Judul catatan ini, adalah salah satu hasil breakdown atas pokok permasalahan bangsa yaitu “Bagaimana membangun Indonesia menjadi bangsa yang maju, adil, bermartabat, dan sejahtera?” Dan barangkali, itulah persoalan utama bangsa dimanapun, siapapun, dan sampai kapanpun.
Pertanyaan pertama muncul, sesungguhnya itu permasalahan siapa? Ya, sudah barang tentu merupakan permasalahan bersama anak bangsa, entah mereka yang tengah duduk di eksekutif, legeslatif, yudikatif, ataupun segenap komponen bangsa lainnya di berbagai status, profesi, golongan, pekerjaan, dan lain-lain.
Pertanyaan kedua, darimana mengurai permasalahan tersebut dan bagaimana upaya menyelesaikannya, maka pintu bahasan artikel ini melalui lima substansi, atau saya mengistilahkan ‘pokok-pokok kegelisahan SBY’. Hal ini mutlak disimak bersama, mengingat pokok-pokok kegelisahan tersebut, pernah ia sampaikan dalam acara buka puasa bersama dengan para pimpinan organisasi kewartawanan, media massa, pemimpin reedaksi, wartawan senior, dan wartawan Istana Negara, Jakarta, Selasa, 16 Juli 2013, antara lain:
Pertama, soal sistem ketatanegaran dan distribusi kekuasaan di negeri ini, apakah memang sudah yang terbaik bagi Indonesia?
Kedua, apakah demokrasi, stabilitas, serta pembangunan, tiga hal yang bisa hidup berdampingan secara damai serta membangun negara kita ke arah yang lebih baik, dan apakah kehadiran tiga hal itu (demokrasi, stabilitas, dan pembangunan) di negeri kita ini, betul-betul itu yang kita harapkan?
Ketiga, bahwa hubungan antara negara, pemerintah, dan masyarakat—masyarakat dalam artian rakyat—apakah telah terjalin dengan tepat dan baik dalam kehidupan di negeri ini?
Keempat, jalan seperti apa yang mesti ditempuh oleh bangsa ini —road to developed nation— menuju negara maju. Tidak bisa dielak memang akan muncul tentang character of the nation. Dan ketika bicara character of the nation, we have to build character itu. Character building menjadi isu sentral bagi sebuah bangsa yang ingin menjadi negara yang maju.
Kelima atau terakhir, perihal responsibility sharing, artinya bagaimana kita berbagi peran, berbagi tanggung jawab, dan kemudian bekerja bersama untuk kemajuan negara kita.
Sebelum menjawab secara garis besar beberapa kegelisahannya, SBY mengurai dulu perihal gegap dinamika sosial politik selama ini, terutama di era kepemimpinannya. Soal reformasi misalnya, ia menegaskan bahwa itu hanyalah proses koreksi, perubahan dan pembaharuan, karena reformasi bukan kerja sekali jadi. It’s a process, not an event. Jadi tak boleh berhenti di tengah jalan.
SBY mewanti-wanti bahwa reformasi bukan cuma jebol sana-jebol sini, hantam ini-hantam itu, lalu gilirannya kehilangan daya, losing steam, dan terhenti, sedangkan perjalanan mencapai cita-cita proklamasi masih jauh di depan. Bukan seperti itu perubahan yang harus dilaksanakan. Reformasi memang menyakitkan. Painful. Penuh pasang surut, bahkan setback (kemunduran). Ini salah satu resiko. Yang utama ialah tetap bergerak, berjalan, dan berlanjut.
Dengan demikian, apa yang terjadi di Indonesia pada kepemimpinan SBY sejatinya bukan sekedar reformasi tetapi transformasi. Kenapa demikian, karena bangsa ini terus bergerak ke depan, melakukan perubahan dan pembaruan, tidak terhenti dan patah di tengah jalan. Ini perlu disyukuri dengan optimisme tinggi, Indonesia akan jauh lebih baik di masa depan dibanding Indonesia kini, harap SBY.
Adanya refleksi, koreksi, dan perbaikan-perbaikan yang terus bergulir di era reformasi, oleh sebab bangsa ini tidak menginginkan koreksi besar (lagi) sebagaimana peristiwa dekade 1966 dan 1998-an dulu. Tak perlu menunggu perubahan dramatis, radikal, dan revolusioner jika bangsa ini sadar bahwa ‘tidak pernah ada sistem dan tatanan yang sempurna’. Selalu ada kekurangan-kekurangan.
Jika bangsa ini sadar untuk senantiasa melaksanakan koreksi secara terus-menerus dan berlanjut, maka tanpa perlu dikoreksi oleh sejarah —sebagaimana dekade 1966 dan 1998— dan tentunya, tanpa perlu lagi harus ‘berdarah-darah’, karena bangsa ini telah mampu mengoreksi dirinya sendiri jika ada kekurangan, bila dijumpai kesalahan, atau ketika ditemui kelemahan disana-sini. Bangkitlah bangsaku!
(Bersambung ke 2)
Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)