Suhendro, Pengamat Demokrasi dan Permasalahan Bangsa
Masa Pileg sudah berakhir dengan menampilkan juara baru yakni PDIP disusul Golkar dan Gerinda (Jika belum berubah). Kini rakyat Indonesia memasuki babak final yakni masa Pilpres. Gayung bersambut tokoh-tokoh yang dicapres-cawapreskan bersiap untuk bertarung dalam Pilpres seperti Joko Widodo (PDIP), Abdul Rizal Bakrie (Golkar), Prabowo Subianto (Gerinda), Rhoma Irama (PKB) dan lainnya. Semua itu tergantung dengan siapa parpol akan membentuk koalisi, dan siapakah pemenangnya? Kita lihat 9 Juli 2014, oke..Semoga saja tidak ada kontrak politik dengan meminta jatah kursi menteri yang ujung-ujungnya demokrasi tetap seperti yang kemarin-kemarin. Caleg yang terpilih di 2014 mudah-mudahan lebih cerdas, kreatif, jujur dan amanat terhadap tuntutan rakyat Indonesia yakni kesejahteraan yang adil dan merata dalam segala bidang kehidupan. “Semua orang tidak perlu menjadi malu karena pernah berbuat kesalahan, selama ia menjadi lebih bijaksana daripada sebelumnya.” Terlepas dari itu, rakyat Indonesia layak bersyukur karena NKRI menganut sistem demokrasi presidensial, dimana presiden dan anggota DPR dan DPD dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam sistem ini siapapun idealnya berhak mencalonkan dirinya sebagai calon pemimpin bangsa (kekuasaan pun dibatasi 5 tahun sekali). Keberhasilan akan diapresiasi dengan dipilih kembali, kegagalan akan diganjar hukuman dengan tidak dipilih kembali. Semua calon pun diberi kesempatan untuk diuji oleh publik, namun proses regenerasi pemimpin meritokratis ini seakan masih belum optimal akibat adanya semacam belenggu yang memetahkan proses regenerasi pemimpin secara meritokratis ini.
Adanya parliamentary treshold sebesar 20% bagi partai politik yang hendak mencalonkan calon presiden menghambat munculnya capres-capres alternatif ke permukaan. Kita bersyukur pileg dan pilpres serentak akan dilaksanakan pada 2019 dan berharap keputusan tersebut tidak lagi dianulir sehingga tahun 2019 bisa menjadi momen yang revolusioner dalam regenerasi kepemimpinan di Indonesia. Tidak hanya aturan yang menjadi belenggu, namun juga sistem pendanaan partai politik yang sangat bergantung pada elit kaya. Sistem ini menjadikan partai cenderung sebagai kendaraan para elit kaya mencari kekuasaan.
Selain itu, buruknya sistem pendanaan partai politik di Indonesia ini tercermin dari maraknya korupsi politik yang menggerogoti institusi-institusi demokrasi. Sementara itu, demokrasi yang sangat money oriented akhirnya menghambat calon-calon pemimpin potensial untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin publik. Pembenahan aturan mengenai sistem pendanaan partai politik berkorelasi dengan pembangunan regenerasi kepemimpinan yang meritokratis di sektor publik. Membangun regenerasi kepemimpinan meritokratis akhirnya membutuhkan peralihan mindset shifting besar-besaran serta pembuatan aturan dan platform yang kondusif untuk mendorong hal tersebut.
Kemudian, dengan budaya meritokratis diharapkan permata-permata berkilau dari 240 juta rakyat dapat muncul ke permukaan. Salah satu pilar kemajuan peradaban barat adalah budaya meritokrasi, dimana prinsip meritokrasi itu sederhana karena setiap individu di masyarakat adalah sumber daya potensial yang harus diberi kesempatan yang sama (sebanyak mungkin) untuk mengembangkan diri dan memberikan kontribusi kepada masyarakat, dimana semua organisasi, regenerasi kepemimpinan akan selalu berhasil melahirkan pemimpin berkualitas dan memajukan organisasi karena tidak ada bakat-bakat yang dianggap remeh dan diskriminasi.
Namun, dalam masyarakat feodal budaya ini tidaklah biasa. Dalam masyarakat ini, regenerasi pemimpin bersifat patron-client relationship dimana calon pemimpin harus mendapatkan “blessing” dari orang-orang yang mempunyai pengaruh (patron) barulah dapat memperoleh kesempatan menjadi pemimpin. Walhasil pemimpin yang dihasilkan tidaklah memiliki kualifikasi memadai bahkan cenderung bertipe “penjilat”. Lemahnya budaya meritokrasi dalam masyarakat Indonesia tercermin misalnya dalam proses pemilihan ketua kelas saat sekolah dulu. Biasanya saat ditanya siapa yang ingin menjadi ketua kelas tidak ada yang menyahut bahkan posisi ketua kelas itu cenderung diserahkan pada orang yang bisa dijadikan “tumbal”.
Dalam organisasi-organisasi, pemimpin dipilih seringkali berdasarkan senioritas akibat budaya tidak enakan pada orang tua tanpa menguji terlebih dahulu kapasitas orang tersebut serta melihat kemungkinan pilihan-pilihan alternatif. Dalam masyarakat Indonesia, mereka yang menawarkan diri menjadi pemimpin cenderung dipersepsi negatif, padahal mereka lebih berpeluang untuk menunjukan siapa dirinya, semampu apa mereka sebab mereka siap diuji kapasitasnya sebelum memimpin. Lain halnya dengan pemimpin yang mengandalkan patron-client relationship, mereka seolah menunjukan keengganan menjadi pemimpin namun sibuk mencari cara untuk mendapat blessing dari yang dituakan agar bisa menjadi pemimpin. Sedangkan, pemimpin meritokratis akan menyiapkan dirinya dengan kapasitas yang memadai sebelum menawarkan dirinya serta lebih bertanggungjawab sebab keinginan menjadi pemimpin muncul berasal dari panggilan dari dalam dirinya. Setelah memperoleh posisi pemimpin, pemimpin meritokratis akan bertanggung jawab pada yang dipimpinnya. Lain halnya dengan pemimpin yang andalkan patron-client relationship, dimana bertanggung jawab menyenangkan patron-nya sebab mandat berasal dari sana, bukan menjadikan yang dipimpin sebagai stakeholder utama.
Pada masa presiden Soekarno, rakyat ikut-ikutan dalam mempunyai tanggung jawab terhadap negara ini, tetapi jaman sekarang justru rakyat juga ikut-ikutan untuk melakukan korupsi dengan berbagai cara. Jika berbicara karakter seorang pemimpin yang memiliki sikap negarawan pasca orde lama, sulit sekali saat ini ditemukan. Pasca orde lama, para pendiri bangsa benar-benar memliki sikap negarawan yang tinggi dan loyal sekali dengan visi dan misi kemerdekaan Indonesia yang sesuai dengen cita-cita revolusi. Pemimpin-pemimpin saat ini hanya melakukan perdebatan yang hanya membicarakan proyek pembangunan serta jabatan. Sistem demokrasi dan politik Indonesia sekarang ini tidak akan melahirkan seorang pemimpin yang negarawan.
Semuanya ini akibat implintasi sistem demokrasi transasksional yang merupakan fakta-fakta yang tidak bisa dibantahkan oleh kalangan generasi penerus. Selain itu, adanya sistem politik demokrasi yang benar-benar mengeluarkan biaya tinggi yang mana semuanya berakibat melahirkan seorang pemimpin yang korup. Saat ini kesenjangan sosial antar masyarakat yang satu dengan yang lainnya sangat tinggi, seperti contoh dalam penegakan hukum banyak pejabat peradilan yang melakukan korupsi (mafia peradilan). Untuk itu, yang perlu dibenahi dalam melahirkan seorang pemimpin yang negarawan adalah sistemnya serta penyebabnya. Kepemimpinan negarawan yaitu harus mengerti tentang negaranya serta memperjuangkan seluruh rakyatnya tanpa perbedaan dan pengelompokan.
Perlu diketahui bahwa negara itu mempunyai landasan, dan Indonesia mempunyai landasan Pancasila, jadi kedepannya seorang pemimpin Indonesia harus Pancasialis dan tidak mementingkan kepentingan asing serta menjadi boneka bangsa asing. Untuk itu, Indonesia harus bisa menjadi negara yang berdaulat disemua bidang serta dapat membangun dan mengisi kemerdekaan. Ada beberapa kriteria pemimpin yang negarawan yaitu bijaksana, merakyat, membumi, tidak pernah membohongi rakyatnya, dan berani. Ciri-ciri tersebut adalah merupakan ciri seorang pemimpin yang diharapkan sekarang ini. Melahirkan seorang pemimpin yang baik dan negarawan itu harus melalui sistem yang baik juga.
Bangsa Indonesia sekarang ini ibarat berada dipersimpangan jalan, didunia ini tidak ada negara yang sekaya Indonesia dan semuanya itu akibat dari adanya penyimpangan seluruh isi UUD 45. Perlu diketahui dari seluruh rakyat Indonesia hanya 20 % saja yang benar-benar menikmati kemerdekaan, sisanya sebanyak 80% belum bisa menikmati kemerdekaan. Ingat.. You can’t win unless you learn how to lose.
“Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan. jangan lihat masa depan dengan ketakutan, tetapi lihatlah sekitarmu dengan penuh kesadaran.”