Adji Subela, Wartawan Senior dan Pemerhati Sosial-Budaya
Entah kenapa, pengunjung warung kopi Mas Kampret kini ramai bicara soal intelejen, masalah pelik yang sulit dipahami kaum awam. Bahkan kaum intelektual pun belakangan ini juga geleng-geleng kepala melihat gejala dan tingkah laku lucu badan intelejen maupun orang-orang yang mengaku sebagai anggota intel.
Ini semua gara-gara Dul Kempot lempar tebakan tentang siapa yang bakal mengepalai Badan Intelejen Negara (BIN). Mendadak sontak semangat pengunjung warung tersebut menyala berkobar-kobar bagai Pertamax disambar api. Padahal mereka tahunya cuma banyak orang bisik-bisik cari rekomendasi kepingin jadi intel. Di lain pihak, ada yang menawarkan jasa untuk jadi anggota BIN. Lencana (bayangkan!) dan tanda anggotanya (!) sudah disiapkan. Model kayak gini tentu ada “maharnya”. Bukan sekedar menraktir di warung tegal, tapi uang kontan jutaan rupiah. Uang pendaftaran itu diharapkan kembali dalam tempo singkat bila anggota baru tadi mendapatkan kasus kakap. Ujung-ujungnya bisa diterka, calo gemblung itu ditangkap polisi, dan ia sendiri ternyata tak berdaya digelandang hamba wet.
Kata Mas Gendut, ilmu intelejen bisa dipelajari secara terbuka, terutama di kampus, sama peluangnya mempelajari ilmu/pengetahuan lain bahkan ideologi seperti komunisme, kapitalisme, bahkan aliran atheis sekalipun. Akan tetapi modus dan rencana operasi mustahil dibeberkan ke publik, kecuali membuat eksperimen gemblung. Namanya intelejen atau telik sandi itu harus serba rahasia. Maka aneh betul kalau badan intelejen mengumumkan MoU dengan instansi lain untuk bekerja sama. Masih untung bangsa ini tidak diberitahu rencana dan modus operandinya sekalian.
Pascareformasi dunia intelejen kita ya seperti yang digambarkan di atas itu, amburadul, lucu, tidak masuk akal. Pendek kata lemah. Dulu di masa Orde Baru, terlepas dari tujuannya, intelejen kita kuat dan disegani negeri luar. Namun di masa akhir kekuasaannya Soeharto berhasil melemahkan intelejen dengan mempretelinya yang kemudian institusi tersebut tergelincir ke ranah politik. “Intelejen bermain politik,” tulis Jendral Pol (Purn) Drs. Kunarto (1999: 553).
Bahkan Presiden B.J. Habibie sampai memerintahkan Menkopolkam Feisal Tanjung untuk mengundang intelejen asing guna mengungkap dugaan pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998. Tak ada realisasi, tapi hal itu menunjukkan Habibie tidak percaya pada keperkasaan intelejen kita sendiri.
Padahal sekarang ini terjadi pelemahan institusi negara yang mengenaskan. Kelemahan yang nyata belum lama ini adalah tidak adanya “sinkronisasi” atau “kesetiaan” atas kepala negara oleh para petinggi TNI di bawahnya. Saat ini, sekali lagi, sampai saat ini, kita beruntung mendapatkan Presiden yang berani “menenggelamkan” kapal pencuri ikan. Pada model lama, ini diharamkan, karena “tidak konstitusional”, tidak “santun” dan “tidak elegan”, sebab dulu ada semboyan “thousand friends zero enemy”. Ini diplomasi tingkat empuk. Tapi dalam masalah unsur penggertak atau penggentar, gaya Presiden sekarang ini boleh juga. Orang asing akan terkaget dan berpikir dua kali. Maka negeri jiran pun mencap Presiden kita ini sebagai congkak. Kabarnya, demikian Mas Gendut, dalam diplomasi luar negeri, pemimpin suatu bangsa yang kuat umumnya tidak disukai orang luar. Soekarno pernah membuktikannya.
Pemimpin “bersahabat” akan lebih dicintai orang luar, tentu agar lebih mudah masuk ke jerohan negeri ini. Seyogyanya, komandan tingkat bawah mendukung Panglima Tertingginya. Sedangkan pada tingkat praktik di lapangan, tentu boleh ada improvisasi, ada “dinamika”. Di sini intelejen bisa ambil peran aktif, mempertimbangkan segala kemungkinan tanpa kita kehilangan muka di luar. Gertakan tetap menggetarkan tapi tentu ada penyelesaian yang anggun.
Bukankah pihak yang paling dirugikan yaitu nelayan kita dapat digerakkan untuk mengusir kapal ikan asing itu? Dan tidak tergantung pada TNI semata? Bahkan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) nyaris tak terdengar suaranya untuk masalah permalingan ikan ini. Aneh.
Demikian lemahnya intelejen kita, seperti sering dikatakan orang, sehingga tidak mampu memberi masukan apa lagi jalan keluar jitu. Kita seperti kekurangan tokoh kuat di bidang itu. Oleh karenanyalah Panglima TNI Jenderal Moeldoko bertekad mencetak master intelejen sekelas Benny Moerdani serta Hendropriyono, seperti diberitakan mass media belum lama ini.
Sayangnya mencetak para master intelejen tidak semudah mencetak batako. Sekolah intelejen barangkali menghasilkan tenaga lapangan andal, tapi seorang master tampaknya lahir dari ayunan, orang yang memiliki insting, feeling, kepekaan yang tajam mengenai ancaman, sangat cerdik, dibesarkan di beranda situasi yang menempa dirinya untuk menjadi besi aji yang ampuh. Master spy Elli Cohen dari Mossad memiliki kecakapan lapangan (street smart) tinggi. Mossad sendiri dibesarkan oleh pria pendek bernama Isser Harel yang yang semula tidak terkenal tapi keras hati. Ia adalah intel “sejak bayi”. Allen Welch Dulles digembleng pengalaman hingga mampu membangun CIA menjadi kekuatan disegani. Nama Lavrenti Beria disegani, ditakuti, tapi harum dalam sejarah KGB. Perempuan penari bar Matahari (keturunan Belanda-Indonesia) menjadi master spy lantaran kecerdikannya, tanpa lewat akademi intelijen. Masih banyak lagi nama besar lainnya di dunia, orang-orang yang sangat cerdik. Intelejen adalah perang kecerdikan. Banyak kasus besar dipecahkan hanya memakai akal-akalan anak kecil tapi terbukti efektif.
Mengingat betapa rendahnya “rating” Indonesia saat ini, baik di dalam apalagi di luar negeri, tampaknya kita perlu memperkuat institusi intelejen kita seperti di masa awal Orde Baru dengan tujuan yang sama sekali baru sesuai kondisi masa kini serta tantangan masa depan. Institusi yang mampu memberi umpan balik serta masukan yang cerdas-jitu untuk mengatasi masalah bangsa dan negara kini dan masa datang.
Oleh sebab itulah kiranya tidak berlebihan kalau institusi tersebut mutlak dipimpin oleh tokoh bersifat keras hati, ultra-nasionalis, mampu memberi umpan-umpan cerdas serta jitu. Sang tokoh haruslah orang yang tidak memiliki “utang budi” pada Tuan Besar, sebab dia hanya akan menjadi “abdi dalem” yang sekedar memberi laporan ABS (Asal Bapak Senang), sehingga informasi bisa bias luar biasa.
Di samping itu sang tokoh tidak boleh “orang parpol”. Masalahnya, nasib bangsa dan negara kita akan dipertaruhkan secara mengerikan. Bencana besar. Partai politik memiliki perangai menyedihkan, hanya memikirkan kelompoknya untuk sesaat, bukan untuk bangsa dan negaranya jangka panjang, kecuali demi ambisi politik sendiri, sangat sektoral.
Oleh karena itu, demikian Mas Gendut mengakhiri ceramah panjangnya, Presiden harus diingatkan jangan sampai terperosok menyerah (lagi) pada orang parpol untuk ditempatkan di BIN. Sebagaimana gagahnya ia menggertak tetangga, sepatutnyalah dia juga gagah menggertak menolak orang parpol.
———-
Ceramah itu membuat sebagian pengunjung warung kopi mengantuk. Aneh, kopi biasanya membikin orang melek. “Apa kalian perlu kopi oplosan?” teriak Mas Gendut lantang.
“Mau, mau, mau,” jawab sebagian publik warung.
“Dasar gemblung!” hardik Mas Gendut.