Program Nuklir Korea Utara Akan Jadi Perang Diplomasi Antara Presiden Trump dan Presiden Jinping di Florida

Bagikan artikel ini

Menjelang pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping di Florida Kamis dan Jumat mendatang, Program Nuklir dan Rudal Balistik antarbenuar Korea Utara nampaknya akan menjadi salah satu isu pembahasan yang cukup krusial  antara AS dan Cina. Berita terkini yang dilansir oleh BBC pada 5 April 2017, Korea Utara kembali meluncurkan rudal balistiknya ke Laut Jepang dari pelabuhan timurnya di Sinpo. Kementerian Pertahanan Korsel menyebut, rudal milik Korut tersebut terbang sekitar 60 km atau 40 mil.

Peristiwa tersebut nampaknya parallel dengan yang terjadi pada 12 Februari lalu, ketika Korut juga melakukan uji coba peluncuran rudal. Menarikanya lagi, ketika uji coba peluncuran rudal Korut pada 12 Febaruari berlangsung bersamaan dengan pertemuan antara Presiden Trump dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Florida, AS, maka ketika Korut meluncurkan rudal  balistisknya ke Laut Jepang, berlangsung hanya selang sehari sebelum pertemuan Trump-Jinping yang juga akan dilangsungkan di Florida, AS.
Pada pertemuan Trump-Abe pada 12 Februari lalu itu, kedua kepala negara bersepakat mengecam Korea Utara dan menyerukan Korea Utara untuk  mematuhi resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Menyusul uji coba peluncuran rudal balistik Korut itu pada 12 Februari lalu, keresahan pihak AS, Jepang dan Korea Selatan memang tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Begitu uji coba rudal Korea Utara itu dilakukan, ketiga negara tersebut kontan mengajukan konsultasi darurat kepada Dewan Keamanan PBB. untuk membahas penembakan rudal balistik oleh Korea Utara ke Laut Jepang. Sebab itu berarti tepatnya rudal Korut itu jatuh di antara Semenanjung Korea dan Jepang. Memang bisa dimengerti jika Jepang jadi sangat khawatir.
Lantas, bagaimana membaca manuver militer Korut meluncurkan rudal balistiknya pada 5 April hari ini? Padahal beberapa hari sebelumnya Trump melalui wawancara dengan harian the Financial Times, menekan Cina agar menggunakan pengaruhnya terhadap Korut untuk menghentikan Program Nuklirnya dan Rudal Balistik antarbenua (ICBM). Kalau melihat manuver Korut ini, sepertinya hendak mengirim isyarat bahwa Cina tak akan punya pengaruh terhadap Korut untuk menghentikan baik Program Nuklir maupun rudal balistiknya.
Sekadar catatan tambahan, bulan lalu saja Korut  telah menembakkan empat rudal balistik menuju Laut Jepang dari wilayah Tongchang-ri, dekat perbatasan Cina. Sehingga jika eskalasi konflik Korea Selatan versus Korea Utara ini akan semakin meningkat beberapa waktu ke depan, sudah sepantasnya jika Cina pun dilanda kekhawatiran. Cina sendiri sebenarnya termasuk salah satu negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan sanksi keras kepada Korut.
Namun demikian Cina memandang Korut sebagai mitra kawasan kalau tidak mau dikatakan sebagai sekutu Cina di Asia Timur. Namun seperti tergambar dari pesimisme mantan Menteri Pertahanan AS Ash Carter dalam tulisan kami Selasa kemarin, nampaknya Cina tidak akan berhasil memaksa Korut menghentikan uji coba peluncuran rudal balistiknya, apalagi Program Nuklirnya.
Tentu saja ini merupakan beban berat bagi Presiden Jinping dalam pertemuannya dengan Trump di Florida Kamis dan Jumat mendatang. Karena dalam pernyataannya lewat Financial Times itu, Trumph memperingatkan Cina jika tidak bersedia memaksa Korut menghentikan Program Nuklirnya dan rudal balistiknya, AS akan melakukan aksi sepihak.
Frase Trump “Aksi Sepihak” tentu saja mengundang tanda-tanya. Apakah berarti akan melakukan aksi militer menginvasi Korut? Terlepas dari kemungkinan semacam itu, AS memang punya sebuah kartu truf. Yaitu sistem rudal anti rudal terbaru, atau Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) milik AS di Korea Selatan.
THAAD ini selain berfungsi untuk menangkal serangan rudal balistik, juga didukung radar  yang mampu mengendus kegiatan lawan hingga sejauh 2000 kilometer. Sehingga AS dan Korsel mampu mengantisipasi setiap gerak-gerik tentara Korut sejak detik pertama mempersiapkan rudak-rudal balistik mereka.
Perkembangan ini semakin mengkahwatirkan Korut dan Cina. Meskipun THAAD ini lebih ditujukan untuk menangkal serangan rudal dari Korut, namun Cina pastinya menyadari bahwa hal itu juga ditujukan kepada Cina. Mengingat kemampuannya mengendus aktivitas militer pihak lawan hingga sejauh beribu-ribu kilometer.
Itulah Salah satu pertimbangan kenapa Korut lakukan uji coba rudal jarang menengahnya adalah, ketika mendengar informasi bahwa AS dan Korea Selatan menyepakati Terminal High Altitude Area Defense(THAAD). Sehingga memicu kemarahan Pyongyang dan Beijing.
Sebab salah satu keunggulam radar THAAD ini juga memungkinkan AS memperoleh data rudal Cina, sehingga kemampuannya yang spektakuler ini sangat berpotensi untuk merusak strategi nuklir maupun senjata-senjata strategis militer Cina. Kenyataan bahwa sistem rudal anti rudal jenis THAAD ini belum diketahui kemampuannya yang sesungguhynya dibandingkan dengan produk sebelumnya seperti misalnya rudal anti rudal Patriot, justru semakin mengkhawatirkan bukan saja buat Korut, melainkan juga Cina.
Bisa jadi THAAD inilah yang merupakan senjata strategis dan keunggulan AS sehingga Trump berani menantang Cina akan melakukan aksi sepihak untuk menangani Korut tanpa keikutsertaan Cina.
Namun demikian terlepas dari berbagai kemungkinan tersebut di atas, nampaknya eskalasi konflik di Semenanjung Korea bakal semakin memanas. Sebab pada akhirnya, faktor penentu sesungguhnya adalah Korea Utara itu sendiri. Mengingat kesejarahannya, sebenarnya mitra strategis yang kemungkinan lebih didengar oleh Korea Utara adalah Rusia.
Sebab Rusia atau yang pada akhir Perang Dunia II bernama Uni Soviet, merupakan negara yang membidani kelahiran Korea Utara, untuk mengimbangi skema campur tangan AS untuk menjadikan dirinya sebagai satu-satunya kekuatan global yang ada di semenanjung Korea. Sehingga meskipun Cina pada perkembangannya kemudian menjadi mitra kawasan Cina, namun kedekatan Cina dengan Korea Utara tidak sesolid ikatan hubungan kesejarahan antara Korea Utara dan Rusia.
Maka itu, solusi pemecahan krisis Korea, apalagi jika hendak diarahkan menuju Reunifikasi Korea, harus melibatkan enam negara. Selain Korea Utara dan Korea Selatan yang secara langsung terlibat konflik, juga harus melibatkan Jepang, Amerika Serikat, Cina dan Rusia.
Sehingga pada perkembangannya, krisis Korea pada hakekatnya tida bisa lagi dipandang semata-mata sebagai persoalan kemiliteran, melainkan terkait juga dengan bidang politik, ekonomi, hukum dan kebudayaan.
Penulis: Hendrajit, Pengkaji Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com