Proyek “Israel Raya”, Strategi Perang Israel terhadap Iran

Bagikan artikel ini

Iran adalah satu diantara negara yang dianggap musuh utama Israel yang berpotensi dapat memberikan ancaman balik bagi negara-negara di kawasan.

Selama beberapa dekade, rezim Israel mendesak Washington untuk mengobarkan perang terhadap Iran dan negara-negara kompetitor lainnya karena dianggap mengganggu kepentinggan-kepentingannya di kawasan.

Dokumen Oded Yinon 1982 yang terkenal berjudul “Strategi untuk Israel di 1980-an” secara jelas menyatakan agenda Israel terkait pembagian kawasan dan strategi penaklukan, yang sangat membutuhkan keterlibatan AS dalam misinya tersebut.

Skema itu kemungkinan diperbarui beberapa kali, tujuannya tidak berubah, termasuk Israel raya melalui peta Timur Tengah yang digambar ulang.

Untuk bertahan hidup, negara Yahudi meyakini bahwa semua itu hanya bisa dilakukan dengan menguasai kawasan dan menjadi kekuatan dunia.

Untuk melancarkan misi penaklukannya itu, Israel juga harus memastikan adanya pembagian negara-negara Arab menjadi lebih kecil di sepanjang garis etnis dan sektarian sebagai negara klien satelit Israel.

Perang Enam Hari Israel 1967, yang berhasil merebut Tepi Barat, Jerusalem Timur, Golan Suriah, dan wilayah Lebanon tak lain karena mengikuti rencana yang sedari awal sudah mereka susun.

Begitu juga agresi terhadap Lebanon pada tahun 1978, 1982, 1993, 1996, dan 2006, pendudukannya di wilayah selatan Lebanon sampai ke Sungai Litani, berlangsung selama 18 tahun sampai penarikan pada bulan Mei 2000.

Israel juga secara ilegal menguasai desa Ghajar Lebanon yang berbatasan dengan Golan, dan Sheba Farms, area seluas 14 mil persegi yang kaya air di dekat Golan di Suriah.

Almarhum Israel Shahak mengatakan rencana lama Israel untuk pengendalian kawasan mengikuti “gagasan geopolitik Jerman (dari) 1890 – 1933, yang ditelan seluruhnya oleh Hitler dan gerakan Nazi, dan menentukan tujuan mereka untuk Eropa Timur.”

Yinon menyebut semua negara Arab di timur Israel “penuh dengan konflik batin.” Saudi dan negara-negara Teluk lainnya “dibangun di atas rumah pasir yang halus di mana hanya ada minyak.”

Yordania pada kenyataannya adalah Palestina, Amman sama seperti Nablus, negara-negara Arab kawasan lainnya, katanya.

Sejak revolusi 1979, Iran di atas semua negara kawasan lainnya adalah target utama Israel untuk diluluhlantakkan.

Sebuah aliansi Israel / Saudi yang meragukan ingin Republik Islam dihancurkan, dan menmpropagandakan agar negari para Mullah itu sebagai dianggap sebagai ancaman di kawasan.

Lihat saja misalnya, Netanyahu berulang kali berbohong tentang program senjata nuklir Iran. Tidak ada yang terbukti. Sebaliknya, negara Yahudi adalah satu-satunya kekuatan nuklir bersenjata dan berbahaya di kawasan. Negara tersebut justru akan terus mempertahankan kepemilikan senjata kimia, biologi, dan juga teror.

Pada November 2017, mantan Menlu AS John Kerry mengatakan Israel, Saudi dan Mesir mendorong Obama untuk membom Iran sebelum kesepakatan nuklir JCPOA disimpulkan.

Netanyahu “benar-benar gelisah terhadap tindakan tersebut,” Kerry menekankan, Israel ingin bantuan AS untuk memajukan agenda hegemoninya.

Setelah menyingkirkan Irak sebagai pesaing kawasan, Suriah seharusnya menjadi yang berikutnya, mengisolasi Iran, diikuti dengan skema serupa untuk menggulingkan pemerintahnya.

Namun, semua agenda itu tidak berjalan seperti yang direncanakan. Intervensi Rusia untuk membantu Damaskus memerangi terorisme yang didukung AS mengubah kekalahan yang pasti menjadi kemenangan akhir.

Mungkin itu sebabnya Trump menarik diri dari JCPOA dan memaksakan apa yang rezimnya sebut sanksi terberat yang pernah ada di negara itu – tidak mungkin berhasil seperti yang dimaksudkan karena oposisi komunitas dunia.

Kelompok garis keras Israel dan AS mencari cara untuk memprovokasi Iran menjadi sesuatu yang mungkin mengarah ke konfrontasi langsung, suatu cara untuk menyalahkan Republik Islam tersebut atas tindakan yang diambil terhadapnya.

Bendera-bendera palsu dan provokasi-provokasi serupa merupakan cara-cara Amerika yang sudah lama dipakai untuk mengobarkan perang.

Pada Minggu kemarin, NYT mengatakan “Sejumlah pejabat intelijen (senior) Saudi yang dekat dengan putra mahkota Mohammad bin Salman” terlibat dalam plot 2017 untuk membunuh musuh kerajaan – Panglima Pasukan Quds Iran Jenderal Qassem Soleimani dalam daftar target mereka.

Berupaya atau berhasil membunuhnya tidak diragukan lagi akan memancing pembalasan Iran, mungkin digunakan sebagai dalih untuk konfrontasi militer – yang memungkinkan terbukanya perang skala penuh, yang sangat diinginkan oleh Israel dan Saudi.

Jika Iran membalas terhadap salah satu negara secara militer, Washington kemungkinan akan ditarik untuk melindungi sekutunya, rezim di Rihadh dan Tel Aviv guna mencapai tujuan jangka panjang mereka.

Solemani dalam kapasitasnya sebagai penasihat sangat terlibat dalam membantu Suriah dan Irak memerangi ISIS yang didukung AS dan teroris lainnya.

Kelompok Aksi Iran rezim Trump adalah memang sengaja dibuat untuk merencanakan destabilisasi yang mengarah pada perubahan rezim di Iran.

Jika sanksi dan upaya-upaya destabilisasi lainnya gagal seperti sebelumnya selama hampir 40 tahun, apakah agresi AS menjadi salah satu opsi berikutnya. Terlebih lagi, Israel telah lama memendam hasrat untuk melumpuhkan Iran sehingga tanpa berpikir bagaimana perang terhadap Iran bisa terjadi sehingga dapat mempengaruhi seluruh kawasan.

Jika Rusia ikut campur seperti di Suriah, konfrontasi langsung dengan Washington bisa saja terjadi yang mengarah pada kemungkinan perang global dengan nuklir, skenario mimpi buruk terakhir.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com