Persekutuan AUKUS Membahayakan Stabilitas dan Perdamaian di Asia-Pasifik

Bagikan artikel ini

Persekutuan baru di Asia Pasifik antara AS, Inggris, dan Australia, bisa mengobarkan kembali eskalasi konflik berskala Perang Dingin dan ketegangan internasional di kawasan Asia Pasifik. Sehingga merupakan potensi ancaman yang membahayakan perdamaian.

Apalagi ketika AS dan Inggris siap melengkapi peralatan militer Australia dengan kapal-kapal selam yang bermuatan teknologi persenjataan nuklir. Sehingga bisa dibaca sebagai isyarat untuk menantang perang terhadap China, yang mana gagasan yang mendasari terbentuknya AUKUS adalah untuk membendung China sebagai pesaingnya. Dengan tak ayal, konstelasi tersebut akan mengancam stabilitas dan perdamaian di Asia Pasifik.

Menariknya, terbentuknya persekutuan AUKUS seturut dengan ditarik mundurnya pasukan AS dari Afghanistan pada Agustus lalu, sehingga AS nampaknya semakin meningkatkan sikap permusuhannya terhadap China. Maka itu, terbentuknya AUKUS sulit untuk dibantah bahwa gagasan dasarnya adalah untuk menghadapi China secara militer.

Apa yang sebenarnya melatarbelakangi terbentuknya AUKUS? Ada “frase diplomatik” cukup menarik yang disampaikan menteri luar negeri AS Anthony Blinken. “US Greatest Geopolitical Test” sebagai dasar bagi pemerintahan Presiden Joe Biden untuk membendung kebangkitan China sebagai adikuasa baru, seraya mempertahankan dominasi dan hegemoni global AS pada abad 21. Inilah yang mendasari kampanye Perang Dingin gaya baru AS untuk membendung China.

Namun ada yang aneh untuk persekutuan militer regional yang dimotori AS dan NATO kali ini. AUKUS hanya berupa persekutuan tiga negara, dan tidak termasuk negara-negara Eropa Barat lainnya yang juga tergabung dalam North AtlanticTreaty Organization (NATO).

Baca lagi Europe against the cold war-China is not our enemy

Prancis bahkan jelas-jelas mengecam bantuan AS dan Inggris untuk melengkapi kapal selam bertenaga nuklir kepada Australia. Begitu pula dengan Selandia Baru menolak bergabung dalam AUKUS, maka bisa diartikan bahwa Selandia Baru akan melarang kapal-kapal selam bertenaga nuklir Australia memasuki pelabuhan dan perairan yang Selandia Baru.

Bahkan persekutuan militer AUKUS mengundang kecaman dan kutukan dari dunia internasional. Bahkan seruan dan gagasan untuk membentuk gerakan anti perang dingin berskala internasional semakin menguat akhir-akhir ini.

 

Baca artikel Fiona Edwards: Escalating the Cold War

 

Sepertinya, sejak mantan Presiden Barrack Obama mencanangkan the Pivot to Asia pada 2012, dicanangkannya persekutuan AUKUS dibaca sebagai isyarat AS untuk meningkatkan militerisasi di kawasan Asia Pasifik.

Saat ini AS punya pangkalan militer berjumlah 400 di negara-negara yang berbatasan dengan China. Tahun ini, Presiden Biden telah meminta anggaran militer ke kongres sebesar 750 miliar dolar AS dengan alasan untuk meningkatkan kapabilitas militernya di bidang teknologi persenjataan canggih. Tentu saja dengan dalih yang paling sulit ditolak oleh kongres: menyaingi kekuatan militer China yang semakin canggih.

Dalam penegasannya menanggapi ajuan anggaran oleh Presiden Biden, Komite Senat bidang kebijakan AS-China atau The Committee for a Sane US-China Policy, bahwa anggaran militer yang diajukan Presiden Biden untuk tahun anggaran 2022, ditujukan kepada Pentagon dalam rangka persiapan perang berskala maksimal menghadapi China. Aspek penting lainnya yang tak kalah menarik untuk disorot, kali ini anggaran militer sepenuhnya diprioritaskan untuk menghadapi kekuatan militer. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya ketika anggaran militer ditujukan untuk menghadapi berbagai jenis ancaman lainnya seperti ancaman serangan terorisme, atau  konflik regional di kawasan Timur-Tengah.

Bisa jadi wacana untuk menghadapi kemungkinan perang berskala maksimum menghadapi China merujuk pada sebuah artikel yang ditulis oleh Panglima Komando Strategis AS Marsekal  Charles Richard pada Januari 2021 lalu. Dalam artikelnya Charles Richard menulis:

“Ada kemungkinan timbulnya krisis regional dengan Rusia dan China dapat meningkatkan eskalasi konflik yang berpotensi menjadi konflik yang melibatkan persenjataan nuklir. Sehingga AS harus mengubah asumsinya bahwa tidak mungkin bakal ada penggunaan senjata nuklir menjadi mungkin untuk digunakannya nuklir. Dengan begitu AS harus siap menghadapi dan menangkal kemungkinan tersebut.”

Jika kampanye Perang Dingin AS yang ditujukan menghadapi China merujuk pada pandangan Marsekal Charles Richard tersebut di atas, maka terbentuknya AUKUS, termasuk niat AS untuk melengkapi angkatan bersenjata Australia dengan kappa selam nuklir, harus dibaca dalam konteks tersebut. Untuk menghadapi dan menangkal serangan nuklir China sebagaimana yang mereka bayangkan.

Apalagi sebelumnya AS juga menggalang persekutuan militer dalam kerangka Indopasifik bersama India, Australia dan Jepang melalui skema  persekutuan 4 negara yaitu QUAD.

Jepang baru-baru ini juga telah melakukan latihan militer  berskala besar yang belum pernah dilakukannya selama 30 tahun terakhir ini. Namun di Inggris dan Australia sendiri, ada banyak tokoh politik yang menentang kampanye Perang Dingin yang dilancarkan AS. Antara lain mantan Perdana Menteri Paul Keating.

Paul Keating menggambarkan persekutuan AUKUS merupakan hilangnya kedaulatan nasional Australia secara dramatis. Menurut Keating, kalau AS gagal menghadapi Taliban yang hanya bersenjatakan AK-47, apa yang bisa diharapkan untuk mengalahkan China dalam perang berskala maksimum?

Masuk akal juga pandangan Paul Keating. Selain itu, mantan perdana menteri Australia dari partai buruh, Jeremy Corbyn, bahkan lebih mengecam AUKUS secara lebih fundamental. Menurut Corbyn, melancarkan Perang Dingin baru menghadapi China sama sekali tidak akan menciptakan perdamaian, keadilan dan hak-hak asasi manusia untuk seluruh umat manusia di muka bumi.

Jangan tanya lagi suara-suara kecaman dari negara-negara berkembang, yang mana pemerintah maupun kekuatan masyarakat yang mewakili puluhan juta orang, yang memandang kerjasama saling menguntungkan dengan China, merupakan sebuah alternatif untuk mengimbangi dominasi dan pengaruh AS.

Di Amerika Latin misalnya, kekuatan-kekuatan progresif lebih mengutamakan membangun kerjasama saling menguntungkan dengan China karena negara tirai bambu itu menawarkan bantuan vaksin, perdagangan, investasi, dan menghomarmati kedaulatan nasional masing-masing negara.

Sementara AS hanya masih dengan pola lama seperti kampanye destabilisasi terhadap pemerintahan yang dianggap tidak pro Washington di beberapa negara Amerika Latin dan sanksi ekonomi sehingga menyengsarakan rakyat negara-negara yang dikenakan sanksi ekonomi tersebut.

Suara yang dikumandangkan oleh Joao Pedro Stedile, pemimpin gerakan serikat buruh, nampaknya mencerminkan sikap umum para tokoh pergerakan sayap kiri di Amerika Latin. Dalam tweed-nya Joao Pedro Stedile menulis: “Ketika Biden sibuk dengan rencana strategis membendung China dan membangun persenjataan nuklirnya dengan Inggris dan Australia, China malah memusatkan aktivitasnya dalam memerangi kemiskinan dan ketimpangan sosial, seraya mengintegrasikan berbagai negara berdasarkan kebijakan Jalur Sutra. Pemerintahan Biden tak melakukan apa-apa. Hanya peduli dengan hasratnya memperkuat kekuatan modalnya atas dasar skema imperialisme.Maka adalah penting bagi kekuatan-kekuatan progresif dari berbagai negara di dunia, untuk menentang militarism AS di kawasan Pasifik. Yang mana hal ini bukan saja membahayakan China, melainkan juga seluruh umat manusia.”

Saat ini dunia internasional lebih membutuhkan  kerjasama global untuk memerangi pandemi dan perubahan iklim, bukannya Perang Dingin.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute.

 

 

 

 

 

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com