Satrio Arismunandar, Wartawan Senior
Inilah gunanya sejarah. Dibaca, dipelajari, disimak, supaya kita semua belajar untuk TIDAK terjerumus ke lubang yang sama. Kenapa tidak ada yang membahas dari “kemiripan” (copy paste?) pola kerusuhan SARA yang terjadi di Papua dengan pola kerusuhan yang SUDAH pernah dilakukan di Ambon.
Kita ingat konteks Ambon pasca berhentinya Soeharto. Pemicunya juga sama: serangan ke orang Islam oleh kelompok “Kristen” justru pada hari Idul Fitri atau sesudah bulan puasa! (sebetulnya dalam pola intelijen, tidak penting siapa pelakunya karena bisa direkrut dari siapa saja dan dari mana saja, walau di-set up agar mencitrakan kelompok tertentu untuk memicu kerusuhan yang lebih luas). Menurut sumber-sumber, gerakan ke arah rusuh Ambon waktu itu sebetulnya sudah terendus oleh intelijen.
Lantas kenapa kerusuhan besar dan saling bunuh bisa tetap terjadi di Ambon? Untuk pertanyaan ini, ada beberapa dugaan: 1) Kasus itu dianggap remeh, sehingga meski sudah dilaporkan oleh intelijen, tidak ditangani secara memadai; 2) Kasus itu diketahui akan rusuh, tetapi sengaja dibiarkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Jadi ada unsur rekayasa sejak awal, bukan spontanitas. Kita belum tahu persis pada kasus Papua 2015 ini, tetapi pada kasus kerusuhan Ambon kita ingat konteksnya. Penguasa lama jatuh, situasi politik-ekonomi goyah (tidak stabil), dan ada pihak-pihak yang merasa terancam (dan diduga memainkan kartu rusuh SARA untuk mengancam pihak lain yang mau menindak/memperkarakannya).
Berdasarkan pengalaman rusuh Ambon, maka dalam kasus Papua 2015 saya mengimbau pada rekan-rekan media: 1) Hati-hati membuat berita, agar tidak menjadi kompor yang memanaskan suasana atau meningkatkan ketegangan antar-umat beragama; 2) Jangan memberi forum terlalu besar pada pihak-pihak yang ucapannya tidak menjernihkan atau menenangkan, tetapi justru cenderung mengeruhkan suasana dan mengobar-ngobarkan rusuh antar-umat beragama; 3) Jangan menari sesuai irama gendang yang ditabuh para provokator, yang akan bersorak-sorak gembira melihat provokasinya berhasil merusuhkan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Buktikan bahwa media tidak bisa diperalat dan media bukanlah bagian dari upaya kelompok tertentu, yang ingin merusak Indonesia!