Plutokrasi: Tirani akan Menimbulkan Perlawanan

Bagikan artikel ini

Membandingkan warna dan kiprah rezim selama Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945, cermatan sekilas penulis baik pada forum akademis, melalui media baik mainstream maupun nonmainstream, media sosial, ataupun di forum informal seperti cangkruk’andi warung kopi, dan sebagainya ada kecenderungan opini bahwa Orde Baru dianggap rezim paling tirani, brutal lagi otoriter dibanding dengan rezim-rezim lain. Betapa tidak, selama 30-an tahun berkuasa, ia memberangus kebebasan, menyeragamkan pemikiran, penembakan-penembakan misterius, ataupun mampu memenjarakan orang tanpa proses peradilan, dan lain-lain. Inilah stigma buruk atas kiprah Orde Baru tempo doeloe. Pun sejatinya tak semuanya buruk, cuma sebagian masyarakat lupa, justru pada zaman Orde Baru kestabilan politik dan keamanan sangat terkendali, harga-harga terjangkau, swasembada pangan, pernah menjadi net oil exporter, bahkan nilai tukar dolar Amerika berkisar dua ribuan rupiah, dan lain-lain.

Dari pembahasan stigma yang disandang Orde Baru hingga kini, ada benang kecil yang bisa ditarik, bahwa sebagian rakyat kita kerapkali melihat sistem negara dan/atau pemerintah hanya dari aspek ‘sebab’ tetapi mengabaikan ‘akibat atau hasil’ dari sebuah sistem tersebut. Dengan kata lain, jika (sebab) sistemnya otoriter maka hasilnya (akibat) dianggap buruk; jika sistemnya demokrasi pasti dinilai baik, dan seterusnya. Kendati sebenarnya, hampir tidak pernah ada sistem dan tatanan yang sempurna, selalu ada kekurangan-kekurangan serta kelebihan masing-masing.
Kecenderungan melihat sistem dari sisi ‘sebab’ — barangkali inilah arus yang menggiring Orde Baru terstigma sebagai rezim (otoriter) paling brutal di sepanjang sejarah Indonesia merdeka. Kendati dalam praktiknya, tak semua sistem otoriter berujung buruk. Rusia misalnya, jika dibanding rezim sebelumnya yang cenderung terbuka serta hampir membawa Rusia menjadi negara gagal, di tangan Putin yang (semi) otoriter, justru Rusia kembali berkibar di panggung global. Rakyatnya senang dan menerima keadaan tersebut karena negaranya lebih baik daripada era sebelumnya. Tak boleh dielak, di zaman Putin, Rusia Raya diperhitungkan oleh dunia.
Tampaknya disini, pola persepsi rakyat Rusia berbanding terbalik dengan sebagian rakyat Indonesia. Mereka —rakyat Rusia—cenderung melihat apa yang dihasilkan oleh sebuah sistem, bukan mengurusi apa model sistemnya. Dengan kata lain, entah otoriter, demokrasi, kerajaan, plutokrasi, dsb tak lagi menjadi masalah bagi rakyat Rusia. Bukan urusan. Kenapa? Karena rakyatnya enjoy dengan sistem yang kini dijalankan oleh Putin. Mereka melihat ‘hasil’ dari kepemimpinan dan manfaat sistem tersebut.
Balik ke tanah air. Usai Orde Baru jatuh, Indonesia dipandang dunia sebagai negara yang super demokrasi. Ibarat air bah yang ditahan, (air) kebebasan dilepas sehingga meluap. The exercise of freedom. Surplus dimana-mana. UU Subversif dicabut. Negara terlihat lemah. Unjuk rasa dan pelanggaran hampir dimana-mana atas nama hak azasi. Penegakkan hukum lembek karena para penegaknya ragu-ragu bertindak (khawatir melanggar HAM), aparat menjadi bulan-bulanan, dsb.
Uraian tadi, itulah sepintas potret dinamika sosial-kemasyarakatan baik di masa Orde Baru terutama era setelahnya. Tetapi itu cerita kemarin. Tampaknya, kini atmosfirnya sudah berubah, kendati “warna perubahan”-nya berbeda dibanding era Orde Baru dan/atau sesudahnya (Era Habibie, Gusdur, Megawati dan SBY).
Ya. Yang terlihat kini bukan lagi otoritarian, terpimpin, atau era (surplus) demokrasi, tetapi sistem sekarang sepertinya mengarah pada plutokrasi. Apa itu? Inti definisi plutokrasi ialah sistem pemerintahan yang berbasis kekuasaan atas kekayaan segelintir orang pemegang kuasa. Plutokrasi diambil dari bahasa Yunani. Berasal dari kata ploutos, arti Indonesianya adalah kekayaan dan kratos itu kekuasaan. Demikian konsep umumnya. Kenapa dipakai istilah Yunani? Bahwa sejarah keterlibatan para pengusaha ke dalam politik kekuasaan konon berawal dari Yunani, kemudian bergeser ke Italia, dan agaknya kini hampir mengglobal.
Tatkala cermin plutokrasi disorotkan ke era kini di republik tercinta ini, maka akan ditemui sebuah fenomena bahwa rezim dikendalikan oleh jaringan orang-orang kaya (konglomerasi). Buktinya, Presiden dan Wakilnya pengusaha, Ketua DPR pengusaha, Ketua MPR dan DPD pengusaha, termasuk beberapa menteri dan pejabat tinggi negara juga pengusaha. Mana lagi?
Mungkin kali pertama dalam sejarah bangsa ini, Indonesia dipimpin oleh kelompok plutokrat. Meski secara de jure, Indonesia disebut negara demokrasi tetapi secara de facto, begitulah adanya. Pertanyaannya, “Apakah tidak boleh negara dipimpin oleh pengusaha?” Tidak ada pakem melarangnya. Donald Trump itu pengusaha super kakap, bahkan realis pasar. Kini toh ia memimpin Amerika Serikat.
Mungkin kecenderungan buruk plutokrasi ialah penggunaan politik kekuasaan hanya untuk mengakumulasi kekayaan. Kekuasaan dipakai untuk memfasilitasi konsentrasi dan sentralisasi kekayaan secara besar-besaran, tulis Nugroho Prasetya mengutip James Petras, sosiolog dari Universitas Binghampton, New York. Pun demikian menurut Michael Walzer, mereka mengendalikan negara semata-mata demi mereguk keuntungan pribadi (Sphere of Justice: A Defense of Pluralism and Equality, 1983). Dengan kata lain, plutokrat ialah penguasa politik sekaligus ekonom. Akibat posisi ganda ini, kekayaan dan kekuasaan pun berlipat-lipat. Maka tak boleh disangkal, side-effect (dampak samping) beroperasinya sistem plutokrasi ini adalah gap atau kesenjangan ekonomi serta disparitas sosial menganga lebar. Yang miskin tetap miskin, yang kaya tambah kaya.
Di republik ini, model (plutokrasi) itu jelas bertolak belakang dengan Pancasila terutama sila kelima, karena selain “ruh”-nya mensyaratkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, juga dari sisi konsepsi jelas terlihat, bahwa sekelas Nawa Cita sekalipun —program mulia— apabila ia dijalankan dalam sistem plutokrasi maka bisa distorsi sekedar macan kertas.
Selanjutnya apabila ditinjau dari sisi hasil, ketika plutokrasi disandingkan dengan pemerintahan totaliter, akan terlihat bahwa plutokrasi tak juga lebih baik. Hipotesanya, “Apakah era kini lebih baik daripada Orde Baru dalam hal sandang, pangan, papan dan keamanan?” Belum tentu. Mengapa? Konon plutokrasi merupakan antitesis dari (tesis) model dan sistem totaliter. Bahkan ia dinilai lebih tirani daripada otoritarian. Instrumen hukum sebagai alat meraih keadilan contohnya, di tangan rezim plutokrasi kerapkali berpihak karena ada tekanan para plutokrat yang memiliki kekuasaan berlipat ganda. Betapa nelangsa para aparat hukum di era plutokrasi, mereka berkiprah tidak atas “jati diri”-nya.
Sejarah bangsa-bangsa di dunia menyatakan, bahwa setiap tirani akan selalu menimbulkan perlawanan. Mungkin sudah hukum alam. Fir’aun memunculkan Musa, Chechoslovakia melahirkan Václav Havel, Venezuela membidani Hugo Chávez, Bolivia menerbitkan Evo Morales, dan lain-lain termasuk jatuhnya Orde Baru karena faktor otoriter.
Sekali lagi, memang tidak akan pernah ada sistem dan tatanan yang sempurna, selalu ada kekurangan-kekurangan serta kelebihan masing-masing. Itu sebuah keniscayaan.
Mengakhiri tulisan ini, ada dua retorika menarik muncul, pertama: “Apakah rezim sekarang ini tak lebih tirani daripada Orde Baru dahulu?” Retorika kedua: “Apakah kelak sistem yang riil berjalan kini akan (dan sudah) melahirkan perlawanan-perlawanan sebagaimana peristiwa di beberapa negara di atas?”
Retorika tidak untuk dijawab. History repeat itself. Dan kelak sejarah pula yang bakal membuktikan.
Penulis: M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com