Persekutuan Sekaligus Perseteruan Antara Amerika Dan Israel Di Jalur Sutra

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Tesis Pepe Escobar kembali terbukti : Bahwa politik praktis itu apa yang tersirat bukan yang tersurat (2007). Sehingga tampilan atraksi yang muncul di panggung politik (global), sering tidak mencerminkan hal riil atau sebenarnya. Ya, hidden agenda yang menjadi tujuan pokok suatu pagelaran politik — justru sering menyamar seperti “penumpang gelap” dari apa yang terjadi di permukaan. Dengan demikian membaca yang tersirat tidak sekedar perlu daya analisis tetapi juga insight (slulup/menyelam). Artinya selain kejelian mengolah fakta yang berserak, memahami anotomi persoalan – dan juga mencermati latar belakang.

Merujuk judul di atas, catatan kecil ini mencoba mengurai “hubungan gelap” antara Amerika Serikat (AS) dengan Israel, dimana rumor selama ini menganggap mereka adalah sekutu tradisional, bahkan sangking akrabnya, ada yang menyebut bak saudara kembar siam berbeda rupa. Apakah memang demikian? Inilah ulasan sederhananya.

Tak boleh dipungkiri, bahwa benih gagasan tanah air bagi Bangsa Yahudi dikemukakan Perdana Menteri (PM) Inggris, Henry Bannerman dekade 1906-an :

“Ada sebuah bangsa (Bangsa Arab/Umat Islam) yang mengendalikan kawasan kaya akan sumber daya alam. Mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia. Tanah mereka adalah tempat lahirnya peradaban dan agama-agama. Bangsa ini memiliki keyakinan, suatu bahasa, sejarah dan aspirasi sama. Tidak ada batas alam yang memisahkan mereka satu sama lainnya. Jika suatu saat bangsa ini menyatukan diri dalam suatu negara; maka nasib dunia akan di tangan mereka dan mereka bisa memisahkan Eropa dari bagian dunia lainnya (Asia dan Afrika). Dengan mempertimbangkan hal ini secara seksama, sebuah “organ asing” harus ditanamkan ke jantung bangsa tersebut, guna mencegah terkembangnya sayap mereka. Sehingga dapat menjerumuskan mereka dalam pertikaian tak kunjung henti. “Organ” itu juga dapat difungsikan oleh Barat untuk mendapatkan objek-objek yang diinginkan” (JW Lotz, 2010).

Jelas sudah, bahwa dibentuknya Negara Israel semata-mata berdasar kepentingan Barat. Lalu Inggris selaku konseptor mencoba menanamkan sebuah “organ asing” guna memecah belah kelompok negara di Dunia Islam (Arab) agar mereka tercerai-berai – tak pernah bersatu.

Ternyata Britania Raya butuh waktu sembilan tahun mengimplementasikan statement Bannerman tadi. Akhirnya Menlu Inggris James Balfour menjanjikan “Tanah Air” bagi Yahudi di Palestina kepada Chaim Weizmenn, tokoh Zionis Internasional karena jasa Zionis membuat bahan peluru (cordite) sehingga ia menang perang. Lalu diterbitkanlah Deklarasi Balfour 1917 oleh Inggris yang intinya menjanjikan Tanah Air bagi Yahudi, yang hakiki tujuannya ialah menanam “organ pemecah belah” kelompok negara di Dunia Arab pada sepanjang Jalur Sutra yang membentang antara Xinjiang, Cina – via Suriah hingga ke Maroko. Jika meminjam istilah PM Henry Bannerman (1906) : “..  mereka mendominasi pada persilangan jalur perdagangan dunia ..”.  Itulah jalur ekonomi sekaligus rute militer yang melegenda sejak abad ketiga SM — dimana membedah antara Dunia Barat dan Timur.

Pertanyaan mengapa justru AS kini yang terlihat lebih berperan di Timteng daripada negeri konseptornya, karena tatkala Inggris melemah pasca Perang Dunia (PD) II — AS pun secara cerdas take over atas kawasan tersebut. Tak heran apabila peran Paman Sam begitu dominan dalam perjanjian perdamaian Camp David (1978) dan Oslo (1993) yang intinya melegalisir keberadaan Israel di Palestina. Sudah barang tentu, tanaman keras berupa “organ asing” itu tetap aman tertancap, hidden agenda Dunia Barat menyelinap masuk di Dunia Arab tempat kelahiran peradaban dan agama-agama, tanpa harus repot menuai kritik dan protes di sekelilingnya.

Itulah persekutuan keduanya di Dunia Arab atau Timteng di sepanjang Jalur Sutra. Wajar ketika Kongres AS tak menyoal berapapun bantuan digelontorkan, tercatat sekitar tiga milyar dolar AS setiap tahun untuk mendukung ekonomi dan militer Israel. Ya, menurut John Perkins (2009), Israel merupakan pasukan komando arteleri bagi AS dimana saja. Maka pantas jika puluhan kali (sekitar 68-an) resolusi DK-PBB dilanggar Israel, namun AS selaku polisi dunia cuma diam termangu-mangu!

Dalam konstalasi politik, sering muncul sesuatu yang samar dari yang tersamar. Ada yang lebih tersirat dari sekedar tersirat. Demikianlah di dalam jalinan hubungan Israel dan AS ternyata ada juga yang “samar”. Artinya dibalik persekutuan selama ini sejatinya menyimpan kental perseteruan di antara keduanya. Pertanyaannya adalah, semenjak kapan terselip perseteruan keduanya, serta dalam hal apa?

Usai PD II, Timteng mempunyai makna penting bagi Israel dan AS terutama minyaknya. Ia tak bisa lagi diabaikan. Timteng merupakan sumber daya terbesar bagi kekuasaan serta kekuatan strategis. Dan AS menyadari bahwa kendali atas persedian minyak tak terbatas merupakan sarana untuk mengendalikan dunia. Lalu ketika kekuatan Inggris melemah pasca PD II, AS pun menelikung mengambil alih kendali atas kawasan kaya minyak itu.

Perseteruan timbul manakala Bangsa Yahudi berambisi mewujudkan Erezt Israel (Negara Israel Raya). Inilah perbedaan pokok antara keduanya. AS mengakui kedaulatan Israel atas batas-batas aman yang telah ditentukan, tetapi posisi Israel dari awal berdirinya (1948) menolak batas-batas wilayah sebab ia menginginkan wilayahnya seperti pada zaman Raja Salomo (Nabi Sulaiman AS) yang terbentang antara Pantai Barat Syam (Libanon dan Suriah) hingga ke tepi sungai Eufrat (Kawasan Barat Iraq). Sedang AS dan Negara Barat lainnya hanya mengakui wilayah Israel seluas sekarang ini.

Semenjak berdirinya, Bangsa Yahudi memang diarahkan memiliki sedikit dominasi politik dan ekonomi. AS memiliki kepentingan untuk menjaga (memastikan) agar pengaruh Israel di Timteng tak melebar, oleh sebab meluasnya pengaruh Israel niscaya dapat merusak kepentingan dan akses Amerika di kawasan tersebut, terutama minyak. Kebijakan AS terhadap Israel cenderung pada isolasi kawasan dan membatasi perannya dalam penyelesaian Palestina pada khususnya dan Timteng pada umumnya. Maka kebijakan AS mengarah pada pendirian Negara Palestina Merdeka yang sekuler, oleh karena selain bagian instrumen keterlibatan mereka di Timteng — juga dalam rangka membendung pengaruh dan terwujudnya Negara Israel Raya. Lalu AS pun memberikan jaminan internasional  bahkan mengirimkan pasukan multinasional di sepanjang perbatasan Israel dan negara tetangganya seperti Yordania, Mesir, Suriah, Libanon dan lain-lainnya.

Hal yang disampaikan di atas ialah bukti nyata, bahwa dalam perspektif hegemoni AS dan Negara Barat, ternyata Israel bukanlah sekutu mutlak, oleh sebab ada konflik kepentingan tak berujung. Maka tidak mengherankan ketika “Revolusi Mesir” tengah berproses, terlihat AS dan para sekutu seperti hendak meninggalkan Israel sendirian. Itu bisa terjadi dan wajar-wajar saja. Entah episode berikut. Demikianlah adanya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com