M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)
Tatkala awal November lalu (2011), Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri (PM) Israel menyatakan sedang mempersiapkan serangan udara terhadap fasilitas nuklir Iran, mungkin boleh dibaca sekedar “sandiwara global” atau open agenda guna menutup agenda pokok (hidden agenda) yang lebih besar. Istilahnya deception atau penyesatan. Secara fisik, rencana serangan itu selain agar dianggap isue faktual, juga nantinya —bila memang benar-benar terjadi — maka serangan tersebut seolah hanya karena inisiatif dan murni tindakan agresif Israel semata. Wawancara Moshe Yaalon, Menteri Urusan Strategis Israel dengan radio Angkatan Darat menyebutkan, “Opsi militer (terhadap Iran) bukan merupakan ancaman kosong, tapi Israel tidak akan melompat untuk memimpin itu. Semuanya harus dipimpin oleh Amerika Serikat”.
Memang, suatu open agenda bertujuan “menyesatkan” opini publik, oleh karena desain global penaklukan dunia oleh Amerika Serikat (AS), salah satunya menyerbu Iran, sesungguhnya telah terpampang di Pentagon sejak pertengahan 1990-an (Chossudovsky, 1 Agustus 2010, Mempersiapkan Perang Dunia III, Target Iran).
Terkait rencana tersebut, di internal Israel sendiri masih terdapat pro dan kontra. Ya, terlihat pertentangan dari Menteri Dalam Negeri Eli Yishai, Menteri Keuangan Yuval Steinitz, beberapa Kepala Badan Intelijen Israel (Intelijen Militer dan Intelijen Dalam Negeri) bahkan Panglima Militer Benny Gantz pun keras menentang. Namun persoalan iya dan tidak, atau cuma pura-pura pro kontra, memang perlu diskusi lebih dalam. Dan perkembangan terakhir, masih menurut Chossudovsky apa yang sedang berlangsung adalah sebuah rencana serangan terpadu terhadap Iran yang dipimpin oleh AS, dengan partisipasi dari Inggris dan Israel. Kendati saat ini tengah terjadi aksi mogok dan unjuk rasa besar-besaran hampir di seluruh penjuru Israel, memprotes kondisi ekonomi yang semakin buruk (7/11/2011).
Mencermati geliat politik global akhir-akhir ini, seperti terdapat instrumentisasi membentuk “satu komando militer” dibawah kendali Pentagon. Ada penyebaran pasukan Amerika (AS) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di berbagai negara terutama Afrika (Utara), Timur Tengah dan lainnya. Statement Jendral Wesley Clark, (mantan) Komandan NATO bisa dijadikan rujukan, bahwa “peta jalan” (roadmap) dalam penaklukan dunia telah direncanakan lima tahun yang lalu dimulai dari Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Iran, Somalia dan Sudan. Sedangkan menurut dokumen Sentral Komando 1995 yang dideklasifikasikan AS, target pertama memang Irak. Dan bila merujuk urutan sasaran menurut Clark, tampaknya “target pertama” tidak salah dan telah dikerjakan oleh Bush Jr tahun 2003.
Adakah ini berarti bahwa smart power-nya Partai Demokrat, AS dengan methode gerakan massa via revolusi warna sebagaimana ia menghancurkan negara-negara Pakta Warsawa dekade 2000-an, lalu barusan berhasil menggoyang Tunisia, Yaman dan Mesir hanya sekedar pemanasan bagi AS dan sekutu, sebab ketiga negara tadi tidak tercantum pada roadmap di Pentagon?
Tentu tidak demikian. Peta jalan hanya pokok-pokok agenda meraih tujuan, sedang implementasi di lapangan tergantung perkembangan situasi. Artinya mana yang lebih urgen, ini sangat menguntungkan, atau yang itu cuma deception saja dan lain-lain. Contohnya Sudan. Meski dalam peta yang dipaparkan Clark diletak pada urutan akhir, tetapi prakteknya justru duluan bahkan sukses membelah menjadi dua negara (Sudan dan Sudan Selatan) melalui referendum.
Kenapa Sudan menjadi prioritas, maka kekhawatiran AS atas meningkatnya loyalitas pemerintah setempat terhadap kekuatan lain merupakan alasan utama. Terutama hegemoni Cina. Inilah hal yang ditakuti AS. Ancaman asimetris berupa keterpengaruhan ekonomi, budaya, politik dan lainnya ternyata tidak kalah bahaya dibanding ancaman simetris yang berasal dari kekuatan militer.
Tampaknya di Uganda pun sama pula, Cina lebih populer daripada negara-negara Barat. Sehingga manakala Obama mengirim pasukan khusus membantu pemerintahan Yoweri Museveni memerangi Tentara Perlawanan Tuhan pimpinan Joseph Kony, ada semacam perlawanan massa populer di Afrika. Ini terlihat dari statement Museveni yang merasa keberatan, “Saya tidak bisa menerima pasukan asing datang dan berjuang bagi saya. Kami tak pernah memiliki pasukan yang datang berjuang, sebab kami memiliki kapasitas untuk menghadapi perang kita sendiri” (Eddie dan Alex Lantier Haywood, 18 Oktober 2011). Kalau boleh mengatakan, inilah fenomena yang kini merebak di planet bumi: menurunnya hegemoni superpower!
Dari peta perang di atas, sebenarnya sudah terbaca —sebagaimana rumor berkembang— bahwa setelah Suriah memang Iran sasaran berikutnya. Tetapi seperti halnya Libya, agaknya Suriah pun melawan habis-habisan. Lalu disinyalir banyak kalangan bahwa beredarnya video kematian Gaddafi adalah hasil rekayasa Departemen Operasi Psikologis US Army, sesuai pengakuan Dr Steve Pieczenik, mantan pejabat Deplu AS yang merupakan psikiater dan spesialis dalam operasi psikologis perubahan rezim. Artinya selain bertujuan membuat turun moral tempurnya para loyalis Gaddafi, juga di antaranya adalah “menakut-nakuti” Bashar al-Assad, Presiden Suriah agar secepatnya lengser seperti Ben Ali di Tunisia, Abdullah Saleh di Yaman, Mobarak di Mesir dan lainnya. Tersirat ancaman, bahwa bila tak segera turun akan bernasib sama dengan Gaddafi.
Pernyataan John McCain, senator dan kandidat presiden AS tahun 2008 semakin menebalkan sinyalir ini. Ia mengatakan kepada BBC (20/10/2011), bahwa Presiden Suriah, PM Rusia dan para pemimpin Cina lainnya punya alasan untuk gelisah. “Saya pikir diktator di seluruh dunia, termasuk Bashar al-Assad, mungkin bahkan Putin, mungkin beberapa orang Cina, mungkin semua dari mereka, mungkin sedikit lebih gugup”.
Telah dapat diprediksi bersama bahwa dalam rangka percepatan menyerang Iran, tak lama lagi bakal hadir pasukan multinasional di Suriah bertujuan menggulingkan Bashar dengan dasar Resolusi PBB, semodel “proyek gagal”-nya NATO di Libya. Pola-polanya kembali berulang bagi target rezim yang bandel. Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal dengan kolaborasi LSM internasional melapor ke PBB tentang kediktatoran Assad, pelanggaran HAM, membunuhi rakyat sipil dan lainnya untuk selanjutnya diterbitkan resolusi, menghadirkan pasukan asing (AS dan sekutunya) di Suriah!
Perdamaian dunia kini berada di persimpangan jalan. Invasi militer AS dan sekutu terhadap Iran nantinya, niscaya bakal menimbulkan peperangan panjang pada Kawasan Jalur Sutra. Dan serangan ke Suriah sendiri mengarah pada integrasi perang daripada invasi sebelumnya via gerakan massa ala revolusi warna, atau smart power, atau istilah struktural dalam militer AS adalah provincial reconstruction team —yang selama ini (seolah) terpisah-pisah. Isyarat Andrew Gavin Marshall, peneliti di Central for Research on Globalization, Montreal, menyebut ini merupakan awal Perang Dunia III?
Ya, opini publik global kini tengah dibangun oleh AS guna bekal menyerang Iran. Misalnya nuklir Iran akan menimbulkan ancaman serius ke Timur Tengah dan dunia, atau ancaman terbesar bagi tatanan dunia dan seterusnya. Intinya diharapkan agar dunia internasional meningkatkan upaya melawan mereka (Iran).
Membaca langkah superpower dari Project for The New American Century and Its Implications 2002, seakan-akan target AS hanya menahan gerak laju Cina, saingan beratnya sebab mengkonsumsi separuh minyak di pasar dunia. Namun dikatakan oleh Tony Cartalucci, kolumnis dalam RT News Chanel, “Matikan Timur Tengah, anda mematikan Cina dan Rusia, maka anda akan menguasai dunia”. Itulah yang kini terjadi. Sekali tepuk dua target tercapai. Amboy!
(Referensi dari berbagai sumber)