Premis-Premis Salah tentang Iranisme

Bagikan artikel ini

Musa Kazhim

Sebagai orang yang pernah tinggal di Iran, beberapa hari terakhir ini saya menerima banyak pertanyaan tentang situasi Iran pasca pilpres 12 Juni. Ada yang hanya ingin mendengar kabar terakhir. Ada yang khawatir dan mulai panik. Dan sebagian besar lebih karena bingung. Yang bingung ini tentu saja mereka yang menyantap informasi dari media Barat.

“Apa betul republik Islam Iran akan tumbang?”

“Apa protes ini akan berakhir dengan Perang Bubat?”

“Apakah akan ada revolusi baru di Iran?”

Tentu saya tak bisa menjawab satu demi satu pertanyaan itu. Tapi saya menemukan sejumlah premis yang salah di balik pertanyaan-pertanyaaan tadi. Di bawah saya akan mencoba mengurai premis-premis yang salah itu secara sekilas.

Namun, sebelum bicara soal premis-premis tadi, saya ingin pertama-pertama menegaskan bahwa gerakan populer dalam masyarakat religius seperti Iran tak bisa terjadi tanpa dukungan ulama. Atau minimal kepemimpinan ulama kharismatik seperti Imam Khomeini. Revolusi beludru (velvet revolution) seperti yang terjadi di negera-negara Eropa Timur agaknya sulit terwujud. Mayoritas masyarakat Iran hanya mau berkorban untuk keuntungan duniawi yang jelas atau perintah agama (ulama) yang dipercaya. Tanpa komando ulama, rasanya yang mungkin terjadi hanyalah kericuhan sporadis yang tak mungkin bertahan lama.

Poin inilah yang secara tegas dikemukan oleh pemikir Iran, Jalal-e Ahmadi, puluhan tahun sebelum revolusi Islam tahun 79. Dia menjelaskan bahwa gerakan-gerakan marksis, sosialis dan komunis di Iran tak akan mendapat sambutan luas masyarakat selama Shah masih bermesra-mesra-an dengan ulama. Dia dan Shariati kemudian membuat serangkaian tulisan yang menggugat peran ulama yang seolah menjadi stempel kekuasaan Shah. Dan kedua pemikir Iran ini benar. Begitu Shah mulai bermasalah dengan lembaga-lembaga keulamaan yang disimbolkan oleh Imam Khomeini, rezimnya pun tampak begitu rapuh.

Lalu, protes-protes ini akhirnya benar-benar menjadi kericuhan massal—seperti yang diduga banyak pengamat dan media Barat—rasa-rasanya para demonstran pro-Mousavi yang berasal dari Tehran utara yang umumnya kaya dan suka berfoya-foya tak mungkin mampu menandingi kesiapan-berkorban ratusan ribu warga miskin Tehran selatan yang pro Ahmadinejad. Massa demonstran Tehran Utara itu jelas bukan lawan tanding warga miskin Tehran selatan yang pro Ahmadinejad.

Ini belum lagi ditambah pasukan basij (paramiliter), polisi, militer, Pasukan Pengawal Revolusi dan lain yang takkan membiarkan kericuhan massal terjadi di luar kendali. Bila kekuatan massa pro Ahmdinejad dan pro Khamenei ini, maka bisa dipastikan massa pendemo pro Mousavi atau anti pemerintahan Islam itu bakal kalang kabut. “They will stand no chance of winning street battles,” kata Nader Mothari dari koran The Kayhan.

Lebih dari itu, Mousavi bukanlah orang yang berwibawa. Dibanding Ahmadinejad saja Mousavi sudah kalah wibawa. Retorikanya lemah, kepribadiannya introvert (bayangkan, sudah sekitar 20 tahun dia tidak muncul di pentas politik nasional), aristokrat sehingga hanya disenangi kalangan elit di Tehran utara, dan sebagainya.

Tentu ada sejumlah ulama senior, seperti Muntazeri, Sanei, Ardebili, dan mungkin juga Rafsanjani dan Khatami yang mendukung Moussavi. Tapi gabungan ulama yang tak populer ini tak bisa menandingi wibawa dan rekam jejak Khamenei seorang—apalagi di belakang Khamenei masih ada Taqi Mesbah, Muhammad Yazdi, Jannati, Ka’bi, dan hampir semua guru agama di Qom.

Nah, sekarang mari kita bahas premis-premis keliru itu satu demi satu.

Premis Pertama: Manusia pada Dasarnya Tak Religius

Menurut premis ini, manusia itu tak lebih dari makhluk biologis yang hasrat dan cita-citanya juga biologis. Sistem (individual/ sosial) yang religius, bagaimana pun kuatnya, cepat atau lambat pasti tumbang dan punah. Premis ini paling banyak membekam benak politisi dan wartawan Barat atau orang yang terobsesi dengan Barat. Padahal, fakta dan argumen filosofis menunjukkan sebaliknya: manusia adalah makhluk yang pasti memiliki aspirasi-aspirasi religius, spiritual dan transendental. Sistem yang tak memberi ruang aktualisasi potensi-potensi adiluhung manusia justru sangat rapuh. Cepat atau lambat sistem yang sama sekali profan itulah yang bakal hancur.

Barangkali memang tak mudah berbicara tentang rasa sawo dengan orang yang sama sekali tak pernah merasakan buah sawo. Sangat melelahkan dan membuat putus asa. Tapi untungnya, dalam hal ini, orang hanya perlu sejenak melihat ke dalam hatinya, dan meminta pandangan yang sepenuhnya jujur: Apakah cita-cita hidup yang sempurna, dekat dengan Sang Maha Kuasa, Maha Sempurna, Maha Pengasih lebih kita senangi ketimbang hidup yang sementara dan palsu? Kalau orang menjawab lebih suka yang sementara, semu, palsu dan berubah-berubah sebentar enak dan sebentar lagi menjijikkan, maka saya rasa kita tak mungkin bertemu. Sederhananya, kita berasal dari dua spesies yang berbeda lahir dan batin.

Tapi, kebanyakan orang yang jujur pasti menjawab bahwa di dalam hatinya ada kerinduan pada Sesuatu yang lain, yang Sempurna, yang Abadi, yang Mengasihi tanpa kebutuhan akan imbalan dan sebagainya. Kerinduan inilah yang dipenuhi oleh agama. Meskipun kita harus segera tambahkan bahwa sebagian besar manusia tak mau melewati segala kesulitan untuk menemukan Sesuatu yang didambakan dan dirindukannya. Kebanyakan orang lebih mengutamakan junk food yang di depan mata ketimbang menunggu agak lama datangnya makanan yang lebih bergizi. Itulah kelemahan nyata dalam diri manusia, tapi kelemahan itu tak membuat kerinduannya bisa dihilangkan atau dimusnahkan—bagaiman apun caranya.

Premis Kedua: Dasar-Dasar Agama Tak Sejalan dengan Kemajuan Manusia

Premis ini kelanjutan dari premis utama di atas. Bahwa agama itu adalah peninggalan masa lalu, masa ketika manusia masih tinggal di celah-celah gunung berbatu atau di padang pasir yang tandus. Iya, itulah masa ketika manusia belum mengenal keajaiban sains dan teknologi, belum merasakan hebatnya kekuatan pasar dan media, belum merasakan pengaruh uang dan ketenaran dan sebagainya.

Tapi di zaman ini, zaman yang sarat godaan dan kesenangan ini, zaman ketika manusia tergila-gila pada benda-benda dan uang, agama menjadi rongsokan. Tak ada lagi orang yang waras-modernitas atau lebih kerennya lagi sadar-ilmu dan rindu-kemajuan sudi kembali ke agama. Bagi orang yang mau sedikit meredakan kepenatan akibat rutinitas hidup di zaman modern ini, mungkin agama bisa menjadi alternatif relaksasi yang murah meriah. Meski jelas relaksasi berlebihan dapat menumbuhkan satu atau saraf primordial yang masih tersisa dalam gen manusia modern. Di luar fungsi itu, menurut premis ini, agama hanyalah lelucon yang tak menyenangkan.

Benarkah demikian? Benarkah Islam, misalnya, membuat manusia mundur, kuper, kikuk, gagap menghadapi dinamika zaman ini? Benarkah Islam ikut bertanggungjawab atas segala pembantaian massal di Hiroshima-Nagasaki, kematian lebih dari 15 juta jiwa sepanjang Perang Dunia II di benua Eropa? Benarkah Islam ikut bertanggungjawab membangun sistem ekonomi dunia yang memperkaya segelintir orang dan memiskinkan sebagian besar dari sekitar 7 milyar penduduk bumi? Benarkah Islam yang membuat sejumlah ilmuwan terpikir membangun bom nuklir yang amat mematikan? Benarkan Islam mengilhami kerakusan sejumlah negara indutri untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya alam sehingga timbul bencana-bencana kemanusiaan yang mengerikan? Benarkah kerusakan lingkungan hidup yang sudah sampai pada tingkat sangat mencemaskan ini bersumber dari kesalehan religius orang atau masyarakat yang menjalankan ajaran-ajaran Islam?

Ayolah … tolong hargai sedikit sejarah dan informasi yang tersedia bagi siapa saja yang mau mengetahui berkenaan dengan ideologi dan ajaran apa yang sebenarnya mendorong semua prahara selama 100 tahun terakhir ini? Saya jadi teringat pada ungkapan ini: “You can fool some people sometime, but you cannot fool all the people all the time!”

Pelajaran selama 100 tahun terakhir menyimpulkan bahwa Islam meninggalkan jejak-jekak kemuliaan di hampir semua aspek peradaban manusia. Sebaliknya, jejak-jejak kerusakan timbul manakala materialisme, liberalisme, kapitalisme dan industrialisme menemukan momentumnya di Era Renaisans. Orang tak perlu jadi jenius atau profesor untuk meramal apa yang akan terjadi bila trend yang dominan saat ini dibiarkan merasuki dan mengharu biru semua ruang kehidupan manusia tanpa ada alternatif lain.

Pemis Ketiga: Agama dan Politik Bak Air dan Minyak

Menurut premis ini, agama tak boleh bercampur dengan politik. Pasalnya, agama atau agamawan akan merusak atau dirusak oleh permainan politik, sehingga kehilangan kesuciannya. Bukan hanya itu, agama juga kemudian tak boleh dibawa dalam bisnis karena bisnis itu juga kotor. Dan saat kekotoran itu ada di semua sudut dunia, maka tak ada jalan lain kecuali memindahkan urusan agama sebagai urusan pribadi.

Lalu, lantaran sudah tentu tak mungkin ada garis-pemisah yang tegas antara urusan pribadi dan publik, maka ujung-ujungnya muncul pikiran untuk mengubur agama atau membawanya ke kuburan saja. Di antara mayat-mayat itulah agama mungkin ada gunanya. Tapi, di tengah masyarakat yang bernyawa dan dinamis, agama itu tentu bakal menjadi gangguan yang tak perlu.

Nah, dari mana datangnya kekonyolan ini? Simpelnya, selain datang dari premis-premis yang salah di atas, juga ditambah dengan faktor kedangkalan memahami agama. Ada anggapan bahwa lantaran agama itu datang dari Tuhan nun jauh di singgasana langit ketujuh sana, maka semuanya menjadi tak layak dipakai di dunia ini. Kalaupun dipaksakan, maka agama itu akan melahirkan ekstremisme, fanatisme, absolutisme dan segala isme-isme horor lain.

Dalam praktik politiknya, anggapan ini lantas disebut dengan sekularisme. Selain empat isme di atas (materialisme, liberalisme, kapitalisme dan industrialisme) , sekularisme menjadi hegemon kerusakan dunia saat ini. Sekularisme bukan saja gagal membuat orang rendah hati dan tak mutlak-mutlakan seperti yang diklaimnya saat berusaha menggusur agama dari ranah politik, tapi malah sering mengukuhkan monolitisme dan ekstremisme yang lebih kasar.

Beberapa contoh bisa kita temukan pada sekularisme militeristik ala Turki, pemberangusan FIS di Aljazair, penggusuran hasil kemenangan demokratis Hamas di Palestina, Islamofobia di Barat, dan sebagainya.
Lebih dari itu. Akibat represi yang berlebihan pada aspirasi Islam politik di era modern ini, kita malah sering menyaksikan ledakan gerakan-gerakan Islam di bawah-tanah. Banyak orang-orang bawah-tanah tadi yang akhirnya mengangkat senjata untuk mengimplementasikan syariah dalam kehidupan.

Itulah ironi dan paradoks yang harus kita terima sebagai akibat dari hegemoni sekularisme dalam realitas politik global saat ini. Sedikit koreksi, revisi dan kerendahan hati pada sisi kelompok sekuler bakal membantu lahirnya dunia yang lebih damai dan sejahtera. Jelasnya, biarkan saja—jika tak mau mendukung—tumbuh dua jenis sistem politik: yang satu berdasarkan kontrak sosial yang murni profan-sekuler dan yang lain berdasarkan kontrak sosial yang bersumber pada ajaran-ajaran agama.

Premis Keempat: Revolusi dan Republik Islam Iran adalah Kecelakaan 

Banyak yang beranggapan bahwa revolusi Islam Iran tahun 1979 adalah kecelakaan. Revolusi yang bersumber pada aspirasi religius dan spiritual itu murni merupakan penyimpangan dari evolusi bangsa Persia yang 10 ribu tahun lampau sudah menjadi pijar peradaban manusia. Sangat aneh bilamana bangsa yang sekian ribu tahun lampau sudah maju dan beradab tiba-tiba kini malah menganut sistem yang terbelakang. Menurut premis keempat ini, yang secara silogistik merupakan turunan dari premis-premis sebelumnya, Islam dan segala perkakasnya tak mungkin menjadi kendaraan ideal menuju cita-cita manusia modern.

Jika revolusi Islam itu terjadi pada masyarakat-masyarakat primitif, tentu bisa dimaklumi dan bisa direlakan. Tapi, jika ia terjadi pada bangsa yang ribuan tahun silam sudah memuncaki peradaban, maka seolah-olah sedang berlangsung sesuatu yang aneh dan menyimpang. Intinya, revolusi Islam tahun 79 itu semata-mata kecelakan historis yang segera berlalu.

Benarkah begitu? Mungkinkah revolusi dan republik Islam yang dilahirkannya itu adalah deviasi, dan bukan evolusi alamiah dari bangsa yang memiliki khazanah intelektual, filosofis, spiritual, ilmiah yang besar? Para ideolog revolusi Islam Iran sudah menjawab tuntas semua masalah itu. Alih-alih membaca literatur mereka yang kaya dan berlimpah itu, sebagian besar pengamat/wartawan Barat sayangnya justru berfantasi bahwa stigma itulah yang sebenarnya sedang terjadi.

Bahan bacaan lain yang juga menarik seputar revolusi Islam Iran adalah rangkaian tulisan tak lain dan tak bukan, Michel Foucault. Ya, Michel Foucault, salah satu pionir gerakan posmodernisme Eropa. Filosof yang dikenal anti narasi-besar atau utopia ini ternyata menemukan revolusi Islam sebagai sebuah wacana yang singular dan otentik.

Dalam serial tulisannya di koran Italia Corriere della Sera, kemudian di Le Monde dan Nouvel Observateur, Foucault menandaskan bahwa gagasan revolusi itu bisa menjadi wacana tandingan yang serius bagi dunia modern Barat. Sayangnya, tulisan-tulisan Foucault itu justru kurang diminati. Tentu saja karena semua tulisan itu tak sejalan dengan stereotip yang berkembang (atau dikembangkan) di Barat ihwal revolusi Islam Iran. Baru tahun 2005 lalu rangkaian tulisan itu diterjemahkan dan dipublikasikan dalam bahasa Inggris.

Premis Kelima: Kepemimpinan Religius Pasti Otoriter 

Premis salah kaprah kelima yang saya sarikan dari berbagai tulisan pengamat dan media Barat adalah ketakpercayaan mereka pada kemungkinan—meskipun hanya secuil—lahirnya kepemimpinan religius yang demokratis dan benar-benar merakyat. Bagi mereka, ini adalah kemustahilan yg tak mungkin bisa ditawar-tawar  lagi. Sekalipun kita membawa bukti-bukti sebanyak bintang di langit, kepemimpinan religius bagi mereka tetap tak mungkin merakyat, empatik, egaliter, rasional apalagi demokratis.

Kalaupun mereka terpaksa melihat fakta-fakta positif, maka sistem saraf mereka akan otomatis membangkitkan trauma-trauma historis tentang otoriterianisme Gereja Barat pada Abad Kegelapan. Sebanyak apapun fakta kita hadirkan belum tentu akan mengobati trauma-trauma itu. Akibat trauma historis yang sudah menjadi memori kolektif itu, semua fakta terkait demokrasi religius akan mereka hadapi secara hiperkritis dan oversimplistis. Inilah menurut saya yang membuat mereka tak pernah bisa memahami demokrasi Iran sejak tahun 1979 atau kemungkinan gerakan-gerakan model Hizbullah dan Hamas dalam mengadopsi proses-protes demokratis.

Jadi, sebaiknya kita hadapi saja stereotip mereka ini sebagai penyakit—bagi yang mau berobat mesti terlebih dahulu menghapus sebagian besar memori penuh prasangkanya. Barangkali neuralyzer yang dipakai oleh agen-agen dalam film Man in Black bisa kita pinjam untuk menghapus memori massal di benak publik Barat.

Pemis Keenam: Demokrasi adalah Nilai Univok

Ada dugaan umum di kalangan media Barat bahwa demokrasi itu bukan istilah yang multi tafsir. Semua selain demokrasi liberal ala Barat, seperti demokrasi reliogius, bukanlah demokrasi dan karenanya bersifat palsu dan tipuan belaka. Akibatnya, demokrasi itu menjadi nilai yang monolitik, univok, sederajat, semakna, kaku, dan menolak tafsir-tafsir lain di luar demokrasi liberal. Mereka sepenuhnya percaya pada jargon the liberal inevitability dan The End of History-nya Fukuyama. Maksudnya, demokrasi liberal Barat itu adalah puncak dan kulminasi dari evolusi berbagai sistem pemerintahan di dunia. Tak ada lagi kemungkinan hadirnya sistem lain yang lebih baik dan lebih sehat. Kalau pun ada, maka tentu sistem itu tak mungkin bisa diterapkan dalam kehidupan nyata.

Ini jelas kebebalan dosis tinggi.

Lantas apa dampak dari kebebalan ini? Mereka menjadi dogmatik dan ekstremis dalam mempromosikan demokrasi di dunia. Sekiranya orang-orang Barat itu berhenti sejenak dan membaca sejarah bangsa-bangsa dunia selama ribuan tahun silam, tentu mereka bisa lebih sedikit rendah hati. Dan begitulah yang terjadi pada sebagian kecil pengamat Barat saat berbicara tentang dunia Islam, seperti Michel Foucault di atas. Sayangnya baru sedikit sekali yang demikian dan yg sedikit inipun tak populer dan kalah vokal dibanding mayoritas pengamat dan media yang bebal dan sok-tahu itu.

Ketika Imam Khomeini menyuruh referendum untuk memilih sistem negara, pengamat-pengamat dan media Barat mendadak kaget. Lalu mulailah mereka mengarang berbagai kisah tekanan, intimidasi dan teror untuk sekadar membuktikan praduga mereka bahwa tak mungkin ruhaniwan seperti Imam Khomeini percaya pada demokrasi apalagi menghargai suara rakyat. Tak mungkin ada agama yang mengajarkan orang untuk menghargai pendapat lain, apalagi rakyat kebanyakan. Maka, muncullah penyangkalan demi penyangkalan atas semua yang terjadi.

Demikian pula ketika 85% penduduk Iran ikut dalam pesta demokrasi tanggal 12 Juni 09, mereka kaget dan tak bisa percaya. Partisipasi massal ini memang layak dirasakan sebagai gempa politik bagi musuh-musuh Iran dan pesta pora bagi pendukung-pendukungnya— seperti kata Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei dalam pidatonya Jumat 19 Juni kemarin.

Demi meredam gempa politik itu, media Barat cepat-cepat melupakan partisipasi 85% itu dan mencurahkan perhatian dunia pada tuduhan kecurangan yg terjadi. Plus, protes-protes yang terjadi setelahnya. Sekalipun ada kecurangan dan protes-protesnya, fakta partisipasi 85% penduduk dalam pemilu itu merupakan indikasi hidupnya demokrasi dan kepercayaan rakyat pada sistem yang ada.

Kalau memang Iran selama ini memang benar seperti yang didengung-dengungkan media Barat sebagai tak demokratis dan represif, untuk apa partisipasi rakyat sebanyak itu? Lebih jauh, kalau rakyat sudah menebak bahwa pemenangnya sudah ditentukan, untuk apa pula rakyat berbondong-bondong memilih? Katakanlah jutaan orang di Iran itu dipaksa memilih, lantas untuk apa pula sekitar 3 juta warga Iran di luar negeri ikut-ikutan berpartisipasi?

Partisipasi pemilih yang mencapai 85% atau sekitar 40 juta dari 46 juta DPT tentu merupakan prestasi yang tak main-main. Setidaknya, di antara puluhan juta orang itu, pastilah ada yang percaya bahwa suaranya tak akan dicurangi. Dan apa yang terjadi selama 10 kali pilpres di Iran sepertinya bisa mereka jadikan referensi.
Pertanyaannya, pernahkah ada partisipasi sebesar ini di negara yang menganut demokrasi liberal? Berikan satu contoh saja dalam 35 tahun terakhir ini.

Tuduhan kecurangan dalam pilpres Iran baru-baru ini jelas pengalihan isu. “Mereka mau menutup-nutupi fakta partisipasi yang besar ini dengan membesar-besarkan isu kecurangan,” tandas Ali Khamenei. Padahal, lanjut Khamenei, partisipasi rakyat yang demikian besar ini adalah bukti sehatnya sistem politik kita.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com