Perang Dunia Maya, Politisasi Barrack Obama dan Hillary Clinton Terhadap Kebebasan Informasi Internet

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Menyusul terbentuknya CYBERCOM pada 2009, pada 2010 Amerika meluncurkan apa yang disebut sebagai The Global Internet Freedom (GIFA), untuk memerangi yang mereka anggap sebagai musuh sekaligus ancaman global Amerika. Yang mengkhawatirkan, melalui skema GIFA ini, Amerika tidak segan segan akan memblokir dan menyensor aksi informasi di dunia maya yang mereka klaim akan mengancam keamanan nasional AS. Lucunya, klaim AS dalam mengembangkan strategi global dunia maya ini adalah untuk menjamin kebebasan dalam media internet.

Dalam skema GIFA in HR 5524, AS nampaknya tak akan segan segan untuk memblokir dan menyensor semua website dan email yang mereka klaim mengancam kebebasan internet. Satu lagi alasan AS yang kiranya perlu diwaspadai, bahwa mereka menjalankan skema GIFA dengan dalih untuk melawan dan memerangi pemblokiran media-media internet yang didukung oleh negara. Sepertinya secara tersirat yang dituju AS adalah Cina dan Rusia yang notabene merupakan negara negara musuh utama Amerika berdasarkan Blueprint Project of New American Century (PNAC).

Namun efek sampingan dari perang AS di dunia maya melalui skema GIFA itu ke depannya akan membahayakan kebebasan informasi juga. Betapa tidak. Melalui GIFA ini pula, lewat International Broadcasting Bureau, AS akan menyadap sektor-sektor swasta dan semua instansi pemerintah dengan dalih untuk membantu para pengguna internet mencegah penyensoran negara negara yang oleh AS diklaim sebagai melawan kebebasan informasi.

Lagi-lagi, yang dimaksud adalah Cina dan Rusia. Padahal, dengan dalih ini, para pemegang otoritas keamanan di Washington jadinya punya akses untuk menyadap dan melacak semua identitas dan kegiatan warga negaranya sendiri maupun warga negara asing. Tak terkecuali warga negara Indonesia pun ke depannya akan berada dalam pantauan AS. Tentu saja berbahaya dari segi privasi warga negara maupun kedaulatan sebuah bangsa seperti Indonesia.

Apalagi kalau kalau kita lihat faktanya, justru AS lah yang seringkali melansir berita berita atau informasi penyesatan yang justru menciptakan aksi destabilisasi ekonomi, sosial-budaya, keamanan dan instabilitas politik bagi negara-negara berkembang seperti Irak, Suriah dan Libya. Dan tentu saja Mesir. Negara-negara tersebut, pada akhirnya berhasil menumbangkan para pemimpin negaranya dengan aksi-aksi informasi yang mereka lancarkan terhadap warga masyarakat di negara-negara tersebut.

Dan AS rupanya tak tanggung tanggung. Melalui Kongres AS, Maret 2012 lalu berhasil menggolkan Global Online Freedom Act, sebuah perangkat hukum yang diberlakukan dengan dalih untuk mendukung Kebebasan Informasi Internet Global. Dengan memblokir ekspor teknologi kepada negara-negara yang dalam pandangan AS dipimpin oleh rejim-rejim yang tidak demokratis atau otoriter.

Padahal kalau kita telisik lebih jauh, latarbelakang keluarnya UU tersebut, karena dipicu oleh karena karena keberhasilan Pemerintah Cina mengakses informasi di Yahoo terhadap pembangkang Cina bernama Wang Xiaoning.

Rupanya keberadaan CYBERCOM, GIFA maupun Global Online Act, memang sebagai pencanangan perang di dunia maya bagi Washington. Terbukti bahwa dalam keputusan untuk mengekspor teknologi informasi ke negara-negara lain, harus mendengarkan dulu pertimbangan pihak Departemen Luar Negeri AS. Bahwa negara negara yang akan diizinkan menerima pasokan teknologi informasi dari perusahaan-perusahaan IT yang beroperasi di AS, yang dalam penilaian Departemen Luar Negeri AS telah menjalankan Freedom of Electronic Information. Termasuk dalam kaitan dengan penyensoran dan pemblokiran media media internet di negara negara yang bersangkutan.

Salah satu contoh nyata, baru baru ini beberapa perusahaan swasta bidang Information Technology menolak menjual perangkat teknologi informasi mereka kepada Pakistan, setelah mendapat tekanan dan laporan dari sebuah LSM Pakistan bernama Bolo Bhi.

LSM Pakistan macam Bolo Bhi, seperti juga advocacy group lainnya di negara berkembang, sejatinya merupakan LSM yang dibiayai oleh lembaga lembaga funding internasional seperti UNDP, USAID, NDI atau yang sejenis dengan itu.

Sehingga dari sini saja jelas lah sudah, bahwa AS telah melakukan politisasi Kebebasan Informasi untuk mendukung dan melayani kepentingan kepentingan strategisnya sendiri.

Karena dalam masa pemerintahan Presiden Barrack Obama, Pakistan dinilai semakin independen dan berpotensi untuk mandiri sebagai kekuatan di Asia Selatan. Gerakan Dana Rohbacher, anggota Kongres AS dalam memotori keluarnya Resolusi Kongres agar Baluchistan bisa memisahkan diri dari Pakistan, merupakan contoh lain yang menggambarkan betapa AS telah memandang Pakistan sebagai ancaman baru di masa depan seperti halnya juga Rusia, Cina dan Korea Utara.

Karena itu, tak heran jika Dunia Maya akan dijadikan bagian integral dari perang diplomasi AS terhadap Rusia dan Cina kini dan kelak. Terbukti bahwa Presiden Obama maupun Menteri Luar Negeri Hilary Clinton telah mengidentifikasi Kebebasan Informasi Internet sebagai Prioritas utama Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat (Baca Launch of Internet Freedom Coalition at Freedom Online Conference).

Beberapa Bahan Rujukan :

1.Shane Greenberg, Global Internet Freedom Act

2.Sarah Lai Stirland, House Subcommittee Aproves Global Online Freedom Act, 27 Maret 2012

3.Launch of Internet Freedom Coalition at Freedom Online Conference, www.state.gov

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com