Otjih Sewandarijatun, peneliti di Galesong Institute dan LSISI Jakarta
Seperti diberitakan sebelumnya, kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso, Din Minimi menyampaikan sejumlah permintaan di antaranya, reintegrasi GAM, pemerintah memperhatikan yatim piatu, memperhatikan para inong balee (janda GAM) agar mereka sejahtera. Selain itu, permintaan lain adalah agar KPK turun ke Aceh dan saat Pilkada 2017 mendatang, ada tim independen yang menjadi pengawas di Aceh. Din Minimi dan pengikutnya menyerahkan diri dan meminta amnesti kepada Presiden.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Sutiyoso sudah berkonsultasi dengan Menkum HAM Yasonna H Laoly soal permintaan amnesti Nurdin Ismail alias Din Minimi dan anggotanya. Hal ini dibenarkan Seskab Pramono Anung menyatakan permohonan amnesti tersebut sudah disampaikan kepada Presiden Jokowi. Langkah turun tangan langsung oleh Kepala BIN Sutiyoso disebut Seskab telah diketahui oleh Presiden Jokowi.
Menurut Menkumham, menyerahnya kelompok Din Minimi jadi salah satu pertimbangan untuk pemberian amnesti. “Amnesti itu kewenangan presiden, tentu kami sebagai pembantu presiden akan memberi pendapat tentang itu. Saya kira kalau sudah turun baik-baik dari gunung tidak mau angkat senjata lagi, setia dan taat pada NKRI perlu kita apresiasi. GAM Aceh dulu (juga) dapat amnesti,” kata Laoly saat dihubungi detikcom, Kamis (31/12/2015). Namun pertimbangan dari Kemenkum HAM menurut Laoly belum disampaikan ke Presiden Joko Widodo. Pertimbangan tersebut harus dibicarakan dulu dengan kementerian lainnya.
Amnesti adalah hak prerogatif presiden untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana atas suatu tindak pidana yang dilakukan. Selain itu pemberian amnesti juga harus meminta pertimbangan DPR. Hal ini diatur pada Pasal 14 ayat 2 UUD 1945.
Senada dengan Menkumham, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan, sudah ada yurisprudensinya yaitu melalui Keppres No 22 tahun 2005, di mana Presiden SBY memberikan amnesti umum dan abolisi kepada Gerakan Aceh Merdeka. Tetapi amnesti umum juga harus mendapatkan pertimbangan DPR. Sehingga nantinya pemerintah juga akan menembuskan surat usulan amnesti kepada DPR.
Di samping itu, pemerintah juga menginginkan upaya penyelesaian masalah kekerasan dengan langkah yang halus. Upaya perdamaian dengan kelompok Din Minimi adalah contoh bagaimana persoalan kekerasan dapat selesai tanpa disertai kontak senjata atau kegaduhan lainnya.
Sementara itu, Effendi Simbolon, anggota Komisi I DPR-RI dari Fraksi PDIP mengkritik langkah pemerintah yang mewacanakan pemberian amnesti untuk kelompok bersenjata yang dipimpin Din Minimi. Menurutnya, pemberian amnesti dikhawatirkan justru menyuburkan praktik separatisme di daerah.
“Masa Presiden tunduk kepada aturan kombatan? Bayangkan, negara kita yang berdaulat, membuat MoU dengan separatis. Apakah Jokowi sadar?” kata Efendi kepada Kompas.com, Rabu (30/12/2015). Ia mengatakan, Presiden memang memiliki wewenang untuk memberikan amnesti sebagaimana diatur di dalam UU. Namun, dalam hal pemberian amnesti kepada kelompok separatis, Presiden seharusnya meminta pertimbangan dari banyak pihak termasuk DPR.
Effendi Simbolon setuju dengan pernyataan Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti yang mempertimbangkan untuk melanjutkan proses hukum atas perkara yang dilakukan kelompok Din Minimi. “Kita harus menegakkan hukum dan kedaulatan negara. Jangan kemudian kita mengumbar amnesty, grasi dengan mudah. Toh itu bukan solusinya kok,” kata dia.
Lebih jauh, Effendi juga meminta agar Presiden Jokowi belajar dari pengalaman pemerintahan 2004-2009, yang saat itu dipimpin Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Menurut dia, adanya perjanjian Helsinki antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka, secara tidak langsung telah menjatuhkan wibawa dan kedaulatan negara. “Dari 100 item perjanjian, 98 item belong to GAM. Apa itu yang disebut karya emas SBY-JK? Tidak. Artinya, jangan kemudian Presiden Jokowi mengulangi itu dan menjadikan itu yurispridensi menjadi benar,” kata dia.
Jangan Ragu-Ragu Memberikan Amnesti
Sekali lagi, pemberian amnesti adalah hak prerogatif presiden untuk meniadakan suatu akibat hukum pidana atas suatu tindak pidana yang dilakukan. Sesuai Pasal 14 ayat 2 UUD 1945, pemberian amnesti juga harus meminta pertimbangan DPR.
Menurut penulis sebaiknya Presiden Jokowi dapat memberikan amnesti kepada Din Minimi dan kelompoknya, hal ini disebabkan karena beberapa alasan antara lain : Pertama, pemberian amnesti kepada kelompok-kelompok semacam kelompok Din Minimi cs merupakan langkah lanjutan dari soft approach yang menjadi “benchmark” pemerintahan Jokowi-JK dalam menyelesaikan setiap permasalahan. Disamping itu, pemecahan masalah melalui cara-cara beradab dan soft approach juga merupakan realisasi dari ajaran ideologi negara, Pancasila.
Kedua, pemberitan amnesti kepada Din Minimi cs diharapkan akan menciptakan stimulus atau menarik kelompok lainnya khususnya OPM di Papua dan kelompok fundamentalis Santoso di Sulawesi Tengah untuk kembali ke pangkuan NKRI. Oleh karena itu, jika rencana pemberian amnesti dikritik akan menyuburkan praktik separatisme di daerah, adalah pernyataan yang kurang tepat, karena amnesti sejatinya adalah refleksi dari “win-win solution”.
Ketiga, “menyerahnya” Din Minimi kepada NKRI melalui BIN harus diterjemahkan sebagai keberhasilan negara ini dalam meresolusi konflik dengan cara-cara damai, disamping itu keberhasilan ini juga harus diapresiasi sebagai adanya dukungan dan respons positif dari pihak TNI melalui Pangdam Iskandar Muda dan pihak Polri melalui Kapolda Aceh yang juga mengetahui rencana Kepala BIN bernegosiasi dengan Din Minimi.
Keempat, penandatanganan MoU Helsinki dan diikuti dengan “turun gunungnya” kelompok Din Minimi sudah disyukuri oleh masyarakat Aceh pada khususnya dan diapresiasi oleh masyarakat internasional, sehingga jika ada kekurangan dari MoU Helsinki tetap harus dipandang inilah solusi yang tepat menyelesaikan konflik berdarah berkepanjangan di Aceh. Toh, sampai saat ini dan selamanya Aceh tetap dalam naungan NKRI.
Oleh karena itu, tidak ada alasan yang menghambat Presiden Jokowi untuk memberikan amnesti dan last but not least langkah pemerintah menyelesaikan setiap konflik anak bangsa dengan cara damai yang didukung DPR-RI, juga akan dicatat sejarah sebagai “legacy” yang membanggakan.
Facebook Comments