Di era kini, melihat apapun fenomena, jangan hanya dari sisi bisnis semata, kita bisa tertipu karena kurang mampu melihatnya secara utuh. Mengapa demikian, karena bila dicermati dari aspek bisnis belaka maka yang timbul di benak cuma soal untung rugi, namun abai atau lalai mencermati dan memprakirakan sisi lainnya. Nalar bisnis memang cenderung berkisar untung dan rugi, profit, impas dan lain-lain.
Contoh fenomena, proyek pulau reklamasi di Teluk Jakarta, misalnya. Ketika ia dilihat dari aspek bisnis, maka jelas itu proyek ratusan triliun rupiah. Ini cair, proyek basah dan seterusnya. Tetapi tatkala fenomena –reklamasi Teluk Jakarta– tersebut dikaji dari perspektif geopolitik, maka kuat disinyalir merupakan praktik teori (dimensi) ruang yang tegah dijalankan oleh kepentingan asing di negeri ini. Kenapa begitu, selain ia mampu menggerus ruang kedaulatan negara secara fisik (teritorial), akan muncul paradoksal negeri kepulauan (archiepelago), ia juga menciptakan bahkan meluaskan frontier. Apakah frontier itu? Yaitu batas imajiner antara pusat dengan daerah akibat pengaruh asing di suatu wilayah dalam negara. Inti poinnya, melemahnya pengaruh pusat terhadap daerah akibat pengaruh asing lebih dominan.
Munculnya frontier di suatu negara biasanya diawali dari pengaruh ekonomi, sosial dan budaya (ekosob). Ketika dibiarkan tanpa antisipasi, ia dapat merambah pada aspek politik. Dan kelak, bila dipicu oleh isu-isu tertentu, wilayah tersebut berpotensi memisahkan diri dari negara induk seperti contohnya lepasnya Sipadan Ligitan dahulu, atau Kurdi di Irak, ataupun Balokistan di Pakistan dan seterusnya.
Pada kasus tertentu, antara ruang hidup (lebensraum) dengan frontier itu “ujud”-nya beda-beda tipis bahkan mungkin satu tarikan nafas. Jadi, persoalan frontier di suatu negara bukanlah masalah kecil, bukan hal remeh-temeh semata. Frontier itu masalah sangat serius karena selain berhubungan dengan kehormatan negara, juga soal (penggerusan) kedaulatan. Lepasnya ruang Sipadan Ligitan dulu, diawali pembiaran pengaruh ekosob yang ditebar oleh asing (Malaysia) di pulau terpencil kita. Ada frontier namun dibiarkan oleh pusat. Ketika kedua pulau itu lepas karena terpicu isu politik, maka penyesalan selalu datang dari depan meski awalnya dari belakang. Sayonara Sipadan Ligitan.
Hari ini, di tengah isu perubahan power concept dalam perilaku geopolitik global yakni perubahan dari power militer ke power ekonomi, frontier dan lebensraum pun mengubah bentuknya dalam fenomena lain. Artinya, jika di era power militer tempo doeloe, sasaran keduanya adalah menggerus atau merebut teritorial sebuah negara, menduduki, kemudian mengekspolitasi sumberdaya (geoekonomi) wilayah tersebut, itu pola kolonialisme klasik di masa lalu. Sedang di era ekonomi kini, pola telah berubah. Ya seiring perubahan power concept, para kaum kolonial sekarang tidak perlu lagi menduduki ruang atau teritorial negara yang hendak ditarget, namun cukup melalui ruang pengaruh, hegemoni, atau istilahnya sphere of influance. Sekali lagi, era kini pola kolonailisme tak lagi dengan merebut teritorial dan menduduki secara militer sebagaimana dahulu, tetapi cukup dengan merebut ruang hidup melalui sphere of influance.
Merujuk hal di atas, frontier terbaru terkait sphere of influance dan penggerusan lebensraum nonteritorial oleh asing di republik ini ialah Alipay dan WeChat, alat transaksi nontunai asal Cina yang kini mulai menggejala di Bumi Pertiwi. Betapa tidak, hanya berbekal skema investasi B to B tanpa ada aturan dari institusi yang berkompeten, terjadi pengambilan dan/atau pemindahan uang dan modal masyarakat secara masive, sistematis dan terstruktur.
Itulah contoh perubahan bentuk pada praktik teori ruang dan implementasi frontier dalam perilaku geopolitik para adidaya.
Demikian, terima kasih.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)