Amril Jambak, peneliti Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia
Peneliti Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI) Rizal E Halim mengatakan perbedaan hasil hitung cepat yang dirilis oleh sejumlah lembaga survei setelah Pilpres 9 Juli 2014, telah mencederai kaidah dan etika penyelenggaraan survei.
“Setidaknya tiga hal mendasar yang perlu dikritisi dari ‘quick count‘ Pilpres 2014,” katanya di Depok, Ahad (13/7).
Pertama, katanya, motif yang dikedepankan tidak lagi bersifat memberi informasi yang sebenar-benarnya (objectivity and truth). Kedua, mengabaikan faktor etika yang selama ini dijaga oleh mereka yang benar-benar peneliti.
Ketiga, komersialisasi survei khususnya di bidang politik telah mencoreng aktivitas survei yang selama ini banyak dijadika acuan untuk memperbaiki peradaban manusia.
“Kemurnian, obyektivitas dan kebenaran yang menjadi tujuan sebuah survei telah diperkosa secara massal oleh lembaga survei,” ucapnya.
Penghitungan suara sudah mulai masuk di tingkat kecamatan, Ahad (13/7). Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam memantau proses rekapitulasi suara itu.
“Diantara titik rawan saat rekap adalah proses di kecamatan yang saat ini tengah berjalan,” ujar Koordinator Nasional M Afifuddin, Ahad (13/7). Karena itu, JPPR meminta masyarakat untuk dapat turut mengawasi.
Afifuddin mengatakan, peran masyarakat penting untuk dapat mengantisipasi kecurangan dan manipulasi suara. Ia mengatakan, ini penting untuk menjaga kualitas Pemilu. Selain itu, menurut dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun harus dijaga.
“Kita harus kuatkan dan jaga KPU agar tetap profesional melakukan penghitungan manual yang sedang berjalan,” kata dia.
Saling klaim kemenangan muncul dari para kandidat pasangan capres-cawapres pascapencoblosan. Semua mengklaim mendapat mandat dari rakyat berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) beberapa lembaga survei yang berbeda. Afifuddin mengingatkan agar hasil hitung cepat itu tidak membuat KPU terintervensi.
Afifuddin mengkritik pernyataan Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi yang menyebut penghitungan KPU keliru apabila tidak sesuai dengan hasil quick count lembaga surveinya. Ia menilai, pernyataan itu merupakan bentuk intervensi terhadap KPU.
“Terlepas dari kepercayaan kita terhadap metode quick count, jangan lantas membuat kita arogan dan merasa paling benar,” kata dia.
Aturan pemilu, Afifuddin mengatakan, Indonesia masih menggunakan sistem penghitungan suara secara manual. Ia mengatakan, itulah yang diakui keabsahannya untuk menentukan pemenangan Pemilu Presiden/Wakil Presiden. Karena itu, ia meminta semua pihak menahan diri, pun dengan masyarakat. “Lebih baik kita saling menahan diri sampai hasil resmi 22 Juli nanti,” ujar dia, seperti dikutip dari republika.co.id.
Dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten, Leo Agustino, mengatakan pascapemilihan presiden pada 9 Juli lalu diduga ada upaya untuk mengacaukan hasil penghitungan suara, sehingga akan merusak tatanan demokrasi di Indonesia.
“Dinamika politik Indonesia sebelum dan pasca-pilpres kali ini akan menjadi preseden buruk bagi ‘deepening democracy’ di negara ini. Ini karena beberapa alasan,” katanya dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Ahad (13/7).
Ia mengungkapkan, pertama, adanya usaha untuk mengacaukan hasil hitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga survei yang kredibel, terpercaya, dan berintegritas.
“Pengacauan hasil hitungan cepat tersebut setidaknya dilakukan oleh pollster yang jejak rekamnya belum teruji punya kredibilitas dan integritas yang baik,” kata Leo.
Selain itu, lanjut dia, dirinya mendapat informasi, situasi ini merupakan langkah terencana yang dilakukan oleh Rob Allyn, seorang konsultan politik AS, yang berafiliasi dengan salah seorang kontestan Pilpres. Situasi ini tentu saja dilakukannya untuk memenangkan capres yang menyewanya. Jejak rekam Rob Allyn yang melakukan tindakan ‘muddy the statistical waters‘ di Indonesia, sebelumnya juga pernah dilakukan di Meksiko beberapa waktu lalu. “Setidaknya ini yang Saya baca informasinya dari ‘kicauan’ Prof Dr Marcus Mietzner,” kata Leo.
Akibatnya, kedua, muncul kebingungan di level masyarakat luas, terutama pollster mana yang pantas dipanuti. Malangnya, rakyat kita telah terbelah menjadi dua kelompok besar yang saling klaim kemenangan masing-masing jagoannya.
Ketiga, masyarakat yang telah meyakini kemenangan ‘jagonya’ Rob Allyn, tentu akan ‘menghukum’KPU apabila hasil real count lembaga negara itu tidak sama dengan quick count pollster yang mendukung pasangan no urut 1. “Jika situasi ini tidak diselesaikan, saya khawatir keterbelahan masyarakat yang sudah terbelah akan menjadi semakin akut,” katanya.
Oleh sebab itu, hal yang terbaik adalah masing-masing Capres menahan diri untuk tidak berlaku ‘berlebihan’ terutama di balik layar karena politik selalu menyediakan ruang bagi elit politik berlaku di front maupun ‘back stage’. “Yang saya khawatirkan sekarang, di ‘front stage’, elit politik kita seolah-oleh tenang, tapi di ‘back stage’, ia melakukan aksi atau tindakan yang ‘Machiavellis’,” ucapnya.
Dengan kondisi yang ada, penulis berharap kepada seluruh komponen, yakni pasangan capres-cawapres, pendukung dan simpatisan kedua pasangan untuk menjaga keutuhan negara ini. Jangan lah sampai, Pilpres 2014 yang disebutkan menjadi sejarah bangsa ini akan tercorang oleh prilaku-prilaku yang tidak menginginkan bangsa ini damai.
Penulis memiliki harapan kepada pengamat-pengamat untuk memberikan sitawar sidingin serta pencerahan kepada rakyat, salah satunya memberikan statmen yang mendinginkan suasana hingga pengumuman resmi pemenang Pilpres 2014 oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Sebagai orang pintar, hendaknya berperan menciptakan suasana yang kondusif. Jangan pula, statmen yang dikeluarkan merusak keutuhan negara ini, hingga terjadi peristiwa yang tidak kita inginkan. Ingatlah, jangan sampai kita menjadi cibiran bangsa luar, karena ada kemungkinan negara asing ingin kita kacau dan mereka memanfaatkan kondisi ini untuk menanamkan kepentingan mereka di Tanah Air ini.