Perlu Cara Pandang Geopolitik dalam Perumusan Politik Luar Negeri dan Pertahanan Nasional RI

Bagikan artikel ini

Laporan Rohman Wibowo, Junior Research Associate Global Future Institute (GFI) dan Alumni Fakultas Sosial-Politik jurusan Hubungan Internasional, Universitas Nasional

Sekretariat Jenderal MPR RI Bersama Pusat Studi Masyarakat (PSM) Universitas Nasional (UNAS) serta  Global Future Institute (GFI) Bersinergi Merumuskan Kebijakan Strategis politik luar negeri dan pertahanan nasional Indonesia,

Indonesia sudah selayaknya punyai cara pandang tentang diri dan lingkungannya yang kita kenal dengan  Wawasan Nusantara – demi menjaga kepentingan nasional dan tujuan nasional.

Harapan guna dapat berikan referensi bagi perumusan kebijakan Indonesia dalam lintas sektoral – pertahanan-keamanan dan politik luar negeri adalah titik berangkat dari terlaksananya seminar yang bertajuk “Kajian Akademik Materi Penyusunan Haluan Negara Sebagai Rujukan Haluan Pembangunan (Bidang Pertahanan Keamanan dan Politik Luar Negeri).

Gelaran seminar yang angkat topik sarat kepentingan strategis Indonesia ini merupakan kerjasama antara Universitas Nasional (UNAS) dan Sekretariat Jenderal MPR RI. Tepatnya, Selasa (17/07/18) kampus UNAS jadi tuan rumah yang mempertemukan; para tim ahli, pemateri serta segenap mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Politik UNAS.

Tak tanggung-tanggung, pemateri yang hadir mengisi seminar di kampus yang didirikan budayawan sekaligus sastrawan Sutan Takdir Alisyahbana ini memiliki kompetensi yang mumpuni. Antara lain, Hendrajit – Direktur Eksekutif Global Future Institute dan Irma Indrayani – Dosen Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UNAS.

Seminar diawali dengan pernyataan yang membuat para audiens mengerinyitkan dahi. Pasalnya, Irma selaku pemateri pertama menuturkan dalam statement awalnya bahwa sejak memasuki era reformasi, tidak ada grand design terpadu permususan kebijakan maupun politik – baik yang bersifat ofensif ataupun defensif dalam rangka menjaga pertahanan-keamanan dan ketahanan nasional.

Lebih lanjut, dosen yang mengambil topik disertasi perihal kebijakan kemaritiman ini mengungkapkan kalau negara Indonesia sudah di- anugerahi sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, maka lingkup pembangunan nasional seharusnya terbingkai dalam 3 alur sirkulasi nasional.

Ia menjabarkan 3 alur sirkulasi nasional itu terbagi dalam lingkup transportasi, komunikasi dan informasi. Dalam konteks transportasi – Indonesia harus memperhatikan sarana infrastruktur tiga matra (Laut, udara, darat)  sebagai akibat konsekuensi negara kepulauan.  Untuk itu, diperlukan sarana infrastruktur semisal pelabuhan dan kapal berstandar nasional ataupun internasional yang tersebar di berbagai belahan pulau di Nusantara.

Adapun dalam ruang komunikasi dan informasi, ia menegaskan sudah sepatutnya terdapat sinkronisasi secara menyeluruh tanpa terkecuali. Hal ini bertujuan guna ciptakan jalur koordinasi dan komunikasi yang efektif dan stabil antar masyarakat maupun antar institusi dengan segudang aktifitas ekonomi-non ekonomi agar terjalin harmonisasi di tengah realitas Indonesia berkarakter negara kepulauan.

Alhasil, di ujung sesi materi, ia pun memberi berbagai rekomedasi rumusan kebijakan yang dapat ditempuh Indonesia. 1.) Kebijakan berpijak kepada kepentingan Indonesia sebagai negara maritim. 2.) Kebijakan untuk perkuat kerjasama antar wilayah perbatasan dengan negara tetangga. 3.) Kebijakan untuk perkuat perangkat Alutsista. Sedangkan isu yang dikedepankannya meliputi; Human Security, Terorisme, Krisis Moneter, Lingkungan Hidup dan Cyber Crime. Menurutnya, kelima isu tersebut adalah isu kontemporer yang jadi trend issues internasional.

Bagaikan arena dialektika yang progresif. Hendrajit selaku pemateri selanjutnya hadir sebagai penyempurna dengan berbagai gagasan-gagasan sebagai hasil refleksi dan amatannya. Mengambil sudut pandang ala Geopolitik, mantan wartawan senior ini menelorkan beberapa hal yang menggugah audiens.

Pertama-tama dengan tegas, ia menjelaskan bahwa apa yang disebut dengan pragmatic based policy sebagai kerangka berpikir yang menjangkiti stakeholder negeri ini. Soal hal itu, ia mengatakan telah terjadinya disorientasi terhadap cara pandang melihat diri Indonesia dan lingkungannya.

“Melalui landasan berpikir Geopolitik men yang memandang interaksi antara negara dan ruang hidupnya, sudah selayaknya menjadi titik awal perumusan kebijakan dan politik luar negeri Indonesia dan bukan lagi berkiblat kepada cara berpikir pragmatisme,” Hendrajit menambahkan.

Berkaitan dengan gaya amatan Geopolitik itu, ia menandaskan bahwa Wawasan Nusantara adalah rumusan dasar gerak otentik khas Indonesia yang seharusnya dipegang teguh segenap para pemangku kebijakan.

Wawasan Nusantara itu sendiri adalah cara pandang sebagai refleksi atas mawas diri suatu negara terhadap lingkungannya agar mampu bergerak sesuai dengan kapabilitas yang dimiliki serta mampu memprediksi ataupun menangkal segala bentuk ancaman dalam hajat menjaga ketahanan nasional.

Lebih mendalam, ia menjelaskan bahwa aspek pertahanan-keamanan (Hankam) saja tidak cukup jikalau disebut sebagai parameter cara pandang utama.

Namun, ruang lingkup yang termaktub dalam Ipoleksosbud (Ideologi, politik-ekonomi dan sosial-budaya  serta pertahanan-keamanan) tak kalah pentingnya untuk jadi perhatian bersama. Artinya unsur yang terkandung dalam Ipoleksosbud maupun Hankam harus memancang secara terintegrasi ked dalam kebijakan strategis nasional.

Menurut Hendrajit di sinilah urgensi untuk memahami dan menghayati geopolitik sebagai landasan penyusunan konsepsi ketahanan nasional. Sehingga Paca Gatra yang terdiri dari IPOLEKSOSBUD HANKAM dengan Trigatra yang terdiri dari Geografi, Demokgrafi/kependudukan, dan Sumber Daya Alam, dapat bersenyawa dan saling menjaga. Pancagatra adalah aspek sosial dari kondisi geografis Indonesia, sedangkan Trigatra merupakan aspek alamiah dari kondisi geografis Indonesia.

Keduanya, harus bersenyawa dan bersinergi. Sehingga Geopolitik akan menjadi pengetahuan tentang seluk beluk konstelasi geografis Indonesia baik Kondisi Sosial/IPOLEKSOSBUD-HANKAM, maupun kondisi alamiah/Geografi-Demografi dan Sumberdaya Alam.

Sayangnya menurut Hendrajit, Panca Gatra dan Trigatra sejak era Orde Baru hingga sekarang tidak bersinergi dan bersenyawa. Misal, waktu terjadi benturan Sunni-Syiah di salah satu daerah di Sampang Madura, warga setempat terpancing dalam tebaran isu tersebut.  Tanpa menyadari bahwa benturan sunni-syiah itu bertujuan agar kemudian terjadi relokasi warga setempat dari daerah konflik, sehingga dareah setingkat kecamatan itu jadi daerah tertutup.

Kenapa dijadikan daerah tertutup dengan dalih terjadi benturan sunni-syiah? Di daerah tersebut itu setiap harinya di bumi sampang itu memancar 14 ribu barel minyak per hari dengan penghasilan 1,4 juta dolar AS per hari. Ada banyak perusahaan minyak asing dengan berkolaborasi dengan elit lokal setempat, bermaksud kongkanglingkong tanpa pengawasan publik.

Pihak yang dimaksud  adalah kongkanglingkong antara aparat TNI/Polri setempat, Aparat Pemda Setempat, dan kalangan pengusaha lokal yang sedang kolaborasi dengan beberapa korporasi asing seperti Santos Brazil, Connoco Philip AS, Petro China dan Eny Italia.

Selain itu, pengkaji Geopolitik ini pula menambahkan refleksi atas fenomena yang terjadi di Sampang, Madura itu, menandakan sinyal untuk segera memperhatikan aspek-aspek yang terjelma – baik dalam Trigatra maupun Pancagatra. Aspek Trigatra yang berisikan seperti Geografi, Demografi dan Sumber daya alam harus pula diselaraskan dengan lingkup Pancagtra yang terkandung dalam Ipoleksosbud-Hankam itu.

“Keselarasan antara Trigatra dan Pancagatra dijadikan bagian integral dalam satu tarikan napas sebagai visi geopolitik yang jadi dasar penyusunan Wawasan Nusantara sekaligus implementasi dari cara pandang Geopolitik.” Hendrajit menyimpulkan.

Beralih kepada isu internasional, Hendrajit pun mengungkapkan bahwa dinamika sistem internasional yang semakin dinamis haruslah dijadikan acuan agar Indonesia semakin mawas diri. Cerminan Sistem Internasional yang tekesan bersifat Multipolar ini harus disikapi secara kritis oleh Indonesia dengan membaca manuver politik antar negara-negara adikuasa. Seperti AS, Cina, Jepang, Uni Eropa, Rusia dan bahkan India.

Yang paling terkini, pertemuan antara presiden Korea Utara dan Amerika Serikat. Di balik  ekspose banyak media yang menggambarkan kemesraan dua negara ini – bahwa semakin menunjukan eskalasi politik semakin memanas. Trump dalam hal ini harap-harap cemas dengan semakin masifnya uji coba rudal balistik negeri pimpinan Kim Jong Un itu. Hal ini sah-sah saja, ketika Korea Selatan yang notabene-nya sebagai sekutu Amerika Serikat merasa terancam atas aktifitas militer yang diperagakan AS dan Korsel di Semenanjung Korea.

Di sisi lain, Kim Jong Un yang mencoba bangun relasi dengan Cina adalah faktor pendukung lainnya yang mencerminkan eskalasi politik yang semakin memanas itu. Pada konteks ini, persaingan dalam rangka meraih hegemoni dunia antara Amerika Serikat Versus Cina menyudutkan Trump dengan adanya aktifitas politk Cina-Korea Utara tersebut.

Menyoroti hal itu, Hendrajit menyebutkan bahwa sistem internasional yang terkesan uni polar selepas Perang Dingin – Sejatinya kemudian malah berkembang jadi multipolar sebagai respons dari niatan AS yang awalnya merasa jadi pemenang dan polisi dunia. Karena merasa telah gagal menjadikan dirinya sebagai kekuatan unipolar atau kutub tunggal, AS sepertinya sedang mengondisikan kembali hidupnya konflik dua kutub alias Biipolar.

Dalam membaca tren globnal seperti ini, menurut Hendrajit, bagi Indonesia sebenarnya merupakan momentum untuk mengaktualisasikan kembali semangat Dasa Sila Bandung 1955 dan Gerakan Non Blok 1961. Sebab kedua gerakan internasional yang dipelopori oleh Indonesia semasa pemerintahan Sukarno tersebut, KAA Bandung 1955 dan Gerakan Non Blok 1961, sejatinya merupakan respon pro aktif Indonesia dan negara-negara berkembang terhadap adanya polarisasi dua kutub.

Sehingga KAA Bandung dan Gerakan Non Blok, kemudian mebentuka kutub kekuatan tersendiri. Begitulah. Berdasarkan penerapan asas politi luar negeri Bebas-Aktif maupun visi geopolitik, Indonesia berhasil mempeloporari munculnya kekuatan ketiga di antara blok Barat yang dimotori AS dan blok Timur yang dimotori Cina dan Uni Soviet.

Sebagai pamungkasnya, Hendrajit mentitik-beratkan kembali esensi dan makna apa itu cara pandang Geopolitik Indonesia yang tercermin dalam asas Wawasan Nusantara yang sepatutnya menjadi kekuatan utama dalam lancarkan manuver kebijakan dan politik luar negeri Indonesia.

Soal ini, Hendrajit berkaca kepada sosok Bung Karno yang sangat paham betul menyajikan cara pandang Geopolitik bagi Indonesia lewat manuver politiknya menginisiasi aliansi revolusioner antar negara berdasarkan persamaan hak bahwa setiap negara dapat menentukan nasibnya sendiri, yaitu tercermin dalam Gerakan Non Blok dan Konferensi Asia Afrika.

Singkat cerita, Irma Indrayani maupun Hendrajit, sepakat bahwa perlu cara pandang baru dalam penyuisunan Politik luar negeri dan pertahanan nasional RI. Cara pandang geopolitik untuk mengenal diri dan lingkungannya secara benar dan tepat.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com