Perlu Mempertimbangkan Rusia Sebagai Sekutu Strategis Indonesia Dalam Mengaktualisasikan Politik Luar Negeri Bebas-Aktif

Bagikan artikel ini
Nurachman Oerip, mantan Duta Besar RI untuk Kamboja dan Wakil Duta Besar di Rusia
Disampaikan dalam Seminar Terbatas para ahli dengan tema “MEMBANGUN STRATEGI PERIMBANGAN KEKUATAN DALAM RANGKA MENGAKTUALISASIKAN KEMBALI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG BEBAS DAN AKTIF”, yang diselenggarakan oleh Global Future Institute (GFI) bekerjasama dengan para mahasiswa Fakultas Ilmu Hubungan Internasional Universitas Nasional yang tergabung dalam Vox Muda, Senin 5 Desember 2016, di Jakarta.
Pada hakekatnya Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina sekarang ini harus kita pandang negara-negara imperialistik yang berusaha menguasai sumberdaya alam Indonesia yang melimpah dan kaya raya. Amerika dan Cina punya tujuan yang sama meskipun berbeda niat dalam menguasai negara-negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Bedanya, kalau Amerika punya kekuatan ekonomi dan militer, maka kalau Cina semata mengandalkan kekuatan ekonomi dan keuangannya. Secara militer, Cina belum sanggup menandingi kekuatan militer Amerika. Alhasil, untuk saat ini cara Cina untuk membangun pengaruh atau spehere of influence adalah  dengan mengandalkan kekuatan keuangannya (Financial Power). Sehingga dalam hubungan dengan Cina, sangat didominasi oleh pendekatan transaksional.
Dengan begitu, pendekatan Cina untuk menguasai negara-negara di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, antara lain dilakukan melalui Politik Investasi dan Migrasi Terselubung (Disguised Migration) seperti yang mereka terapkan di Angola, Suriname, dan Timor Leste (dulunya Timor-Timor sewaktu masih berada dalam kekuasaan Indonesia).
Buat saya ini sangat mengkhawatirkan. Berbeda  dengan era pemerintahan Bung Karno, Cina masih bisa kita mainkan untuk selaras dengan kepentingan nasional Indonesia menghadapi ancaman dari negara-negara imperialis Barat seperti Amerika, Inggris, Australia, dan Belanda. Seperti yang dlakukan secara cerdas oleh Bung Karno dengan membangun solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika melalui Konferensi Asia-Afrika Bandung April 1955, atau Gerakan Non-Blok di Beograd pada 1961.
Sekarang Cina sudah punya agenda strategis tersendiri yang sulit disenergikan dengan Indonesia, karena Cina sudah punya China Dream, yaitu untuk menjadikan dirinya sebagao Negara Adidaya Tunggal. Penguasa tunggal di dunia. Kalau sekarang Indonesia bermaksud untuk membangun Strategi Perimbangan Kekuatan dalam rangka mengaktualisasikan Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif, maka baik Amerika maupun Cina bukanlah sahabat-sahabat sejati Indonesia. Baik Amerika maupun Cina telah terbukti dalam sejarah bukan merupakan sekutu strategis maupun taktis yang bisa kita andalkan. Maka itu, kita sebagai bangsa perlu lebih mengandalkan kekuatan sosial-budaya Indonesia sendiri. Jatidiri bangsa kita sendiri. Seraya menjalin dan memantapkan hubungan kerjasama negara-negara lain yang kita pandang bervisi sama dengan negara kita, Yaitu yang sama-sama didasari semangat untuk merevitalisasi Substansi Dasa Sila Bandung 1955. Pada intinya, jangan-jangan sekali Indonesia menggantungkan nasib bangsa kepada bangsa lain.
Untuk merealisasikan Strategi Perimbangan Kekuatan dalam rangka Mengaktualisasikan Politik Luar Negeri RI yang Bebas dan Aktif, maka menurut saya perlu mempertimbangkan agar Indonesia mendapatkan duklungan strategis dari salah satu negara yang menjadi anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu Rusia.
Menurut hemat saya, Rusia lah sekutu sejati Indonesia sejak negeri kita memperjuangkan kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Rusia-lah yang berjuang mati-matian agar Irian Barat kembali ke tangan Indonesia. Bukannya Cina. Cina justru tidak terlalu membantu banyak dalam hal perjuangan Indonesia merebut kembali Irian Barat baik melalui jalur diplomasi maupun bantuan militer. Sedangkan Rusia pada saat itu sangat besar bantuan yang diberikan di bidang peralatan militer dan persenjataan.
Satu hal lagi yang tidak boleh kita abaikan, penduduk Muslim di Rusia juga sangat besar, kalau tidak salah mencapai kurang lebih sekitar 20 juta orang. Sehingga fakta ini jelas merupakan modalitas sosial atau social capital yang tidak bisa kita abaikan begitu saja.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com