Skenario Tersembunyi Obama di Timur Tengah

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute

Seperti sudah diduga, umat Islam sedunia  seharusnya jangan terlalu terpana terhadap “Sihir” Obama dalam pidatonya di Mesir beberapa waktu yang lalu. Pidato Obama harus diakui memang cukup memikat dan berhasil mengambil hati umat Islam yang selama ini sepertinya sangat diremehkan oleh George W. Bush, presiden pendahulu Obama.

Namun, pidato memikat Obama itu hanya memikat dan berhasil dari segi seni berkomunikasi dalam hal menciptakan empati di kalangan negara-negara berpenduduk Muslim sedunia, tak terkecuali Indonesia. Ucapan Assalamualaikum kepada hadirin di Universitas Kairo yang sebagian besar Muslim, rasa-rasanya bukanlah isyarat bahwa Obama  akan melakukan langkah-langkah perubahan yang drastis dan menguntungkan bagi negara-negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam Sedunia.

Pidato Perdana Menteri Israel Benyamin Netanyahu beberapa waktu lalu sebagai tanggapan tidak langsung atas proposal usulan OBAMA mengenai terbentuknya DUA NEGARA Israel dan Palestina, dari sudut pandang negara-negara Islam, jelaslah bahwa Netanyahu sebenarnya menentang gagasan Obama.

Meski Netanyahu sepakat dengan Obama dan siap mengakui Palestina sebagai sebuah negara berdaulat, namun pada aspek lain Netanyahu menegaskan bahwa Palestina sebagai sebuah negara tidak boleh membentuk sebuah angkatan bersenjata. Tentu saja secara teknis, konsep dua negara usulan Obama menjadi gugur.

Karena mana ada sebuah negara yang berdaulatat tidak dibenarkan untuk membentuk sebuah angkatan bersenjata baik darat, laut dan udara. Memang, Swis dan Jepang memang tidak dibenarkan membangun angkatan bersenjatanya sendiri. Namun dalam kasus Swis, memang ada semacam kesepakatan berbagai negara besar di Eropa agar Swis menjadi sebuah zona netral di kawasan Eropa.

Dalam kasus Jepang, masalahnya bukan tidak boleh membangun angkatan bersenjata, tapi karena Jepang pada Perang Dunia II 1945 menjadi negara kalah perang dan berada kendali Amerika dan negara-negara sekutu. Begitupun, Jepang meski tidak boleh punya angkatan perang, namun Jepang memiliki apa yang dinamakan pasukan bela diri Jepang, yang pada hakekatnya tidak kalah canggih dan hebat seperti sebuah angkatan perang.

Selain itu, komponen-komponen pertahanan dan keamanan nasional Jepang tetap berjalan dan berfungsi secara baik dan efektif. Misalnya saja intelijen, kepolisian, unit-unit khusus pasukan anti-teror, dan lebih dari itu, sebuah kementerian yang berwenang dalam menangani masalah-masalah keamanan nasional dan strategi.

Penulis hanya hendak menyatakan bahwa konsep Netanyahu tentang negara Palestina tanpa angkatan bersenjata adalah tidak masuk akal, sehingga pernyataan tersebut harus dibaca sebagai penolakan secara substansial atas gagasan Obama mengenai terbentuknya DUA NEGARA: Pelestina dan Israel.

Kalau begitu, lalu apa skenario yang bakal terjadi berkenaan dengan nasib Palestina dan kawasan Timur Tengah di masa depan?

Mau tidak mau, kita harus menaruh kecurigaan terhadap itikad dan strategi Obama dalam memediasi konflik berkepanjangan Palestina dan Israel.

Ada Satu perkembangan menarik yang luput dari fokus bahasan berbagai media massa baik di Indonesia maupun luar negeri. Yaitu, pelantikan utusan khusus Amerika uintuk Timur Tengah (Special Envoy) George Mitchel dan utusan khusus Amerika untuk Timur Jauh Richard Hallbrook. Apa yang aneh dengan pelantikan tersebut?

Keduanya dilantik dengan dihadiri oleh Presiden Obama, Wakil Presiden Joe Bidden, dan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton. Artinya, ada pesan tersirat bahwa George Mitchel adalah bagian dari “proyek khusus” Obama dan Wakil Presiden Joe Bidden. Sedangkan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton tak lebih hanya sekadar faktor pelengkap.

Terbukti dalam pidato pelantikan Mitchel dan Richard Hallbrook, Obama menegaskan bahwa kedua utusan khusus tersebut melaporkan semua hasil dan perkembangannya kepada dirinya sebagai Presiden maupun Hillary sebagai Menteri Luar Negeri.

Suatu isyarat jelas bahwa Menlu Clinton tidak memiliki kendali atas skema dan strategi politik luar negeri Amerika dalam menangani masalah Palestina-Israel maupun penanganan masalah kawasan Asia Tengah yang menjadi porsi tugas Richard Hallbrook.

Di sinilah penulis sampai pada kesimpulan bahwa Zbigniew Brzezinski,mantan Ketua Dewan Keamanan Nasional di era Jimmy Carter, nampaknya memang perancang utama skenario penyelesaian konflik Timur Tengah maupun Asia Tengah.

Strategi menata-ulang dominasinya di Timur Tengah maupun Asia Tengah memang krusial bagi Amerika. Pasokan minyak Timur Tengah untuk memenuhi konsumsi bahan bakar minyak di Amerika yang semakin meningkat, mengharuskan mereka untuk lebih memprioritaskan hubungan baik dengan negara-negara Arab maupun dibandingkan dengan Israel.

Masalahnya kemudian, negara-negara Arab sekutu Amerika di Timur Tengah seperti Arab saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan bahkan Yordania, sangat tidak berkepentingan untuk melihat terbentuknya negara Palestina yang berdaulat, kuat, makmur dan sejahtera.

Haluan politik dan paham Keislaman Palestina, dalam hal ini Kelompok Fatah yang diwarnai oleh almarhum Yasser Arafat, memang cenderung berhaluan Islam nasionalis dan progresif. Hal ini sangat tidak nyaman bagi negara-negara Arab sekutu Amerika tersebut di atas yang sebagian besar cenderung penganut Islam Sunni ortodox yang berhaluan Wahabi, dan cenderung anti perubahan.

Karena itu, gejala semakin menguatnya kelompok Islam radikal Hamas di Palestina, patut dicurigai sebagai bagian dari aksi destabilisasi negara-negara Arab pro Amerika untuk melemahkan kekompakan antar elemen strategis di Palestina.

Sayangnya, misi Amerika dan negara-negara satelitnya di Timur Tengah nampaknya cukup berhasil. Karena Fatah dan Hamas dalam menyikapi proposal Obama tentang dua negara Palestina-Israel tidak pernah tercapai kesepahaman.

Dan lebih parahnya lagi, Amerika yang sedari awal memposisikan dirinya sebagai juru damai Israel-Palestina, pada kenyataannya justru tidak memasukkan elemen Hamas sebagai salah satu faksi yang diikutkan dalam perundingan damai Israel-Palestina.

Sudah bisa dipastikan, skenario Amerika seperti ini akan bermuara pada kegagalan mencapai perdamaian dan terciptanya jalan buntu di Timur Tengah. Setidaknya bagi Palestina dan Israel.

Benarkah ini merupakan kegagalan akibat salah strategi dalam penangannan konflik di Timur Tengah? Atau memang justur merupakan by-design yang dimaksudkan untuk menciptakan suatu perkembangan baru yang tak terduga di kawasan Timur Tengah?

Memahami Makna Peringatan Raja Yordania

Ketika menilai skema penyelesaian konflik Palestina-Israe yang tidak melibatkan 57 negara Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, Raja Abdullah dari Yordania mengingatkan bahwa kalau skema Obama ini gagal, akan tercipta konflik baru di Timur Tengah dalam 18 bulan mendatang.

Peringatan Raja Abdullah bisa bermakna ganda. Pertama, Raja Abdullah memang sudah membaca adanya skenario tersembunyi Amerika (baca: Brzezinski) untik mengobok-obok Timur Tengah menyusul gagalnya penyelesaian damai Timur Tengah.

Makna kedua, Raja Abdullah justru merupakan bagian dari Skenario Amerika, yang bertugas untuk menciptakan pemanasan awal sebelum letusan konflik baru berskala luas benar-benar terjadi di Timur Tengah. Artinya, peringatan Raja Abdullah harus dibaca sebagai provokasi agar polarisasi dan radikalisasi semakin menguat di Timur Tengah, sehingga skenario Amerka yang sesungguhnya justru akan dengan mudah bisa dimainkan di Timur Tengah.

Berarti, di dalam agenda tersembunyi Amerika, terkandung suatu tujuan untuk mengadu-domba Israel dan Palestina, dan pada saat yang sama negara-negara Arab satelit Amerika yang dimotori oleh Arab Saudi, akan semakin menjalin hubungan yang erat dengan Amerika.

Dengan didasari tujuan yang sama, untuk menata-ulang domisasi Amerika-Arab Saudi Cs di kawassan Timur Tengah yang kaya minyak.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com