul: Apakah perang di Gaza ini juga “Pesta Kabret”-nya Obama?
Jika dibuat perbandingan, terdapat kesamaan pola dan suasana atas dua operasi militer Israel yang digelar di Jalur Gaza (Cast Lead dan Pillar of Cloud) dimana terindikasi merupakan tradisi tua (Kabaret) superpower, antara lain:
Pertama, kedua operasi militer tersebut digelar di tengah-tengah keterpurukan AS, selain kebangkrutan ekonomi, krisis sosial, moral, bencana-bencana alam tak kunjung henti di dalam negeri, juga “kehancuran militer” di luar negara. Misalnya, operasi Cast Lead di era Bush tatkala medan perang di Iraq telah menjadi “neraka” bagi tentaranya, atau manakala Afghanistan tidak bisa diprediksi bagi kemenangan serdadu AS dan sekutu, maka pilihan Kabaretnya jatuh di Gaza. Agaknya Obama pun demikian pula. Selain kondisi ekonomi dalam negeri carut-marut, menguatnya krisis sosial dan politik —ditandai Texas memprakarsai pisah dari Washington— diikuti banyak Negara Bagian AS lainnya, ada bencana (Sandy Hurricane) yang sempat melumpuhkan New York, dan “melemah”-nya kekuatan militer AS di dunia dengan munculnya adidaya (Rusia dan Cina) baru, selain Irak dan Afghanistan memang sudah tidak dapat diharapkan lagi.
Kedua, jika dogma Cast Lead berasal dari Rabbi Yahudi, Mordachi Elyaho yang mengizinkan militer membunuh perempuan dan anak-anak. Sedangkan Pillar of Cloud meski tidak terdapat dogma khusus dari Rabbi, akan tetapi dalam salah satu kursus militer yang digelar Pentagon bagi para perwira AS masa depan di Norfolk, Virginia, mendoktrin bahwa Islam adalah musuh yang wajib dihancurkan. Karena itu, Amerika mengagendakan penghancuran tempat-tempat suci Islam, yakni Makkah dan Madinah —kota tempat Ka’bah dan makam Nabi Muhammad SAW berada— dengan bom atom. AS bakal melontarkan bom atom ke Makkah dan Madinah laiknya saat mereka membumihanguskan Hirosima dan Nagasaki di Jepang pada Perang Dunia II. Luar biasa! Gaung bocoran doktrin ini menggema kemana-mana, walau Pentagon berusaha mengelak dengan menskors (menindak disiplin) sang instruktur Letkol Mattew Dooley tapi ia tidak dipecat. Ya, mirip dogma Mordachi Elyaho di atas, Letkol Dooley mendoktrin para perwira agar tidak mempedulikan berapa banyak nyawa warga sipil Muslim yang bakal melayang. Ia memprovokasi, teori perang yang ditetapkan Konvensi Jenewa sudah tidak relevan dengan teori perang sesungguhnya. “Ini membuka opsi baru, di mana perang dengan penduduk sipil boleh dilakukan, jika diperlukan. Sebab sudah ada sejarahnya seperti Tokyo, Hiroshima dan Nagasaki”.
The Guardian melaporkan, skenario Amerika berikutnya adalah ingin menjadikan Saudi dan Islam terancam kelaparan. Meski awalnya menutup-nutupi pelatihan tersebut, akhirnya Pentagon menghentikan kursus tersebut. Penghentian kursus tersebut diawali protes seorang perwira yang menilai materi kursus bertentangan dengan pernyataan pemimpin AS tahun lalu, yang mengatakan AS memerangi kelompok fundamentalis Islam, bukan memerangi ajaran Islam!
Ketiga, dalam Perang Gaza, Israel yang mengawali namun ia juga yang ingin (mengakhiri) gencatan senjata dengan Hamas. Misalnya ketika menggelar Cast Lead dulu, gencatan senjata sepihak dinyatakan oleh Israel (17/1/2009). Target kemenangan diklaim atas nyawa ribuan anak-anak dan perempuan. Memilukan sekaligus memalukan. Awalnya Hamas menolak gencatan tetapi akhirnya mengumumkan hal yang sama (19/1/2009). Agaknya dalam Pillar of Cloud pun berulang kembali, ia mendahului meminta gencatan senjata. Al Alam mengutip koran Yediot Aharonot menulis, bahwa Israel ingin gencatan senjata dengan jaminan Mesir (9/11/2012). Pemerintah rezim Israel mendesak ditandatanganinya kesepakatan gencatan senjata 15 tahun dengan kelompok-kelompok perlawanan Palestina di Gaza. Secara rinci ia meminta gencatan senjata untuk jangka waktu enam bulan di bawah pengawasannya. Langkah berikutnya, gencatan senjata untuk 15 tahun dengan jaminan Presiden Mesir, Muhammad Mursi.
Menyimak ketiga indikasi di atas, bahwa perkembangan situasi politik global kedepan memang unpredictable and turbulent (tak bisa diramalkan dan sering bersifat tiba-tiba). Maka dengan merujuk judul catatan ini, saya teringat ucapan Bung Karno beberapa dekade lalu: “Kapitalisme yang terjebak krisis akhirnya membuahkan fasisme, sedang fasisme ialah perjuangan penghabisan para monopolis kapitalis yang terancam bangkrut”. Panik! Jangan-jangan Perang Dunia III bukan di Laut Cina Selatan tetapi dipicu oleh konflik di Gaza?
Silahkan saudara-saudara mencermatinya.
(Dari berbagai sumber)