Dina Y. Sulaeman, Master Hubungan Internasional di Universitas Padjajaran (Unpad); Research Associate of the Jakarta’s Global Future Institute (GFI)
Tulisan ini sebenarnya hanya sekedar menstruktur-ulang berbagai fakta yang berserakan di berbagai berita yang dipublikasikan media massa (dan sumbernya bisa dibaca dengan mengklik setiap link yang ada di tulisan ini), sehingga menjadi sebuah pemikiran yang runut. Saya menerjemahkannya, dengan menambahkan sedikit pendahuluan, dari Washington Blog. (Dina Y. Sulaeman)
Mundurnya Petraeus seolah sederhana: tindakan ksatria seorang jenderal yang malu karena telah mengkhianati istrinya, sehingga tak pantas lagi memimpin sebuah lembaga negara. Namun, benarkah demikian? Waktu pengunduran diri Direktur CIA, Petraeus, menjadi lebih menarik diperhatikan jika dilihat dari sisi bahwa dia mundur hanya beberapa hari sebelum dia dijadwalkan untuk bersaksi di bawah sumpah di depan Komite Parlemen yang mengusut skandal konsulat di Benghazi. Banyak yang berspekulasi bahwa ini bukanlah kasus perselingkuhan, melainkan upaya untuk menghindari pemberian kesaksian atas Benghazi.
Bila dirunut lagi, aksi penyerangan itu diawali dengan datangnya massa ke gedung konsulat AS di kota Benghazi. Mereka melakukan demo menyuarakan protes mereka atas pembuatan film yang menghina Nabi Muhammad. Lalu, tiba-tiba sekitar 20 militan datang dengan membawa RPG7 dan membardir gedung konsulat sehingga menewaskan Dubes AS beserta 3 stafnya. Penyerangan seperti ini jelas memerlukan persiapan. Ini bukanlah proses ‘alami’ : ada demo, lalu situasi memanas, dan terjadilah aksi anarkhi. Bahkan sumber dari AS sendiri menyatakan bahwa penyerangan itu terlihat sudah direncanakan dan menjadi aksi demo sebagai pengalihan perhatian (CNN 13/9). Bila dilihat dari ‘sejarah’-nya, Konsulat AS di Benghazi sebelumnya (7 Juni 2012) juga pernah dibom oleh teroris yang memiliki link dengan Al Qaida, yaitu kelompok Omar Abdul Rahman. Para pengebom meninggalkan leaflet yang berisi pernyataan bahwa serangan itu sebagai balasan atas tewasnya salah satu pimpinan mereka, Abu Yahya al Libi. Mereka juga menjanjikan akan melakukan serangan lagi terhadap AS. Tidak ada korban tewas dalam aksi terorisme bulan Juni itu.
Apa yang sebenarnya terjadi di Benghazi, tentu memerlukan penyelidikan, yang sepertinya akan terhambat karena pengunduran diri Petraeus. Tetapi, kita, publik awam, bisa melihat ada banyak kejanggalan dalam peristiwa ini. Di antara hal yang mengejutkan adalah bahwa Pemerintah AS tidak pernah meminta perlindungan atau adanya pengakuan dari orang semacam
Letnan Colonel Anthony Shaffer yang menyebutkan bahwa Presiden Obama secara personal menyaksikan kejadian penyerangan itu secara langsung (
real time) melalui video feeds pesawat pengintai yang terbang di atas konsulat AS di Benghazi.
Klaim-klaim ini hanya bisa dinilai, dan semua informasi yang simpang-siur ini bisa dipahami, jika kita menelaah terlebih dulu latar belakangnya secara lebih mendalam.
Banyak Teroris Syria yang Datang dari Libya
Menurut
laporan tahun 2007 yang dirilis oleh
West Point’s Combating Terrorism Center’s center, kota Benghazi adalah salah satu markas Al Qaeda’s dan markas untuk pengiriman pasukan Al Qaeda ke Irak, sebelum penggulingan Qaddafi. Al Qaeda saat ini mengontrol sebagian besar Libya. Bahkan, bendera Al Qaeda
dikibarkan di gedung pengadilan Benghazi courthouse sesaat setelah Qaddafi terguling.
(Kebetulan, Qaddafi hampir menyerang Benghazi pada tahun 2011, empat tahun setelah laporan the West Point itu. Qaddafi mengklaim – dan kemudian benar terbukti– bahwa Benghazi adalah markas Al Qaeda dan sumber utama dari pemberontakan di Libya. Tetapi pesawat-pesawat NATO menghentikan aksi Qaddafi, dan melindungi Benghazi.)
CNN,
the Telegraph,
the Washington Times, dan banyak lagi media mainstream lain yang mengkonfirmasi bahwa setelah tumbangnya Qaddafi, teroris Al Qaeda dari Libya membanjiri Syria untuk memerangi Assad. Sumber-sumber mainstream juga mengkonfirmasi bahwa pasukan oposisi Syria sebagian besarnya terdiri dari teroris Al Qaeda. Silahkan baca di
sini,
sini,
sini,
sini,
sini,
sini,
sini,
sini,
sini dan
sini.
Amerika Serikat telah mempersenjatai
oposisi Syria sejak
2006. Pemerintahan Libya pasca-Qaddafi pun adalah penyandang dana terbanyak dan
penyuplai senjata bagi oposisi Syria.
Cerita Sesungguhnya di Benghazi
Cerita ini akan membawa kita pada pembunuhan Stevens (Duta Besar AS di Libya) dan pengunduran diri mendadak bos CIA, Petraeus.
Business Insider melaporkan bahwa Stevens kemungkinan terkait dengan teroris Syria:
Bermunculan bukti-bukti bahwa agen-agen AS, terutama mendiang Dubes Chris Stevens, minimalnya mengetahui adanya pengiriman senjata-senjata berat dari Libya to pemberontak ‘jihad’ Syria.
Pada bulan Maret 2011 Stevens menjadi penghubung resmi AS dengan oposisi Libya yang terkait al-Qaeda, bekerja secara langsung dengan Abdelhakim Belhadj dari Libyan Islamic Fighting Group, grup yang saat ini sudah dibubarkan, dan sejumlah pasukan dari grup ini
dilaporkan berpartisipasi dalam penyerangan yang merenggut nyawa Stevens.
Pada November 2011
The Telegraph melaporkan bahwa Belhadj, dengan menjabat sebagai Direktur
“Tripoli Military Council” bertemu dengan pimpinan
Free Syrian Army (FSA) di Istanbul dan di perbatasan Syria-Turki, untuk membicarakan upaya pemerintahan baru Libya dalam menyediakan uang dan senjata kepada oposisi Syria.
Bulan lalu,
The Times of London melaporkan bahwa kapal Libya yang membawa pasokan senjata terbanyak untuk Syria telah berlabuh di Turki. Berat total senjata itu dilaporkan 400 ton, di antaranya jenis
SA-7 surface-to-air anti-craft missiles dan
rocket-propelled grenades.
***
Reuters melaporkan bahwa pemberontak Syria telah menggunakan senjata berat itu untuk menembak jatuh helicopter dan jet tempur Syria. Kapten kapal itu adalah orang Libya dari Benghazi dan kepala sebuah organisasi bernama “Dewan Nasional Libya untuk Penyelamatan dan Dukungan” yang kemungkinan dibentuk oleh pemerintahan baru Libya.
Lebih jauh lagi, kita tahu bahwa jihadists (pejuang atas nama agama) adalah pasukan tertangguh dalam kekuatan oposisi Syria, tetapi darimana mereka datang?
Pekan lalu, The Telegraph melaporkan bahwa komandan FSA (Free Syrian Army) menyebut mereka (para jihadist) “orang Libya” ketika mereka menjelaskan bahwa FSA tidak menginginkan “orang-orang ekstrimis”.
Dan jika pemerintah baru Libya mengirimkan ‘pejuang Islam’ dan 400 ton senata berat ke Syria melalui
pelabuhan selatan Turki—sebuah kontrak yang dimakelari oleh Belhadj –kontak utama Stevens selama revolusi Libya—maka ini artinya pemerintah Turki dan AS pastilah mengetahui hal ini.
Lebih jauh lagi, ada
markas CIA di Benghazi, 1,2 mil dari konsulat AS, digunakan sebagai “basis bagi beberapa hal, antara lain mengumpulkan informasi pengumpulan senjata yang dijarah dari gudang-gudang senjata pemerintah Libya, termasuk
surface-to-air missiles” … dan pengamanan di markas ini jauh lebih canggih dibanding dengan pengamanan di vila sewaan di mana Stevens tewas.”
Dan kita tahu bahwa CIA telah menyalurkan senjata kepada pemberontak di selatan Turki. Pertanyaannya di sini, apakah CIA telah terlibat dalam pengiriman senjata berat dari Libya? Dengan kata lain, Dubes Stevens kemungkinan adalah seorang pemain kunci dalam pengiriman teroris dan senjata dari Libya untuk memerangi pemerintah Syria.
Sumber lain juga
mengklaim bahwa konsulat AS di Benghazi utamanya digunakan sebagai markas operasi CIA dalam pengiriman ‘pejuang’ dan senjata ke Syria.
Banyak yang berspekulasi bahwa prosedur pengamanan yang cukup tidak dilakukan terhadap konsulat Benghazi atau untuk menyelamatkan Dubes Stevens disebabkan CIA berupaya untuk terlihat sangat low profile demi melindungi operasinya sehingga konsulat terlihat seolah-olah kantor Kemenlu biasa.
Waktulah yang akan membuktikan semua persangkaan ini. Apapun yang dilakukan CIA di Benghazi – dan apapun alasan sesungguhnya di balik pengunduran diri Petraeus, poin krusial dari kejadian ini adalah kebijakan luar negeri AS saat ini, dan sepanjang sejarah. Selama beberapa dekade, AS telah mendukung para terroris untuk mencapai tujuan geopolitik. Pemerintah AS secara konsisten telah merencanakan perubahan rezim di Syria dan Libya selama
20 tahun terakhir dan bahkan memimpikan adanya perubahan rezim itu –dengan menggunakan teror
‘false flag’ – selama
50 tahun.
Dilihat dari sini, Obama sebenarnya hanya mengemas ulang ‘Perang Melawan Terorisme’ Bush dan kaum
neocons, dengan sejumlah
humanitarian wars (‘Perang Kemanusiaan’).