Potensi Kerjasama Energi ASEAN-Rusia Berdasarkan Model SCO

Bagikan artikel ini

Penulis: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Pada 1 September lalu, para menteri pertahanan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan mitra dialog (Rusia, Amerika Serikat, Cina, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, India dan Australia), telah menandatangani deklarasi untuk mencegah konflik di Laut Cina Selatan.

Ini tentu saja merupakan perkembangan terkini yang cukup signifikan mengingat Rusia pun ikut serta dalam panandatanganan kesepakatan tersebut. Karena hakekat dari kesepakatan bersama ASEAN dan Mitra Dialog adalah, berkaitan erat dengan isu keamanan energy dan keamanan maritim.

Meskipun belum semua negara di dunia menempatkan energi sebagai isu politik yang penting, akan tetapi bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik isu energi merupakan salah satu isu krusial. Keamanan energi dalam persepsi negara-negara tersebut bukan semata ketersediaan bahan mentah dan bahan hasil olahan minyak dan gas bumi, namun juga terkait dengan terjaminnya keamanan jalur pasokan minyak dari negara produsen ke negara konsumen.

Sesuai dengan karakteristik kawasan Asia Pasifik yang didominasi oleh laut, keamanan maritim merupakan salah satu isu krusial di kawasan. Berbagai upaya baik unilateral, bilateral maupun multilateral di tempuh negara-negara di wilayah ini untuk menjamin keamanan maritim, khususnya terhadap ancaman perompakan, pembajakan di laut dan terorisme maritim. Kawasan perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, menurut negara-negara pengguna merupakan wilayah perairan yang mendapat perhatian khusus dalam isu keamanan maritim.

Isu Keamanan Energi Di Kawasan Asia Pasifik  

Isu keamanan energi di kawasan Asia Pasifik tidak dapat dilepaskan dari ketergantungan semua negara di wilayah ini terhadap energi fosil (minyak dan gas bumi). Energi fosil dalam seratus tahun terakhir telah mengantar beberapa negara kawasan menjadi pemain utama ekonomi dunia, seperti Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan lebih dari itu, energi fosil juga berkontribusi pada kinerja kekuatan militer negara-negara tersebut.

Memasuki era 1980-an, timbul kekuatan-kekuatan ekonomi baru kawasan seperti Cina, Korea Selatan, India dan beberapa negara Asia Tenggara.

Munculnya negara-negara tersebut sebagai kekuatan ekonomi baru kemudian berbanding lurus dengan meningkatnya kekuatan militer mereka. Namun perkembangan itu tidak diikuti dengan adanya diversifikasi terhadap energi fosil, bahkan sebaliknya ketergantungan terhadap energi fosil kian menjadi-jadi.

Walaupun terdapat beberapa negara di kawasan yang mengembangkan energi nuklir, namun kontribusi energi nuklir bagi kepentingan ekonomi dan militer mereka belum dapat mengurangi kebutuhan terhadap energi fosil.

Amerika Serikat merupakan satu dari sedikit negara yang mampu melaksanakan swasembada energi, namun minyak dan gas bumi adalah pengecualiannya di mana setiap hari negara itu mengimpor 4,7 juta barel per hari pada 2004. Tingginya akan pasokan kebutuhan minyak dari luar negeri membuat negara itu aktif mencari sumber energi di luar negeri dengan segala cara, termasuk melalui penggunaan kekuatan militer.

Jepang sebagai negara industri terbesar di Asia Timur sangat tergantung pada impor minyak, di mana pada 2004 mengimpor 5,449 juta barel per hari.

Ketergantungan pada impor minyak membuat isu keamanan energi Jepang mempunyai hubungan erat dengan kebijakan pertahanannya, karena kegagalan militer negeri itu di masa lalu mengamankan garis perhubungan lautnya berkontribusi pada kekalahan dalam Perang Dunia Kedua.

Cina juga terus meningkat kebutuhan pasokan minyak dari luar negeri, di mana pada 2005 mengimpor 3,181 juta barel per hari. Ketergantungan Cina terhadap impor minyak diperkirakan akan meningkat dari 40 persen pada 2004 menjadi 50 persen pada 2020. Mengingat bahwa Cina ke depan akan terus tergantung pada minyak impor, kebijakan pertahanan dan luar negeri Cina diarahkan untuk mengamankan pasokan energi dari luar negeri.

Negara lain di kawasan Asia Pasifik yang terus meningkat kebutuhan minyaknya adalah India.

India yang tengah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi kawasan pada 2005 diperkirakan mengimpor minyak sebesar 2.09 juta barel per hari. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi India, sejak pertengahan 1990-an kebijakan pertahanan dan luar negeri India salah satunya diarahkan pada pengamanan pasokan minyaknya dari luar negeri.

Sumber utama minyak dunia, termasuk bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik adalah Timur Tengah.

Kawasan Timur Tengah diprediksi mempunyai cadangan minyak sebesar 729 milyar barel. Meskipun di beberapa kawasan dunia lainnya juga terdapat cadangan minyak, namun jumlahnya jauh di bawah nilain cadangan yang tersedia di Timur Tengah. Karena minyak cadangannya terbatasnya, secara politik minyak menjadi bahan rebutan negara-negara yang berkepentingan, khususnya negara-negara besar.

Dikaitkan dengan perkembangan lingkungan strategis kontemporer di Asia Pasifik, bagi negara-negara di kawasan isu minyak bukan saja mencakup tersedia pasokan minyak dari Timur Tengah, tetapi juga meliputi keamanan transportasi minyak dari Timur Tengah ke Asia Pasifik, khususnya Asia Timur.

Isu keamanan jalur pasokan minyak menjadi krusial sejak awal 2000, ketika negara-negara pengguna perairan Asia Tenggara mengeluhkan masalah keamanan maritim di kawasan itu.

Negara-negara pengguna perairan Asia Tenggara mempunyai kekhawatiran bahwa tidak terjaminnya keamanan perairan kawasan itu akan menjadi pintu masuk bagi aksi terorisme maritim. Beberapa negara seperti Amerika Serikat khawatir akan adanya kerjasama antara kelompok perompak dengan kelompok teroris guna mengganggu keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, beberapa negara seperti Amerika Serikat mengajukan beberapa inisiatif untuk mengamankan perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka, misalnya Regional Maritime Security Initiatives (RMSI).

Selain Amerika Serikat, beberapa negara pengguna juga mengajukan gagasan-gagasan untuk menjamin keamanan maritim, seperti FPDA Extended Role On Maritime Terrorism. Contoh lainnya adalah kesepakatan Amerika Serikat-India tentang pengawalan perkapalan Amerika Serikat yang melintas di Selat Malaka.

Persaingan Geopolitik

Adanya keinginan dari beberapa negara pengguna untuk mengamankan perairan Selat Malaka, di samping menimbulkan tantangan dari beberapa negara pantai, juga menimbulkan ketidaksukaan pada negara-negara lain yang turut merasa berkepentingan di Selat Malaka. Salah satu negara yang bersikap demikian adalah Cina, karena Cina memandang inisiatif demikian merupakan agenda terselubung untuk mengganggu pasokan energinya dari Timur Tengah.

Memperhatikan persaingan geopolitik di Asia Pasifik, khususnya di perairan Samudera India, Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, ada semacam skenario di antara beberapa negara kawasan yang kebetulan pula konsumen besar minyak dunia untuk ”mengendalikan” manuver Cina. Negara-negara aktor kawasan seperti Amerika Serikat, Jepang dan India mempunyai kekhawatiran terhadap manuver politik Cina di kawasan Asia Tenggara dan Samudera India. Misalnya kerjasama pertahanan antara Cina dengan Pakistan dan kian eratnya hubungan Cina dengan beberapa negara pantai Selat Malaka.

Untuk membendung manuver politik di Cina di Asia Tenggara dan Samudera India, ketiga negara tersebut secara bilateral telah melakukan beberapa kerjasama, seperti perjanjian pertahanan Jepang-India. Begitu pula dengan kerjasama pertahanan dan militer antara Amerika Serikat-India yang meningkat sejak 2002, di antaranya melalui Latihan AL Bersama Tahunan bersandi Malabar.

Amerika Serikat sudah pasti akan membendung dengan segala cara munculnya negara-negara lain sebagai peer competitor-nya, karena kemunculan itu akan mengganggu perannya dalam percaturan global. Dari semua negara di dunia saat ini, Cina dipandang oleh banyak pihak, termasuk oleh Amerika Serikat sendiri, akan menjadi peer competitor di masa depan. Oleh karena itu, dengan segala cara Amerika Serikat akan menghalangi kemunculan Cina sebagai pesaing di masa depan. Salah satunya adalah dengan mengendalikan jalur pasokan energi Cina memanfaatkan superioritas militer Amerika Serikat, khususnya Angkatan Lautnya, yang mampu beroperasi secara global.

Jepang sebagai negara yang pernah mengalami pengalaman pahit dalam Perang Dunia Kedua, menganggap bahwa pengamanan garis perhubungan laut sebagai sesuatu yang vital dan terkait dengan hidup matinya negeri tersebut. Terkait dengan pasokan energi, perairan Selat Malaka dan Samudera India adalah dua perairan vital bagi jalur energinya. Dalam strategi keamanan energi Jepang, faktor Cina mendapat perhatian besar karena ada kekhawatiran bila Cina mampu melakukan dominasi terhadap Samudera India, maka hal itu akan mengancam keamanan energinya. Selain di Samudera India, Jepang juga memperhatikan dengan seksama aktivitas Cina di Selat Malaka.

Sementara India yang tengah tumbuh menjadi kekuatan baru di kawasan Asia Pasifik, bukan saja Asia Selatan, juga mempunyai aspirasi besar di wilayah ini. India mempunyai hubungan yang tidak harmonis di masa lalu dengan Cina, bahkan keduanya pernah terlibat perang perbatasan pada 1962, di samping Cina merupakan sekutu Pakistan. Pada sisi lain, sejak beberapa tahun terakhir hubungan India dengan Amerika Serikat mengalami peningkatan signifikan, seperti dengan penandatanganan kerjasama di bidang nuklir dan pertahanan.

Begitu pula hubunganIndiadengan Jepang, yang merupakan implementasi dari politik luar negeri ”Memandang Ke Timur”. Kian eratnya hubungan India-Jepang antara lain ditandai dengan kesepakatan kedua negara untuk memberikan keamanan maritim di Selat Malaka dan SamuderaIndia, yang tercapai dalam pertemuan petinggi pertahanan kedua negara pada Juni 2006 di Tokyo. Aspirasi Jepang untuk memperluas pengaruhnya ke Samudera India dapat diraba sebagai upaya untuk mengimbangi manuver Cina.

Selain dengan Jepang, politik luar negeri “Memandang Ke Timur” India  juga dimaksudkan untuk merangkul beberapa negara Asia Tenggara, di antaranya adalah Singapura.

Dalam bidang pertahanan, India-Singapura mempunyai kesepakatan pertahanan dan secara rutin melakukan latihan militer bersama. Terkait dengan isu keamanan Selat Malaka, India secara terbuka telah menawarkan bantuan kepada negara-negara pantai Selat Malaka untuk mengamankan perairan itu. Selat Malaka memang bernilai penting dalam geopolitik India, karena merupakan salah satu legitimate area of interest.

Berbeda dengan beberapa negara lainnya di Asia Pasifik, keinginanIndia untuk hadir di kawasan Asia Tenggara memang tidak terkait langsung dengan kepentingan keamanan energinya. Karena Timur Tengah sebagai sumber utama energy India terletak tak jauh dari wilayahnya, sehingga garis perhubungan lautnya tidak terlalu panjang sebagaimana negara-negara lain di kawasan ini.

Penting untuk dipahami bahwa kehadiran India di Asia Tenggara terkait dengan aspirasinya untuk membendung manuver Cina yang kini sudah mencapai Samudera India.

Untuk menandingi manuver Amerika Serikat-Jepang-India di kawasan ini, Cina hanya bisa menandinginya pada aspek politik dan ekonomi, namun tidak pada aspek operasional militer, khususnya Angkatan Laut.

Ketika kapal-kapal perang Amerika Serikat, Jepang dan India melakukan patroli dan muhibah jauh dari wilayah negaranya masing-masing, kapal-kapal perang Cina hanya mampu untuk dikerahkan sebatas wilayah di sekitarnya saja. Sementara aspirasi Cina untuk mempunyai kapal induk sehingga mampu beroperasi jauh dari daratannya, sejauh ini belum terwujud karena kendala teknologi.

Karena Angkatan Laut Cina setidaknya hingga 15 tahun ke depan belum akan mampu mengamankan jalur perhubungan lautnya, Cina mencoba mencari kompensasi di bidang lain dengan cara merangkul negara-negara non Timur Tengah yang juga memproduki minyak. Misalnya dengan negara-negara di Asia Tengah (Eurasia) yang kaya minyak, di mana saat ini jaringan pipa minyak yang menghubungkanKazakhstandengan Cina telah beroperasi untuk memasok minyak ke
Cina.

Selain dengan negara-negara Eurasia, Cina tak lupa melakukan pendekatan kepada Rusia, negara pemasok utama senjata Cina. Salah satu kerjasama energi Cina-Rusia adalah pembangunan jaringan pipa minyak dari Rusia menuju Cina yang diharapkan akan mulai berfungsi pada 2010.

Cina melaksanakan pula kerjasama energi dengan beberapa negara Afrika seperti Aljazair, Nigeria dan Sudan, di samping kerjasama serupa dengan negara-negara Amerika Latin. Selain pada tingkat pemerintah, perusahaan-perusahan minyak asal Cina seperti CNOOC, Sinopec dan CNPC aktif melakukan ekspansi ke ladang-ladang minyak di luar negeri, termasuk di Indonesia.

Respons Indonesia

Isu keamanan energi merupakan isu krusial bagi Indonesia, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, kondisi Indonesia tidak berbeda jauh dengan negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik yaitu berstatus negara importir minyak. Sedangkan secara eksternal, isu keamanan energi terkait dengan isu keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia. Dengan memperhatikan dinamika di lapangan, isu keamanan energi dan isu keamanan maritim sebenarnya berada dalam bingkai persaingan kepentingan geopolitik negara-negara besar.

Salah satu dinamika yang hendaknya senantiasa dicermati oleh Indonesia adalah adanya upaya-upaya untuk menjadikan perairan yurisdiksi Indonesia yang sekaligus merupakan garis perhubungan laut negara-negara kawasan sebagai wilayah konflik. Dalam kasus Selat Malaka, kehadiran Amerika Serikat dan beberapa negara lain di sana, baik hadir secara langsung maupun tidak langsung, membuat Cina tidak nyaman. Begitu pula sebaliknya.

Sementara ada kecenderungan bahwa negara tertentu di sekitar Selat Malaka, berupaya menarik negara-negara pengguna untuk turut mengamankan perairan itu. Apabia terjadi kondisi seperti itu, sudah pasti akan menimbulkan instabilitas baik terhadap keamanan kawasan maupun terhadap Indonesia sendiri. Instabilitas terhadap Indonesia terjadi karena adanya persaingan kepentingan di perairan yurisdiksi Indonesia oleh pihak-pihak lain, sementara Indonesia bukanlah sekutu dari salah satu pihak yang bertikai.

Selain Selat Malaka, isu keamanan energi dan keamanan maritim dalam bingkai persaingan kepentingan geopolitik juga telah menyentuh Laut Cina Selatan. Cina memandang perairan itu sebagai halaman belakangnya, tercermin dalam Peta Maritim Cina 1992 yang sembilan titik tak terputus di Laut Cina Selatan yang menegaskan klaimnya. Sementara perebutan klaim di Laut Cina Selatan yang melibatkan empat negara ASEAN plus Cina dan Taiwan sampai saat ini belum menunjukkan penyelesaian.

Pada saat yang sama, persaingan geopolitik antara Cina versus Amerika Serikat-Jepang-India juga telah menjadikan Laut Cina Selatan sebagai wilayah perebutan pengaruh dan kepentingan. Meskipun pecahnya konflik militer di Laut Cina Selatan untuk dalam jangka pendek peluangnya kecil, namun persaingan yang terjadi sudah pasti akan mempengaruhi stabilitas keamanan di perairan tersebut.

Bagi Indonesia, sudah sewajarnya bila sedini mungkin mengantisipasi dampak dari persaingan geopolitik antara aktor-aktor utama kawasan. Karena sebagai negara yang secara geografis berada di tengah-tengah aktor-aktor utama kawasan, besar peluang bagi Indonesia untuk terkena imbas (spill over) dari persaingan itu. Salah satu imbas tersebut akan terasa nyata di perairan Asia Tenggara, khususnya di perairan yurisdiksi Indonesia dan sekitarnya.

Guna mengantisipasi skenario demikian, sarana diplomasi baik pada tingkat pemerintah maupun pada tingkat Angkatan Laut (naval diplomacy) merupakan salah satu wadah untuk menjelaskan sikap Indonesia terkait dengan isu keamanan energi dan keamanan maritim yang beraroma persaingan geopolitik tersebut.

Sikap politik Indonesia menyikapi isu tersebut sudah jelas yaitu tidak menginginkan perairan yuridiksi Indonesia dan sekitarnya menjadi ajang perebutan kepentingan negara-negara utama kawasan. Dan sudah sewajarnya bila Indonesia, khususnya Angkatan Laut mendorong wadah-wadah multilateral regional semisal Western Pacific Naval Symposium (WPNS) sebagai ajang untuk meningkatkan confidence building measures (CBM) di antara pihak-pihak yang bersaing.

Berpaling ke Cina-Rusia ?

Maka itu, bergabungnya Rusia ke ASEAN bersama mitra dialog ASEAN lainnya dalam rangka mengamankan kemungkinan terjadinya konflik AS versus Cina di Laut Cina Selatan dan Selat Malaka, patut kita apresiasi karena dengan begitu Rusia telah menunjukkan itikad baiknya ikut serta dalam menciptakan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara.

Manuver Rusia merapat ke ASEAN melalui keikutsertaannya dalam memprakarsai Draf deklarasi usulan Rusia The Declaration on the Framework Principles of Strengthening Security and Developing Cooperation in the Asia-Pacific Region, harus kita pandang sebagai ebuah terobosan baru yang cukup strategis dan menguntungkan bagi peran dan kehadiran Rusia di kawasan ASEAN kini dan mendatang.

Sekaligus menandai semakin intensifnya Rusia dan Cina, yang sejak 2001 lalu tergabung dalam aliansi strategis di bawah payung kerjasama Shanghai Cooperation Organization (SCO), untuk menggalang kerjasama keamanan dengan mitra strategisnya dari ASEAN, termasuk Indonesia.

Meski Rusia merupakan pendatang baru di ranah ekonomi-perdagangan di Asia Tenggara dan ASEAN dibandingkan Cina, namun Rusia di bidang energy merupakan aset yang cukup strategis.

Saat ini Rusia punya posisi penting dalam perdagangan energy dunia. Sebagai negara yang memiliki cadangan gas terbesar di dunia dengan jumlah cadangan terbukti terbesar 1680 TCF (tahun 2001), praktis dua kali lebih besar dibandingkan cadangan gas Iran. Sedangkan di sektor Batu Bara, Rusia berada di urutan kedua setelah Amerika Serikat dengan jumlah cadangan 173 miliar ton. Di  sektor minyak, Rusia cadangan minyaknya sebesar 60 miliar barel (terbesar ke delapan di dunia).

Perekonomian Rusia tumbuh pesat selama empat tahun terakhir, terutama ditunjang oleh ekspor komoditi energi  terutama dari  kenaikan  jumlah produksi minyak yang signifikan dan keuntungan dari tingginya harga minyak bumi di pasar internasional selama periode tersebut. Kondisi ini menyebabkan perekonomian Rusia sangat  tergantung dari pendapatan ekspor migasnya.

Dengan demikian, ekspor minyak dan gas alam merupakan penyumbang terbesar pendapatan luar negerinya-pada tahun 2002, 50 persen diperoleh dari ekspor, 40 persen dari pemerintah.

Dari segi pengaruh geopolitik, Rusia praktis cukup mantap dan solid menguasai kawasan Asia Tengah, terutama Laut Kaspia.  Sehingga Rusia sebagai kekuatan baru di sektor energi global, patut diperhitungkan.

Laut Kaspia sendiri diperhitungkan akan menjadi sumber energi yang mampu menggantikan atau menyubstitusikan kawasan-kawasan lain sebagai penyuplai energi, mempertimbangkan bahwa kondisi politik kawasan penyuplai energi, terutama Teluk Persia dan Afrika, tidak begitu kondusif bagi negara-negara importir.

Atau paling tidak, Laut Kaspia mampu menjadi kawasan komplemen kawasan penyuplai energi lainnya dalam pasar energi dunia. Ekspektasi tersebut merupakan hal yang berdasar karena Laut Kaspia telah membuktikan dirinya sebagai salah satu kawasan pemain dalam suplai energi global. Pada 2002, memiliki tingkat produksi minyak aktual sebesar 9,35 juta barel per hari dan besaran tersebut memiliki proporsi 12,6 persen dari jumlah dunia. Tingkat produksi minyak tersebut merupakan kedua terbesar di dunia setelah kawasan

Teluk Persia, dimana Teluk Persia berproduksi aktual sebesar 19,88 juta barel per hari (26,9 persen dari jumlah dunia).
Untuk cadangan minyaknya, Laut Kaspia diperhitungkan memiliki cadangan pada akhir 2002 sebesar 77,1 milyar barel (7,4 persen dari jumlah dunia). Fakta dan estimasi tersebut, tentunya, menggambarkan bahwa Laut Kaspia merupakan kawasan yang kaya sumber energi dan diespekstasikan dapat menjadi alternatif kawasan penyuplai energi.

Maka, dengan menggabungkan cadangan Asia Tengah yang lumayan besar, termasuk Laut Kaspia, dengan cadangan negerinya sendiri, Rusia bisa menjadi kekuatan minyak menandingi Timur Tengah. Sebagaimana di abad 20 Uni Soviet mengandalkan militernya untuk mendapatkan status adidaya, di abad 21 ia akan mengandalkan minyak dan gasnya.

Dalam konteks inilah, kerjasama strategis Cina-Rusia untuk kawasan Asia Tengah yang dirintis sejak 1996, kiranya bisa jadi inspirasi bagi Indonesia dan ASEAN untuk membangun kerjasama serupa di kawasan ini, yang tentunya akan menciptakan kekuatan keseimbangan baru di kawasan ASEAN.

Bermula pada 1996, ketika Cina berusaha membangun pengaruhnya di Asia Tengah bersama dengan Rusia, Kazakhstan, Kirgistan, dan Tajikistan, maka lahirlah kesepakatan bernama Shanghai Five, berdasarkan kesepakatan  Agreement on Confidence Building in the Military Field Along the Border Areas yang bertujuan mencegah konflik perbatasan dan mewujudkan kerjasama militer.

Selanjutnya pada 1999, Shanghai Five sepakat untuk memerangi terorisme dan dibentuk pusat counter-terrorism bersama di Bishkek, Kyrgyzstan. Pada 2001, kelima negara tersebut ditambah Uzbekistan bersedia memformalisasikan aliansi sebagai Shanghai Cooperation Organization (SCO) – piagamnya dihasilkan pada KTT Moskow 2003.

Sejak itu hubungan  perdagangan, Cina dan Rusia  mengalami  pertumbuhan  yang sangat pesat, pada  tingkat  30 persen per tahun.
Bahkan hubungan perdagangan dengan  Cina pun  jauh  lebih besar  dibandingkan dengan AmerikaSerikat.  Karena masalah energi adalah masalah utama yang  hampir dihadapi oleh setiap negara,pada  tahun 2001 Cina mencapai konsensus dengan Rusia untuk membangun pipa minyak transmisi dari Angarsk yang  berada di Siberia Timur ke Daqing  yang  berada di Laut Cina. Pada KTT yang diadakan pada akhir Mei 2003, China National Petroleum Company (CNPC) dan Rusia Yukos (Corporation) mulai membangun kesepakatan awal yang  telah d proses selama bertahun-tahun. Berdasarkan perjanjian ini, Rusia berjanji untuk mengirim 5 miliar barel minyak ke Cina yang berada di Laut Timur Cina .

Minyak tersebut akan diangkut melalui pipa sepanjang  2.400 km yang menghubungkan  antara Angarsk di Seberia Timur  ke kompleks minyak Cina di Daqing, Provinsi Heilongjiang.

Intisari dari kisah ini, betapa SCO dibangun bukan sekadar keinginan Cina dan Rusia untuk menjalin persekutuan strategis, melainkan karena kedua negara tersebut menyadari nilai strategis Asia Tengah secara geopolitik di sektor Minyak dan Gas Bumi. Sehingga kedua negara tersebut selain bermaksud mengamankan pengaruhnya di Asia Tengah, lebih dari itu kedua negara terdorong untuk merangkul dan menjalin kerjasama dengan negara-negara Asia Tengah termaksud.

Bermula dalam rangka kerjasama pertahanan pada 1996, pada perkembanganya kemudian menjadi kerjasama strategis Ekonomi-Perdagangan Rusia-Cina sekaligus membendung pengaruh Amerika Serikat di Asia Tengah pada 2001.

Sehubungan dengan kerjasama ASEAN-SCO itu, dengan sendirinya kepentingan strategis Cina di sektor Migas pun harus kita telisik.  Meskipun tidak menjadi negara pengimpor di bidang energi hingga tahun 2003, namun sekarang Cina telah menjadi konsumen kedua  terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.

Dalam rangka menopang  perekonomian Cina yang  sedang berkembang hingga 9 persen per tahun sejak tahun 1978, Cina semakin membutuhkan pasokan energi bagi perkembangan perekonomiannya.Pada saat sekarang 30 persen dari konsumsi minyak Cina bergantung kepada impor dan ini terus akan diperkirakan akan semakin meningkat  menjadi 70 persen pada tahun 2020.

Saat  ini, hampir  60 persen impor  energi Cina berasal dari negara-negara Timur Tengah. Jika hal  ini terus berlanjut, pada tahun 2010 Timur Tengah akan memasok  lebih dari  tiga per empat minyak mentah ke Cina. Berdasarkan kondisi obyektif yang demikian, bisa dipastikan Cina saat ini sedang berusaha mencari sumber energi alternatif lainnya. Maka selain Asia Tengah yang saat ini sudah berhasil terkonsolidasi melalui kerjasama Cina-Rusia di bawah payung SCO,  barang tentu Asia Tenggara merupakan kawasan yang sedang jadi sasaran sebagai sumber energi alternatif.

Kajian strategis Deep Stoat tentang perpolitikan yang mengatakan; “If you would understand world geopolitics today, follow the oil”, kiranya harus dijadikan sebagai pedoman sekaligus perangkat analisa bagi ASEAN, khususnya para “Pemangku Kepentingan” atau stakeholder kebijakan luar negeri Indonesia, untuk mencari formula kerjasama alternatif di kawasan regional ASEAN untuk mengantisipasi semakin agresifnya pengaruh dan manuver diplomatik Amerika Serikat dan Uni Eropa melalui berbagai forum kerjasama ekonomi regional APEC maupun ASEAN. Sekaligus menciptakan kekuatan keseimbangan baru bersama Cina dan Rusia, menangkal sikap agresif Amerika dan Uni Eropa baik di bidang ekonomi, perdagangan, militer dan bahkan juga kebudayaan.

—————————————

Simak laporan dari Focus Group Discussion (FGD) Dinamika Regional dan Global: Peluang dan Tantangan Bagi Penguatan Konektivitas Nasional dalam Pencapaian MP3EI yang diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri RI pada 30 Agustus 2012 di Jakarta, http://mimerss.blogspot.com/2013/06/energi-keamanan-maritim-dan-kepentingan.html    

Simak http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=13079&type=4#.UiWiOX9P1kg

Untuk mendalami aspek kerjasama Cina-Rusia di Asia Tengah, baca http://www.academia.edu/2538874/Jurnal_Kerjasama_Pemerintah_Rusia-Cina_Dalam_Menguasai_Energi_Asia_Tengah

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com