Pipit Apriani, mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia, Research Associate Global Future Institute
Pada bulan Ramadhan lalu ada seorang teman yang men-share berita “Orang Indonesia lebih dekat kepada Palestina daripada Papua”. Komentar saya secara refleks adalah “Karena mayoritas Papua bukan muslim. Kalau muslim, pasti ormas Islam akan pasang badan untuk Papua.” Ada teman yang jengkel dan terkejut dengan komentar saya yang sangat SARA tersebut. Saya berikan referensi buku “Politik Lokal di Indonesia” yang menjadi dasar komentar saya tersebut.
Di jaman pak Harto, isu SARA merupakan tuduhan yang cukup efektif untuk membungkam argumen kritis atau ngawur sekaligus. Orang kemudian tidak berani bicara mengenai kesukuan dan agama karena akan dianggap rasis. Padahal perbedaan suku, agama, bahasa, ras dan kelas adalah sesuatu yang nyata dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, karena Indonesia adalah negara yang plural. Buku Politik Lokal di Indonesia yang saya sorongkan ke teman saya itu merupakan penggugah kesadaran saya dan pembaca buku tersebut, bahwa SARA adalah kita, SARA adalah bagian dari Indonesia. Dan kita justru harus membicarakannya, bukan menyembunyikannya. Yang tidak boleh adalah mem-bully orang lain atau kelompok lain atas nama SARA.
Peristiwa Tolikara adalah salah satu bukti bahwa SARA masih menjadi pemicu kasus kekerasan. Dan sayangnya, isunya bergeser menjadi isu sektarian, Islam yang menyelenggarakan sholat Ied versus Kristen yang sedang menyelenggarakan konferensi internasional. Padahal, selama ini di Papua tidak ada konflik dengan alasan agama. Konflik yang selama ini terjadi adalah orang Papua versus militer atau polisi. Yang paham dengan situasi di Tolikara adalah mereka yang berada di sana atau minimal pernah berada di Papua. Kejadian Tolikara di hara Raya Iedul Fitri diawali karena penembakan sejumlah orang sehingga massa tersulut amarah dan membakar sejumlah kios yang ditengah-tengahnya ada musholla. Massa datang bukan untuk sengaja membakar musholla, dengan demikian peristiwa Tolikara bukan karena isu agama.
Seperti komentar saya di awal tulisan ini, “Karena mayoritas Papua bukan muslim. Kalau muslim, pasti ormas Islam akan pasang badan untuk Papua.” Maka saya dapat menduga, bahwa akan banyak pihak yang bersimpati dan membangun ulang musholla yang terbakar tersebut. Dan itu benar adanya. Musholla yang terbakar dalam kejadian ini akan diganti menjadi mesjid. Karena sejumlah pihak yang sudah diketahui memiliki dana besar akan turun tangan, saya bisa membayangkan mesjid yang dibangun bukan sekedar mesjid kecil tetapi mesjid yang megah.
Namun, pembangunan mesjid (yang megah) untuk mengganti musholla yang terbakar akibat kejadian ini tanpa disertai oleh kajian sosiologis mengenai lingkungan setempat, menurut saya hanya akan menambah luka hati orang Papua. Bahwa masyarakat Indonesia di luar Papua dan orang Papua hanya peduli dengan penduduk yang muslim saja. Dan penduduk muslim di Papua kebanyakan pendatang dari Bugis, Ambon, Ternate dan sekitarnya. Simpati dan empati makin menjauh kepada masyarakat Papua yang mayoritas non muslim tetapi bagian dari Indonesia.
Ojo kesusu, kata orang Jawa. Jangan terburu-buru nafsu untuk membangun mesjid. Jangan melihat masalah ini hanya dari perspektif Jakarta dan muslim saja yang merupakan mayoritas di Indonesia. Untuk Tolikara dan Papua, tolong jangan memakai ukuran umum di Indonesia apalagi ukuran Jakarta. Tolikara adalah daerah terpencil yang selama ini aman-aman saja. Pertanyaannya, kenapa isu ini cepat menyebar dan merebak jadi isu sektarian, kalau tidak ada sesuatu di belakangnya.
Papua dan Papua Barat adalah provinsi dengan Otonomi Khusus (otsus), dan dengan demikian mendapatkan dana otsus yangg luar biasa besar. Hal ini membuat provinsi lain cukup iri, sehingga membuat isu melepaskan diri dari Indonesia hanya supaya bisa mendapatkan dana otsus sebesar Papua dan Papua Barat. Beberapa kali saya bilang ke teman-teman Papua yang pro memisahkan diri: “Silahkan kalau menurut kalian itu yang terbaik. Tapi pikirkan juga, apakah kalian siap untuk running sebagai sebuah negara. Kalian SWOT dulu kesiapan kalian, SDM kalian sebelum menjadi sebuah negara terpisah dari Indonesia. Indonesia yang sudah 70 tahun lebih merdeka saja masih jatuh bangun menjalankan negara.” Sebagian mengangguk, karena mengetahui kondisi rakyat Papua yang sebagian besar masih harus berjuang untuk memperoleh pendidikan dasar. Laporan dari seorang teman non Papua yang pernah ke Papua, ada universitas yang mahasiswanya sebagian besar meski sudah level mahasiswa ternyata belum bisa baca tulis karena sibuk bekerja di ladang dan sebagainya. Mereka belajar dengan budaya lisan, bukan tulisan. Karena itu, jangan mengukur Papua dari perspektif Jakarta an sich.
Kalau saya boleh mengusulkan kepada lembaga-lembaga Islam yang memiliki kelebihan rezeki, daripada membangun mesjid yang megah (dan kebetulan sudah di-take over oleh lembaga lain misalnya Dompet Dhuafa), kenapa tidak membangun sekolah-sekolah di Tolikara, perpustakaan dengan buku yang banyak dan bermanfaat serta guru-guru berkualifikasi cukup yang dibayar dengan patut. Everything start with open mind, and open mind is a result of education. Mari membangun Papua dengan hati, mari masuk ke Papua dengan hati, bukan dengan amarah, bukan dengan senjata apalagi balas dendam. Apalagi saat ini masih suasana Hari Raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.